Fadli-Fahri dan Aidit

Ke depan, akan lebih elok bila Bintang Mahaputra diberikan kepada sosok-sosok pilihan. Seseorang yang melebihi tugas dasarnya. Bukan sekadar pejabat negara yang purna-tugas otomatis diberinya.

Senin, 17 Agustus 2020 | 22:42 WIB
0
239
Fadli-Fahri dan Aidit
Ma'ruf Amin, Fadli Zon, Joko WIdodo dan Fahri Hamzah (Foto: insidentb.com)

Langkah Presiden Jokow Widodo memberikan Bintang Mahaputra kepada politisi "Duo F": Fadli Zon dan Fahri Hamzah menuai polemik. Pendukung sang Presiden maupun para penyokong kedua oposan itu sama-sama menentang.

Bagi kubu oposan, langkah Jokowi itu tak lebih dari pencitraan agar ia dikategorikan sebagai pemimpin berjiwa demokratis. Atau upaya menggenapi sikap akomodatif setelah seteru utamanya dalam dua kali pilpres, Prabowo Subianto dijadikan Menteri Pertahanan.

Sebaliknya pendukung berat Jokowi menilai “Duo F” itu jauh dari layak untuk diberi penghargaan sekelas Bintang Nararya. Keduanya sejauh ini terlihat cuma asal beda dengan pemerintah. Masih sekelas nyinyir dan bicara nyaring bukan kritikus.

Fahri dan Fadli tergolong politisi yang gencar menyerang dan mengusulkan pembubaran KPK. Keduanya juga aktif menyokong aksi-aksi intoleran sepanjang 2017-2019, yang berpotensi memecah belah persatuan. Jadi, apa yang patut diteladani dari keduanya?

Padahal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyatakan, “Penghargaan Bintang Mahaputera hanya diberikan kepada mereka yang berjasa luar biasa, memiliki pengabdian dan pengorbanan besar kepada negara, serta diakui darmabaktinya secara nasional ataupun internasional.”

Merujuk aturan tersebut, apakah selama menjadi pemimpin DPR, kinerja DPR kinerja Fadli dan Fahri super kinclong? Tidak! Buktinya, DPR di era keduanya cuma mampu menuntaskan 10 persen dari total target 189 RUU dalam Program Legislasi Nasional.

Itu pun secara substansi aturan yang dibuat DPR kerap memancing polemik dan digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Tentu sebetulnya bukan cuma “Duo F” itu yang tak layak mendapat Bintang. Bambang Soesatyo, Utut Adianto, dan politisi lainnya pun tak layak secara substansial. Memang, para Presiden di era sebelumnya biasa memberikan Bintang kepada para anggota kabinetnya, serta ketua atau pimpinan lembaga-lemabaga tinggi negara. Tak kecuali Presiden Sukarno.

Pada 13 September 1965, Sukarno pernah memberikan Bintang Mahaputra kepada Ketua CC PKI, DN Aidit. Penghargaan itu diberikan karena Aidit adalah pejabat negara yang menjabat Menteri Koordinator dan Wakil Ketua MPRS. Pasca Gerakan 30 September 1965, Adit ditangkap di Solo pada 22 November 1965 dan dieksekusi mati di Boyolali. Bintang Mahaputera pun dicabut dengan TAP MPRS No. XXX/MPRS/1966.

Sepatutnya Jokowi tak meneruskan kebiasaan para pendahulunya. Dia yang sejak awal menggelorakan Revolusi Mental mestinya berpijak kepada nilai-nilai substansial. Bukan cuma pendekatan prosedur-formal.

Ke depan, akan lebih elok bila Bintang Mahaputra diberikan kepada sosok-sosok pilihan. Seseorang yang melebihi tugas dasarnya. Bukan sekadar pejabat negara yang purna-tugas otomatis diberinya. Kalau pun dirasa perlu dari lingkungan semacam itu, harus ada hal istimewa dari kerja-kerja mereka selama menjabat.

Dan, berkaca dari kasus Aidit, bila di kemudian si mantan pejabat penerima Bintang itu melakukan perbuatan tercela, apalagi sampai menjadi narapidana korupsi, selayaknya Bintang itu ditarik kembali.

***