Sekali lagi, kita boleh saja percaya terhadap ramalan Jayabaya tentang Notonagoro ini, dan kita bisa pula tidak mempercayai dan menganggapnya sebagai mitos.
Pasangan petahana Jokowi dengan Ma'ruf Amin pada pilpres April 2019 telah dinyatakan menang dari pasangan Prabowo-Sandi, baik oleh KPU maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Pemenang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2019 di gedung DPR/MPR RI Senayan. Dari fakta sejarah kepemimpinan nasional Indonesia, penulis menemukan sebuah noktah yang walau kecil tetapi perlu dicermati lebih lanjut.
Kini muncul pertanyaan, mengapa kubu Jokowi menunjukkan minat untuk melakukan rekonsiliasi? Kemudian terjadilah design diplomasi MRT, yaitu pertemuan antara sang pemenang Jokowi dengan capres Prabowo yang dikalahkannya pada hari Sabtu (13/7/2019). Setelah pertemuan itu, publik merasa happy, suasana cair, damai sudah, walau ada juga yang sebenarnya kurang setuju, kira-kira begitu. Pada pertemuan terlihat jelas penampilan Kabin Budi Gunawan dan banyak diberitakan sebagai mediator dengan dukungan Ketum PDIP. Jelas dalam poliik tidak ada yang namanya free lunch.
Berapa harga negosiasi itu? Apakah Gerindra akan minta jatah menteri? Pertemuan dua kubu kemudian berlanjut dengan diplomasi nasi goreng, yaitu pertemuan antara Megawati dengan Prabowo di Tengku Umar pada hari Rabu (24/7/2019), dengan mediator yang sama. Walau kalah di pilpres, Prabowo secara politik dinilai naik daun. Bermacam spekulasi muncul yang membuat "gerah" parpol koalisi pendukung paslon 01 (Jokowi-Ma'ruf).
Sementara itu di sisi lain, sebelum pertemuan Mega-Prabowo, empat Ketum parpol pendukung Jokowi (Nasdem, Golkar, PKB dan P3) minus PDIP berkumpul di kantor DPP Nasdem, Senin (22/7/2019). Nah mulai muncul informasi yang menjadi topik hangat bahwa yang diperebutkan adalah posisi Ketua MPR. Empat parpol itu tidak ingin bila posisi tersebut lepas sebagai harga rekonsiliasi. Inilah kira-kira sepintas gambaran dinamika politik saat ini, dengan kepentingan masing-masing pihak.
Nah, penulis pada artikel ini tidak akan membahas dinamika politik, dan hanya akan membahas siapa pengganti Pak Jokowi sebagai presiden dengan me-refresh dari sudut pandang intelstrat. Dalam ilmu pengetahuan intelijen strategis terdapat komponen budaya dimana budaya sebuah bangsa masuk dalam pengamatan intelijen disamping delapan komponen intelstrat lainnya. Penulis sudah lama meneliti fakta budaya Jawa yang dikaitkan dengan Ramalan Jayabaya terkait kepemimpinan nasional Indonesia yang kini pada tahun 2019 semakin mengerucut.
Ramalan Jayabaya dinilai cukup fenomenal. Banyak ramalannya yang bisa ditafsirkan “mirip” keadaan setelahnya. Ramalan dalam pemahaman ilmu Jawa biasanya merupakan kiasan dan tidak selalu seperti apa yang disebutkan.
Kita harus mampu membaca yang tersirat bukan hanya yang tersurat. Jayabaya misalnya telah meramalkan tentang bangsa Utara berkulit pucat yang akan menguasai Nusantara dengan tongkat berapi (zaman penjajahan bangsa Eropa). Kemudian kedatangan “saudara tua” menguasai Nusantara yang lamanya hanya seumur jagung (penjajahan Jepang).
