Romantisme (Picisan) Majapahit

Majapahit adalah romantisme rasa bangga di masa lalu, yang di hari ini kebesarannya dicuri untuk banyak kepentingan legitimasi pribadi yang berbeda. Dan sialnya semua berujung selalu picisan.

Senin, 1 Juni 2020 | 20:51 WIB
0
422
Romantisme (Picisan) Majapahit
Artefak Patung Garudeya di Situs Petirtaan Sumberbeji (Foto: Detik.com)

Tentu saya tidak sedang (dan ingin) mendiskreditkan, apalagi menjelek-jelekkan Majapahit. Mana berani saya, saya masih punya rasa takut kuwalat! Sebaliknya saya ingin membela (sependek yang saya bisa), leluhur saya sebagai orang Jawa ini dari sikap sok tahu, sok akrab, apalagi sok asyik terhadap kerajaan ini. Bagaimana pun Majapahit adalah kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.

Tentu bila pembandingnya adalah Sriwijaya, yang oleh banyak pihak masih diperdebatkan dan dianggap mitos. Sedemikian mitologis-nya, hingga Bapak Teori Konspirasi Indonesia: Ridwan Saidi, menyebutnya tak lebih alkisah gerombolan bajak laut.

Si Babeh ini memang paling bisa, kalau bikin statement yang bikin heboh. Kadang dengan teori rumit yang ujung-ujungnya semua ulah atau bikinan Yahudi. Atau terkadang, malah menyederhanakan masalah sedemikian rupa. Hingga ia dengan enteng saja, menganggap bahwa Covid-19 adalah produk senjata biologis AS, setelah ia menonton film "Contagion".

Bahwa pandemic ini telah direncanakan jauh hari untuk menyerang musuh-musuh negara adidaya itu. Sial, data muthakir justru menunjukkan bahwa korban meninggal di AS, terbanyak di dunia dan mencakup lebih dari 1/3 dari kematian global. Mungkin, ia lupa bahwa pandemik ini siklus 100 tahunan. Yang pernah juga terjadi di tahun 1920, 1820, dan 1720 (walau) oleh berbagai sebab yang berbeda.

Kembali ke topik Majapahit, yang kebesarannya selalu diutak-atik lalu ditumpangi sebagai banyak legitimasi yang aneh-aneh. Adalah Mohammad Yamin, seorang sejarahwan yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional yang mengawali semua ini. Ialah yang "memilihkan" bendera merah putih sebagai bendera nasional. Bendera "gula-klapa", sebagai perwujudan sikap berani tapi berhati suci. Ia pula yang mereka-reka wajah Gadjah Mada yang tembem, yang di banyak relief dicontek habis dengan berbagai gaya.

Daripadanya, pada 2010 lalu, terbit buku berjudul "Kesultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi". Penerbitnya, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta. Motornya adalah seorang fisikawan bernama Herman Sinung Janutama. Yang walau ia mengklaim sebaga penggiat kajian budaya Jawa, bagi saya tak lebih ahli ilmu "gothak-gathuk".

Klaim mereka adalah Majapahit adalah Kesultanan Islam. Yang kemudian dilanjutkan isu yang lantas menjadi viral yang menyebutkan Maha Patih Gadjah Mada adalah seorang muslim dan bernama asli Gaj Ahmada. Dalihnya atau dasar berpikir, adalah tradisi lisan yang dianggap sama pentingnya dengan catatan naskah kuno. Horotoyoh! Ujung semua ini, bagi saya tak lebih dari adanya keinginan melegitimasi bahwa Islam pernah sedemikian besar, kuat dan bermartabat di Ujung Timur.

Tentu saja, mereka akan menyembunyikan fakta bahwa Islam pertama kali disebarkan di Majapahit (juga) dengan penuh kekerasan melalui perebutan kekuasaan. Mereka tentu saja, menutup fakta Candi Sukuh sebaga petilasan terakhir Majapahit karya Brawijaya V yang tersembunyi Adalah bukti lain bahwa memang ia terusir dari tahtanya. Ia juga pasti akan dengan enteng membantah bahwa Bali adalah pulau pelarian dari orang-orang Majapahit yang terusir untuk mempertahankan keyakinannya.

Sialnya! Setahun lalu, seorang mantan Presiden Indonesia. Setelah sadar tak mampu lagi mampu mengatrol popularitasnya. Tiba-tiba ia mengklaim bahwa ia adalah keturunan langsung Majapahit generasi ke-14. Ndilalah angka 14 ini adalah nomer urut Partai Demokrat dalam Pileg 2019 lalu. Ia bahkan mendramatisasi bahwa angka itu simbol kemenangan dimana abad XIV adalah puncak kejayaan

Majapahit. Sebenarnya hal tersebut tidak mengherankan. Jauh sebelum itu, ia menamakan keempat cucunya dari dua anaknya itu dengan nama-nama yang berbau raja era Majapahit (atau sebelumnya).

