Memaknai HMI "Back to Home"

Semoga pengurus yang baru saja dilantik, segera dapat mengakselerasikan personelnya untuk mewujudkan program kerja yang ditetapkan.

Sabtu, 6 Maret 2021 | 11:56 WIB
0
228
Memaknai HMI "Back to Home"
HMI (Koleksi Kalaliterasi)

Pertama, Bahasa Inggris jika ada padanan katanya dalam Bahasa Indonesia, maka kata yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.

Ini sebagai komitmen terhadap Sumpah Pemuda. “Bahasa kebangsaan dijunjung, Bahasa asing dijinjing” begitu pesan Tun Razak.

Walau Tun Razak merupakan Perdana Mentri Malaysia, pesan itu juga tetap relevan bagi kita di HMI. Jangan sampai keingris-inggrisan.

Kalimat ini, juga mengalami perdebatan dalam linguistik. Dimana jika itu idiom maka menjadi “back home” sebagaimana dicatat Merriam-Webster.

Kalau itu kalimat, maka perlu diletakkan kata kerja, bisa ada kata go, atau memberikan spesifik untuk sebuah tempat.

Jangan-jangan, kursus Bahasa Indonesia lebih diperlukan semasa ini berbanding dengan kursus Bahasa Inggris. Kita mulai lupa bahasa kebangsaan kita sendiri.

Apapun itu, tetap saja. Kalau ada padanan kata dalam Bahasa Indonesia, maka menggunakan Bahasa Indonesia lebih utama dibandingkan dengan Bahasa Inggris.

Semua peserta dan juga sasaran tema atau pesan yang disampaikan itu juga semua berbahasa Indonesia. Tidak berbahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya.

Dimanakah Rumah HMI?

Ada dua, jika ini mengacu pada pendirian HMI, umat dan bangsa. Atau dalam kalimat yang lain Islam dan Keindonesiaan.

Seiring perkembangan kondisi kebangsaan, maka boleh jadi Indonesia itu tidak hanya di ibukota, tetapi juga di desa-desa. Dimana HMI kini tidak lagi hanya di ibukota provinsi dan kabupaten, tetapi tersebar luas sampai ke ibukota kecamatan.

Maka, lahan pengabdian HMI semakin luas, dimana memungkinkan untuk akselerasi dengan pelbagai komponen bangsa yang juga berkiprah di desa-desa.

Kalau itu HMI komisariat Tarbiyah dan Keguruan (tanpa UIN Alauddin), Cabang Gowa Raya, maka komunikasi dengan pemangku kepentingan Pendidikan, perlu disegerakan.

Dimana program-program untuk akselerasi pembelajaran semasa pandemi. Begitu pula dengan penguatan kapasitas guru, ataupun calon guru.

HMI punya posisi yang strategis untuk menjembatani antara problema di masyarakat dengan pengambilan keputusan di lembaga eksekutif. Apalagi kalau menyangkut dengan persiapan calon guru yang sementara kader aktif.

“Merdeka Belajar di Kampus Merdeka” perlu disambut dengan implementasi. Salah satu kuncinya, adalah kebersamaan, atau gotong royong.

Itu yang seakan surut, kalau tidak hilang di HMI. Prof. Qasim Mathar menyebutnya “HMI yang Sakit”. Sementara Prof. Ahmad Syahid menyebutnya “HMI kehilangan orientasi”.

Bolehjadi, keduanya salah. Namun, ada juga benarnya. Jangan sampai ada kader HMI aktif yang menjadi tim sukses pasangan calon bupati, atau tim sukses calon anggota legislatif.

Termasuk spirit akademik yang harus ditradisikan, dan dibangun dalam bentuk suasana akademik. Ini hanya kasus, bukan gambaran umum. Seorang kader yang semangat membicarakan calon bupati. Bukan tentang bedah buku, dan ataupun isu keilmuan terkini.

Sekaligus menjadi pertanyaan, “berapa banyak bedah buku yang dilaksanakan di komisariat?”. Jangan sampai justru tidak pernah sama sekali.

Ataukah disorientasi yang dikemukakan Prof. Ahmad Syahid benar adanya. Dimana HMI Komisariat Tarbiyah & Keguruan, bergumul dengan “Pendidikan Humanis”. Dimana itu menjadi diskursus di Amerika Latin sana.

Padahal, sekali lagi, ada sisi koin terkait Islam dan Indonesia. Betapa Indonesia kita, justru menjadi bagian dalam ekspresi pendidikan yang beragam. Praktik-praktik Pendidikan yang sesuai dengan semangat NDP terwujud dalam pelbagai nama. Diantaranya, Gontor, Tuju-tuju, Kaballangang, Sengkang, dst.

Mengenali ini sama baiknya dengan mengenali Amerika Latin. Hanya saja, dengan waktu yang ada ini, maka mengenali lingkungan yang terdekat dengan pelbagai nama tadi, akan relevan berbanding dengan Amerika Latin.

Jangan sampai “Memandang ke Barat, terperosok di Timur”. Dimana tidak mengenali lingkungannya sendiri, tetapi justru melihat menara orang.

Satu lagi, sebagai organisasi mahasiswa, HMI harus sibuk menumpukan perhatian pada urusan kampus dan juga pengembangan kapasitas mahasiswa yang menjadi kadernya.

Kader yang menyumbang suara untuk pemilihan dalam momentum politik, itu hanya bonus semata. Sejatinya kader-kader itu diorientasikan menjadi kader insan cita.

Akhirnya, ketua umum komisariat perlu belajar berdaulat. Bisa mendengarkan apa yang menjadi suara semua orang. Tetapi keputusan sepenuhnya diambil dari “dialog” dengan dirinya sendiri. Bukan “konsultasi” dengan senior.

Ada ketua umum komisariat, tetapi ini bukan di komisariat Tarbiyah & Keguruan Cabang Gowa Raya. Dimana untuk keputusan terkait dengan suara dema, itu menunggu instruksi senior. Betapa tidak merdekanya yunior dengan sandraan senior.

Begitu pula dengan perilaku ketua umum komisariat. Dimana dalam satu forum menyepakati keputusan-keputusan bersama. Tetapi fajar belum menyingsing. Justru, ketua umum itu menarik diri dari keputusan bersama sebelumnya.

Tetapi itu, tidak perlu dikhawatirkan. Itu bukan ketua umum dari komisariat Tarbiyah & Keguruan yang berada dalam yurisdiksi Gowa Raya.

Selamat atas pelantikan pengurus dan juga pelaksanaan Dies Natalis. Maaf keliru, Milad HMI 74 tahun. Semoga pengurus yang baru saja dilantik, segera dapat mengakselerasikan personelnya untuk mewujudkan program kerja yang ditetapkan.

***