Ramalan Prabu Jayabaya Tentang Pemimpin Nasional Indonesia
Ramalan dibuat oleh Prabu Jayabaya, Raja Kediri sekitar Tahun 1135 M dalam "Serat Jangka Jayabaya" yang mampu memprediksi kejadian-kejadian, jauh melampaui jamannya. Disebut Jangka karena seperti alat jangka yang mampu menarik /mengukur jarak secara tepat, maksudnya waktunya. Tidak hanya bersifat ramalan, tetapi akurasinya terukur.
Ramalan ini dikenal khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal Usul utama serat jangka Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yg digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yg menuliskan bahwasanya Jayabayalah yg membuat.
Prabu Jayabaya meramalkan pemimpin nasional Indonesia mempunyai nama yang berakhiran No-To-No / Na-Go-Ro. Noto berarti menata, nagoro berarti negara. Jadi pemimpin Indonesia juga disebut sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk menata negara. Suku kata tersebut ditulis dalam huruf Jawa yaitu honocoroko (ada utusan), dotosowolo (berbeda pendapat), podojoyonyo (sama-sama menang), mogobotongo (sama-sama kalah). Keduapuluh huruf Jawa itu mudah diberi huruf hidup hanya dengan menambahkan tanda. Ditambah tanda di depan atau dibelakang yang disebut ditaling tarung maka huruf "A" akan berubah menjadi "O".
Nah, dikaitkan dengan ramalan Notonegoro, maka ramalan urutan pimpinan nasional yang memenuhi syarat setelah kemerdekaan adalah, NO adalah Soekarno, TO adalah Suharto, (setelah itu, BJ Habibie, Gus Dur dan Mega dalam urutan saat itu sebagai presiden tidak memenuhi syarat karena tidak memerintah satu periode penuh atau lebih/lima tahunan).
NO selanjutnya adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Nah, setelah itu presiden Indonesia menurut ramalan berakhiran GO atau GA. Tetapi yang menjadi presiden adalah Pak Joko Widodo. Disinilah noktah yang menurut penulis merupakan persaingan antara ramalan Jayabaya dengan ridha Allah kepada pak Jokowi.
Setelah pilpres (hari pencoblosan), Capres Jokowi mengunjungi Arab Saudi dan bisa berdoa di dalam Kabah serta diijinkan masuk ke dalam makam Rasulullah, bahkan bersama isterinya. Untuk pertama kali Raja Arab Saudi mengijinkan wanita masuk kedalam ruang makam tersebut. Inilah ridha Allah yang demikian tingginya. Melalui pelbagai masalah dan gempuran bahkan munculnya konflik fisik serta adanya upaya-upaya kurang terpuji, Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin akhirnya menang pada pilpres 2019 ini, tetapi baru akan dilantik pada 20 Oktober 2019.
Dari noktah itu muncul pertanyaan di benak penulis, siapa satriya piningit berakhiran Ga atau Go itu?. Dialah menurut ramalan yang akan menggantikan Pak Jokowi sebagai presiden. Kita semua pasti tahu ada dua nama yang kini masuk kategori ramalan dan nampak menonjol di jagat politik Indonesia. Pertama sdslsh Airlangga Hartarto (Ketum Golkar, Menteri Perdagangan) dan kedua, Sandiaga Uno, cawapres dari Prabowo. Mari kita bahas.
Airlangga atau Sandiaga?
Menggunakan ramalan dengan akhiran GA/GO, dilihat dari nama, Airlangga adalah nama aslinya, Hartarto nama orang tua. Sementara Sandiaga Uno, nama aslinya Sandiaga Salahudin nama bapaknya Razif Halik Uno atau Henk Uno. Dari akhiran kedua nama itu, Airlangga (GA) lebih mendekati ramalan Jayabaya dibandingkan Sandiaga Salahudin (DIN). Airlangga kini selain anggota kabinet juga menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang menjadi pemenang kedua pemilu 2019. Golkar bersama PDIP adalah jangkar Indonesia dan sudah teruji sejak lama. Sementara Gerindra sebagai sempalan Golkar, walau semakin membesar, tetapi belum teruji walau mampu berkiprah karena peran Prabowo sebagai patron.
