Jangan Politisasi Keniscayaan Kedaulatan Pangan Kita!

Kamis, 21 Februari 2019 | 11:43 WIB
0
413
Jangan Politisasi Keniscayaan Kedaulatan Pangan Kita!
Panen Padi/ANTARA FOTO/Aji Styawan

"Kami akan mengubah arah, dari arah tidak benar ke arah yang benar yang membela kepentingan bangsa Indonesia. Langkah awal dalam reorientasi adalah swasembada pangan,"

Kalimat di atas merupakan bagian dari pemaparan visi dan misi calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, yang disampaikan di Plenary Hall Jakarta Convention Centre Senayan Jakarta, Senin (14/1) malam

Masalah swasembada pangan atau yang populernya disebut kedaulatan pangan, selalu jadi komoditas politik di setiap menjelang pemilihan presiden (Pilpres),  seperti juga yang terjadi saat ini.

Namun, apa yang dikatakan Prabowo masih sebatas pada tataran kata-kata. Kita semua memahami bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi karena sangat menentukan status gizi, kesehatan, dan juga kecerdasan masyarakat.

Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk di masyarakat, tentu saja akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan juga tidak produktif. Dengan kualitas SDM yang buruk, tidaklah mungkin Indonesia menjadi sebuah bangsa yang maju, sejahtera, dan juga berdaulat.

Hal itulah yang selalu dipolitisasi oleh  calon presiden nomor urut 02, seakan-akan masyarakat kita benar-benar kekurangan pangan, gizi buruk, dan lain sebagainya.

Padahal, apa yang dikatakan selama ini, lebih cenderung tidak berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Akibatnya, tak sedikit juga masyarakat melakukan protes terhadap apa yang dilontarkan mantan Danjen Kopassus tersebut.

Bagaimana tidak geramnya masyarakat Klaten kepada Ketua Umum Partai Gerindra ini misalnya, dimana Prabowo menyatakan bahwa masyarakat Klaten resah dan menangis karena dibanjiri beras impor. 

Begitu pula ketika Prabowo melecehkan  masyarakat Boyolali dengan sebutan 'Tampang Boyolali"  yang merujuk pada tampang yang tak bisa diterima di hotel-hotel mewah yang ada di kota-kota besar.

Apa pun yang dikatakan Prabowo masih sekadar janji. Apalagi, jika di dalam dirinya, seperti yang selalu dilontarkan kepada Jokowi, bahwa dirinya seakan  menafikan pembangunan infrastruktur yang selama ini dilakukan Pemerintahan Joko Widodo -- Jusuf Kalla.

Bagaimana pun, swasembada pangan hanya sekadar impian, jika semua tidak disertai pembangun berbagai infrastruktur pendukungnya, seperti irigasi, waduk,embung, termasuk pendirian pabrik pupuk, dan lain sebagainya.

 

Jika mengacu pada konsensus negara-negara yang tergabung dalam Food and Agriculture Organization (FAO), sebenarnya Indonesia sudah bisa dikatakan swasembada beras dan jagung karena telah mampu memenuhi pangannya 90% dari kebutuhan.

Inilah yang membedakan, apa yang telah dilakukan Jokowi dengan apa yang selalu dikatakan Prabowo. Selain sebagai sarana konektivitas, pembangunan infrastruktur yang dilakukan selama ini  juga ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan. 

Tujuannya, tentu saja untuk meningkatkan ketersediaan pangan yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri.

Pembangunan infrastruktur yang begitu masif di Pemerintahan Jokowi-JK, tidak lain adalah untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara lain di dunia, termasuk dalam menggenjot masuknya investasi asing. Bagaimana investasi asing bisa masuk jika infrastrukturnya tidak begitu mendukung.

Dalam catatan sejarah Indonesia, baru di pemerintahan Jokowi-JK yang belum genap 5 tahun, hingga akhir 2017 sudah berhasil membangun sekitar 43 bendungan, yang di 2019 ditargetkan akan terbangun 65 bendungan di seluruh Indonesia dengan kapasitas tampung sebesar 2,11 miliar meter kubik.

Pembangunan bendungan akan berdampak pada peningkatan pelayanan irigasi waduk sebesar 160.000 hektare. Selain itu, juga berdampak pada pemenuhan air baku sebesar 3,02 meter kubik per detik dan meningkatkan potensi energi sebesar 145 mega watt

Pembangunan embung yang dilakukan oleh 3 kementerian dari 2015 hingga 2017, misalnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat berhasil membangun 846, Kementerian Pertanian berhasil membangun 2.348 embung. Sedangkan  Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga membangun 1.927 embung. Selain itu, pemerintah juga membangun 860.015 hektare jaringan irigasi dan merehabilitasi 2.319.693 hektare jaringan irigasi lama. 

Keseriusan Pemerintah menjaga ketersediaan pangan juga dijawab melalui keberanian Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang  memukul genderang perang melawan mafia pangan yang juga patut diacungi jempol.

Begitu pula, pengangkatan Budi Waseso (Buwas) sebagai Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog), tentu saja punya peran penting dalam mempercepat akselerasi program-program pemerintah dan memperkuat ketahanan pangan. Siapa tak mengenal Buwas? Masuknya Buwas di Bulog juga diharapkan bisa memberantas keberadaan mafia beras yang  selama ini 'bergentayangan'.

Dengan kata lain, boleh-boleh saja kubu Prabowo-Sandi menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur di desa-desa tidak berhasil dan jauh dari manfaat. 

Kenyataannya, adanya dukungan kepala daerah terhadap Jokowi untuk melanjutkan pengabdiannya di periode kedua menjadi bukti bahwa apa yg dilakukan Jokowi-JK sudah membuahkan hasil dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. 

Dan, menjadi hal yang realistis jika keberhasilan itu diharapkan untuk terus dilanjutkan.

Bukti nyata keberhasilan Program Nawa Cita Jokowi baru bisa terasa dalam beberapa tahun ke depan, sehingga pembangunan sumber daya manusia (SDM) di periode kedua bagi Jokowi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Salam dan terima kasih.

*** 

Sumber: 

  1. Kompas.com (05/01/2017)
  2. Republika.co.id (21/01/2019)
  3. TribunNews.com (23/07/2018)