Cucu pertama SBY bernama Almira Tungga Dewi Yudhoyono. Tribhuwana Tunggadewi adalah raja perempuan pertama Majapahit yang melahirkan Hayam Wuruk, raja yang membawa Majapahit ke puncak kejayaannya.Cucu keduanya bernama Airlangga Satriadhi Yudhoyono. Demikian pula anak Ibas sebagai cucu ketiga da keempat bernama Pancasakti Maharajasa Yudhoyono dan Gayatri Idalia Yudhoyono. Nama-nama anak turun menyandang Yudhoyono yang menunjukkan, bahwa kedua anaknya tak lebih "anak papi" yang tak berani lepas dari bayang-bayang kebesaran ayahnya.

Lalu apakah klaim tersebut membawa hasil baik bagi Partai Demokrat? Semua tahu: suara partai ini melorot tajam, jauh dari kemenangan besarnya lima tahun sebelumnya. Sedemikian jelek perolehan suaranya, hingga ia menjadi "partai nanggung, kalau gak mau disebut paria". Tak ada yang mau ngajak masuk koalisi. Tapi juga tak pernah siap betul jadi oposisi....

Dan peristwa terakhir, adalah klaim Bosmaan Mardigu, si pembohong yang karena makin ketahuan belangnya. Lalu mencap orang yang bersikap kritis terhadapnya sebagai buzzer bayaran yang mencegah Indonesia bergerak maju. Woalah dul dul... Rumangsamu, ngurus negara ki sak gampang caramu nyangkem!

Ia mengklaim bahwa sifat ekspansi China (baca: Tiongkok) belakangan ini yang ia sebut sebagai Kolonisasi 6.0. Ini ngawur lagi, ia menciptakan wacana yang mencoba menyaingi Revolusi Industri 4.0. Walau tak pernah cerita bagaimana bisa tiba-tiba muncul Kolonisasi 6.0. Kapan 01, 02, hingga 05-nya? Tidak penting juga. Tapi intinya kolonisasi yang berbasis ekonomi yang dilakukan Tiongkok itu mencontek plek cara Majapahit menguasai atau melebarkan sayap kekuasaannya hingga menjangkau seluruh Nusantara. Yang point terpentingnya adalah tanpa perang, tapi berbasis rentenir. Atau ngutangi, meminjami modal....

Ini juga semakin aneh! Bukankah, pada saat itu memang demikian lah watak hubungan antarkerajaan dengan watak kepulauan. Penuh kedamaian dan persahabatan. Kombinasi antara watak dagang, pengaruh agama, dan perluasan wilayah!

Realitasnya tak ada bukti-bukti fisik atau tertulis yang tersisa yang menunjukkan karakter kuat sifat relasi unik tersebut. Yang bila diaplikasi pada kondisi hari ini: tentu ada pabrik, hotel, bandara, jalnan kereta, dan bla bla....

OK, memang pada masa tersebut, infrastruktur seperti itu belum ada. Tapi setidaknya ada cerita lisan yang memperkuat gagasannya tersebut! Yang justru kuat tersisa kuat adalah epos besar Perang Bubat, ketika Majapahit ingin menaklukkan Tanah Pasundan. Sebuah cerita buruk memalukan dan menyakitkan yang diwariskan turun temurun hingga hari ini!

Kesemua cerita tersebut adalah upaya melegitimasi. Apakah itu legitimasi negara, agama, kekuasaan, dan terakhir bisnis. Padahal kita tidak pernah punya upaya yang lebih muthakir untuk sekedar merekonstruksi uang melalui kajian-kajian yang lebih ilmiah dan akademis. Tidak ada upaya perlindungan yang masif di Situs Trowulan Penyelamatan arkeologis tertatih-tatih melawan kecepatan perusakan, pencurian dan penghilangan artefak-artefak oleh masyarakat. Dan kita hanya menunggu keberuntungan datang....

Majapahit adalah romantisme rasa bangga di masa lalu, yang di hari ini kebesarannya dicuri untuk banyak kepentingan legitimasi pribadi yang berbeda. Dan sialnya semua berujung selalu picisan, uang receh.

Menyesakan dada tanpi nyata...

#savemajapahit

NB: September 2019, ditemukan artefak Patung Garudeya di Situs Petirtaan Sumberbeji. Merupakan kisah dalam Agama Hindu tentang seekor garuda yang mencengkeram kepala naga. Saat ia mencari amerta (air suci) di kahyangan untuk membebaskan ibunya dari perbudakan. Semoga ini sebuah pertanda baik!