Masalah besar yang dihadapi Airlangga saat ini di internal partai Golkar, dia dinilai kurang sukses. Pada pemilu 2019 perolehan suara Golkar dan kursi di DPR merosot. Menurut Indra Bambang Utoyo, salah satu tokoh senior Golkar, permasalahan Golkar adalah menguatnya pragmatisme (kekuasaan) dibanding idealisme. Menurutnya Golkar sebaiknya kembali kepada cita-cita para founding fathers, yang fokus kepada idealisme, penjaga Pancasila.
Dalam tubuh Golkar, sedang terjadi pergulatan perebutan jabatan ketua umum, dimana Airlangga sedang head to head dengan Bamsoet (Bambang Soesetio). Benturan sudah terjadi dan bisa merusak citra Airlangga dan juga Golkar. Beberapa pihak menilai Golkar menjadi sangat penting pada masa mendatang, bisa jadi kuda tunggangan pilpres 2024.
Menurut penulis, karena sudah masuk peta ramalan Jayabaya, Airlangga tidak perlu terlibat dalam perang campuh melawan Bamsoet. Dalam munas Golkar akhir tahun ini, Airlangga tidak perlu maju, dia harus memilih calon alternatif Ketum Golkar, dukung dengan deal-deal khusus politik untuk melawan Bamsoet. Penulis prediksi peluangnya sebagai satriyo piningit pengganti Jokowi akan maksimum. Ramalan yang dia percaya plus strategi politik cerdas yang harus dia pegang dan jalankan.
Melawan Bamsoet yang punya pendukung sangat kuat harus dia hindari. Namanya bisa cedera dan bila ramalan terbukti dia harus memperbaiki kerusakan yang terjadi.
Pertanyaannya, siapa calon alternatif sebagai calon Ketum Golkar? Penulis menilai Indra Bambang Utoyo (IBU) adalah calon yang memenuhi syarat. IBU dari keluarga TNI (putra mantan Kasad Jenderal Pur Bambang Utoyo, Alm), tokoh FKPPI, punya massa, tokoh senior Golkar, pengalaman, dekat dengan TNI, dekat dengan Ketum PDIP, integritas tidak cacat dan berani. Ada informasi penting lainnya, inner circle di lingkungan White House menyebutnya IBU sebagai white Golkar. Itulah analisis dan prediksi intelijen yang penulis buat.
Apakah ramalan tersebut dapat dipercaya? Kini terserah kepada pembaca, sejauh mana kepercayaan terhadap ramalan yang masih menjadi budaya bangsa kita. Yang pasti, persaingan dalam politik kini dan masa mendatang akan semakin ketat. Pada masa mendatang persaingan bukan pragmatisme politik lagi, tetapi persaingan ideologi. Golkar butuh pemimpin idealis pembela Pancasila. Kalau toh Airlangga jadi pengganti Jokowi, tulang punggung politiknya adalah Golkar dengan Ketum yang kuat serta sejalur dengannya.
Sekali lagi, kita boleh saja percaya terhadap ramalan Jayabaya tentang Notonagoro ini, dan kita bisa pula tidak mempercayai dan menganggapnya sebagai mitos. Penulis hanya menganalisis fakta-fakta yang berlaku, yang jelas, ini hanyalah sebuah prediksi (ramalan) yang bisa jadi benar dan bisa jadi keliru, walaupun demikian tidak ada salahnya untuk di cermati oleh Pak Jokowi dan kita bersama. Semoga bermanfaat.
***
Keterangan: Judul asli tulisan di website Prayitno Rmelan ini adalah "Siapa Pengganti Presiden? Sebuah Prediksi Intelijen", diubah disesuaikan karakteristik pembaca PepNews.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews