Provokasi Para Politisi yang Mendadak Bipolar

Propaganda justru saling pukul dalam isi, bertumpukan antara pernyataan satu menit lalu dengan semenit kemudian; saling bantah antara kata dan kalimat.

Senin, 22 April 2019 | 22:12 WIB
0
672
Provokasi Para Politisi yang Mendadak Bipolar
Prabowo Subianto dan para pengikutnya [Kompas.com]

Sebenarnya saya bisa mengerti jika Prabowo Subianto dan para pengikutnya berusaha menjaga moral saksi-saksi pilpres mereka di lapangan. Tanpa menjaga harapan akan kemenangan Prabowo, sulit orang-orang itu tetap fight menjaga suara dalam perhitungan di sidang-sidang rekap suara di tiap-tiap tingkatan.

Tetapi seharusnya Prabowo Subianto dan pendukungnya bisa melakukan itu dengan santun dan bermartabat, bukannya memprovokasi kebencian dan keresahan dengan menuduh pihak lain melakukan kecurangan.

Pascapencoblosan kian gencar saja kubu Prabowo Subianto melancarkan propaganda pilpres berlangsung curang dan pemenang sesungguhnya adalah Prabowo-Sandiaga. Dengan pernyataan-pernyaan seperti itu, saya jadi mencemasi kebenaran dugaan bahwa Prabowo cs akan bikin rusuh jika kalah.

Mungkin karena panik oleh kekalahan, Prabowo dan pendukungnya berubah menjadi penderita bipolar. Dalam satu kesempatan, pernyataan-pernyataan mereka bertentangan antara kalimat yang satu dengan lainnya, antara kicauan sedetik lalu dan sedetik selanjutnya.

Mari kita lihat beberapa contoh kecil saja dari begitu banyak pernyataan miskin nalar dan bipolar yang dilontarkan kelompok ini.

Kita mulai dengan sejumlah pernyataan akun twiter Prabowo Subianto @prabowo pada 17 April.  Pertama akun @prabowo menulis "Pada proses pemilu kali ini banyak kejadian yang merugikan pihak 02. Banyak kertas suara yang tidak sampai. Banyak surat suara yang tidak sampai. Banyak TPS yang buka terlambat. Banyak yang tidak dapat undangan."(1)

Coba simak lucunya pernyataan ini.

Yang disebut Prabowo itu adalah problem lazim dari pemilu ke pemilu. Surat suara terlambat sampai; TPS buka terlambat; atau undangan pemilihan tidak sampai ke rumah pemilih adalah kasus-kasus sporadis yang meski sudah berusaha diantisipasi pada setiap pemilu, masih saja terjadi.

Kasus-kasus seperti ini bukan cuma merugikan Prabowo-Sandiaga. Siapapun peserta pemilu, bahkan para pemilih dirugikan oleh kondisi ini.

Pernyataan akun @prabowo (entah diketik sendiri oleh Prabowo Subianto atau oleh tim suksesnya) adalah upaya framing peristiwa-peristiwa biasa menjadi tudingan kepada KPU dan kubu Jokowi, mengesankan kelemahan-kelemahan lazim dan tidak sengaja dalam pemilu itu didesain khusus untuk membuat Prabowo kalah. Licik!

Lucunya lagi, surat suara terlambat itu banyak yang terjadi di Papua, basis Joko Widodo. Jika mau main asal tuduh seperti perilaku kubu Prabowo Subianto, maka seharusnya orang-orang Jokowi yang berteriak sudah dirugikan.

Lihat lagi pernyataan selanjutnya.

"... Saya tegaskan disini bahwa ada upaya dari lembaga-lembaga survey tertentu yang kita ketahui bersama memang bekerja untuk satu pihak, untuk menggiring opini seolah-olah kita kalah."(2)

Lah? dari dulu kerjaan Lembaga Survei  adalah membuat prediksi prapencoblosan dan menyelenggarakan hitung cepat pascapencoblosan. Itu sudah jadi bagian dari gimmick jualan jasa mereka. Bukan untuk menggiring opini, melainkan untuk membuktikan mereka memiliki metodologi yang handal. Kian dekat prediksi berbasis survei dengan kenyataan kelak, kian mirip hasil hitung cepat dengan real count nantinya, akan kian dipercaya lembaga survei itu; kian banyak proyek survei mengalir ke mereka di kemudian hari.

Jadi jangan karena Prabowo kalah menurut quick count, lantas semua lembaga survei itu dituduh menggiring opini.

Mengapa mayoritas orang-orang di tim Prabowo-Sandi sangat sulit mengikuti anjuran bersikap waras yang diserukan sekutu mereka, Partai Demokrat?
Lihatlah komentar waras Partai Demokrat melalui Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin berikut ini:

" Yang namanya real count dan quick count memang ada metodologinya. Tentunya kami tidak bisa, walaupun saya tidak secara mutlak harus percaya, kalau metodologi itu dijalankan sesuai dengan norma-norma yang standar dan baku, memang seperti itu keadaannya."(3)

Saya yakin pernyataan Amir Syamsudin sejatinya disampaikan dalam konteks menasehati Prabowo Subianto dan sejumlah orang di kubu itu yang bersikap menuduh macam-macam terhadap lembaga-lembaga survei.

Pernyataan lain dari akun twitter Prabowo Subianto adalah: "Saya himbau pendukung saya semua agar tetap tenang, tidak terprovokasi melakukan tindakan anarkis. Kita fokus mengawal kotak suara karena kotak-kotak itulah kunci kemenangan kita agar kebohongan-kebohongan yang sudah dilakukan bisa dilawan."(4)

Om-Tante layak tertawa berguling-guling sambil menahan kesal di hati membaca pernyataan itu. Itu pernyataan yang jelas-jelas sarat muatan provokasi, menuduh lawan melakukan kebohongan. Eh, malah menyarankan pengikutnya tidak terprovokasi. Menyatakan jangan terprovokasi sembari memprovokasi. Nalar yang sungguh sakit.
Lalu lihatlah pontang-panting nalar pendukung Prabowo dalam berpropaganda.

Akun twitter @masniumar yang kabarnya seorang intelektual, rektor sebuah perguruan tinggi menulis, "Yth Bpk/Ibu Pemimpin Redaksi Media. Dlm upaya menjg suasana damai, sy sarankan spy hasil Quick Count dari berbagai lembaga survei tdk lagi ditayangkan TV krn menjd alat kampanye utk mempengaruhi opini masy. seolah-olah sdh ada pemenang Pemilu pd hal msh dlm proses penghitungan."(5)

Hanya beberapa menit sebelumnya, ia men-twitt hasil hitung cepat yang dibuat lembaganya, LPM Univ. Ibnu Khaldun yang memenangkan Prabowo dengan selisih sangat jauh.(6)

Bah! Kicauannya di twitter berseru-seru tentang jangan percaya lembaga survei, jangan percaya hitung cepat, tunggu perhitungan manual KPU. Di saat yang sama, ia merilis survei lembaganya yang aneh sendiri memenangkan Prabowo Subianto.

Jadinya kubu Prabowo begitu aktif melancarkan propaganda bukannya untuk mengimbangi propaganda kubu Joko Widodo atau rilis hitung cepat lembaga-lembaga survei. Propaganda mereka justru saling pukul dalam isi-nya, bertumpukan antara pernyataan satu menit lalu dengan semenit kemudian; saling bantah antara kata dan kalimat mereka sendiri.

Pernyataan-pernyataan yang seperti ini biasanya dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang panik. Seperti kepanikan para komandan Hitler ketika pasukan Uni Soviet dan Sekutu telah melewati perbatasan Jerman. Semenit lalu serukan pasukan gigih bertempur, semenit kemudian menginstruksikan evakuasi.***

Pernyataan akun @prabowo (entah diketik sendiri oleh Prabowo Subianto atau oleh tim suksesnya) adalah upaya framing peristiwa-peristiwa biasa menjadi tudingan kepada KPU dan kubu Jokowi, mengesankan kelemahan-kelemahan lazim dan tidak sengaja dalam pemilu itu didesain khusus untuk membuat Prabowo kalah. Licik!

Lucunya lagi, surat suara terlambat itu banyak yang terjadi di Papua, basis Joko Widodo. Jika mau main asal tuduh seperti perilaku kubu Prabowo Subianto, maka seharusnya orang-orang Jokowi yang berteriak sudah dirugikan.

Lihat lagi pernyataan selanjutnya.

"... Saya tegaskan disini bahwa ada upaya dari lembaga-lembaga survey tertentu yang kita ketahui bersama memang bekerja untuk satu pihak, untuk menggiring opini seolah-olah kita kalah."(2)

Lah? dari dulu kerjaan Lembaga Survei  adalah membuat prediksi prapencoblosan dan menyelenggarakan hitung cepat pascapencoblosan. Itu sudah jadi bagian dari gimmick jualan jasa mereka. Bukan untuk menggiring opini, melainkan untuk membuktikan mereka memiliki metodologi yang handal. Kian dekat prediksi berbasis survei dengan kenyataan kelak, kian mirip hasil hitung cepat dengan real count nantinya, akan kian dipercaya lembaga survei itu; kian banyak proyek survei mengalir ke mereka di kemudian hari.

Jadi jangan karena Prabowo kalah menurut quick count, lantas semua lembaga survei itu dituduh menggiring opini.

Mengapa mayoritas orang-orang di tim Prabowo-Sandi sangat sulit mengikuti anjuran bersikap waras yang diserukan sekutu mereka, Partai Demokrat?

Lihatlah komentar waras Partai Demokrat melalui Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin berikut ini:

" Yang namanya real count dan quick count memang ada metodologinya. Tentunya kami tidak bisa, walaupun saya tidak secara mutlak harus percaya, kalau metodologi itu dijalankan sesuai dengan norma-norma yang standar dan baku, memang seperti itu keadaannya."(3)

Saya yakin pernyataan Amir Syamsudin sejatinya disampaikan dalam konteks menasehati Prabowo Subianto dan sejumlah orang di kubu itu yang bersikap menuduh macam-macam terhadap lembaga-lembaga survei.

Pernyataan lain dari akun twitter Prabowo Subianto adalah: "Saya himbau pendukung saya semua agar tetap tenang, tidak terprovokasi melakukan tindakan anarkis. Kita fokus mengawal kotak suara karena kotak-kotak itulah kunci kemenangan kita agar kebohongan-kebohongan yang sudah dilakukan bisa dilawan."(4)

Om-Tante layak tertawa berguling-guling sambil menahan kesal di hati membaca pernyataan itu. Itu pernyataan yang jelas-jelas sarat muatan provokasi, menuduh lawan melakukan kebohongan. Eh, malah menyarankan pengikutnya tidak terprovokasi. Menyatakan jangan terprovokasi sembari memprovokasi. Nalar yang sungguh sakit.

Lalu lihatlah pontang-panting nalar pendukung Prabowo dalam berpropaganda.

Akun twitter @masniumar yang kabarnya seorang intelektual, rektor sebuah perguruan tinggi menulis, "Yth Bpk/Ibu Pemimpin Redaksi Media. Dlm upaya menjg suasana damai, sy sarankan spy hasil Quick Count dari berbagai lembaga survei tdk lagi ditayangkan TV krn menjd alat kampanye utk mempengaruhi opini masy. seolah-olah sdh ada pemenang Pemilu pd hal msh dlm proses penghitungan."(5)

Hanya beberapa menit sebelumnya, ia men-twitt hasil hitung cepat yang dibuat lembaganya, LPM Univ. Ibnu Khaldun yang memenangkan Prabowo dengan selisih sangat jauh.(6)

Bah! Kicauannya di twitter berseru-seru tentang jangan percaya lembaga survei, jangan percaya hitung cepat, tunggu perhitungan manual KPU. Di saat yang sama, ia merilis survei lembaganya yang aneh sendiri memenangkan Prabowo Subianto.

Jadinya kubu Prabowo begitu aktif melancarkan propaganda bukannya untuk mengimbangi propaganda kubu Joko Widodo atau rilis hitung cepat lembaga-lembaga survei. Propaganda mereka justru saling pukul dalam isi-nya, bertumpukan antara pernyataan satu menit lalu dengan semenit kemudian; saling bantah antara kata dan kalimat mereka sendiri.

Pernyataan-pernyataan yang seperti ini biasanya dikeluarkan oleh orang-orang yang sedang panik. Seperti kepanikan para komandan Hitler ketika pasukan Uni Soviet dan Sekutu telah melewati perbatasan Jerman. Semenit lalu serukan pasukan gigih bertempur, semenit kemudian menginstruksikan evakuasi.

***