Hindari Konflik Kepentingan, Sebaiknya Yusril Segera Tentukan Sikap

Minggu, 18 November 2018 | 09:26 WIB
0
487
Hindari Konflik Kepentingan, Sebaiknya Yusril Segera Tentukan Sikap
Yusril Ihza Mahendra (Foto: Todayindonesia.id)

Pernyataan Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Ferry Noor bahwa menjadi lawyer Jokowi-Ma'ruf tidak berarti Yusril menjadi bagian dari tim sukses Jokowi-Ma’ruf bisa jadi membingungkan sebahagian orang. Secara teoritik sebenarnya hal ini mudah dipahami.

Sebagai tim sukses seseorang ditunjuk berdasarkan mandat untuk memenangkan Capres bersangkutan sedangkan sebagai lawyer, Yusril memegang kuasa khusus Capres dengan batasan kewenangan berdasarkan klausul yang disepakati dalam kuasa.

Sebaliknya, dalam praktek pemilahan semacam ini sungguh tidak sederhana.

Pernyataan Sekjen PBB yang juga membuat pening adalah "Menjadi kuasa hukum, tidak berarti Yusril mendukung Jokowi di Pilpres 2019". Pak Sekjen berusaha menjelaskan pandangannya dengan meminjam metafor yang digunakan Yusril, bahwa menjadi lawyer HTI bukan berarti mendukung HTI, halnya jika menjadi lawyer PKI atau pemerkosa.

"Lawyer tidak bisa disamakan dengan mereka yang dibelanya," kata Yusril.

Konon hal ini yang membuat profesi lawyer memiliki kekhasan tersendiri dibanding pemangku profesi lain. Bahkan dalam kode etik profesi digariskan kalau lawyer dilarang menolak klien dengan alasan perbedaan idiologi, agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.

Di tataran praktis, paradoks ini sulit dipilah karena tujuan Jokowi-Ma'ruf meminta Yusril menjadi lawyer-nya karena berharap seluruh aktivitas politiknya sebagai Capres yang bersinggungan dengan hukum di-backup. Akibatnya sulit memisahkan kepentingan Jokowi-Ma'ruf sebagai Capres dengan peran Yusril selaku lawyer Capres.

Bayangkan misalnya salah satu tugas Yusril sebagai lawyer adalah melaporkan dugaan pelanggaran aturan main Pilpres atau tindak pidana yang dilakukan oleh kubu lawannya. Dalam konteks seperti itu tugas Yusril berhimpit dengan kepentingan Capres yang diwakilinya dan bersebrangan dengan Capres lawannya.

Sejak bergabung sebagai lawyer Jokowi-Ma'ruf peran Yusril jauh lebih kompleks dari sekedar sebagai lawyer. Sepertinya menjadi lawyer adalah pintu masuk bagi Yusril untuk melakukan langkah politik yang lebih strategis. Dimulai dengan penjelasan terbuka ke publik alasannya meninggalkan Prabowo dan menerima pinangan menjadi lawyer Jokowi-Ma'ruf karena Prabowo tidak bersedia membuat komitmen mengenai nasib partai pengusung.

Bagi Yusril, sukses yang akan diraih Prabowo-Sandi tidak memberi manfaat pada partai pengusung di luar Gerindra. Yusril tidak melihat kaitan signifikan antara sukses yang akan dirai Prabowo-Sandi dengan peningkatan perolehan suara Partai Bulan Bintang. Sampai di sini langkah Yusril mendiskreditkan Prabowo-Sandi jelas ditujukan untuk kepentingan pasangan Jokowi-Ma'ruf.

Yusril kemudian mempertajam serangannya dengan menenteng draf "Aliansi Partai Politik Keumatan dalam Rangka Pemenangan dan Legislatif 2019" yang merupakan rekomendasi ulama yang ditolak Prabowo ke ruang publik. Draf itu berisi kesepakatan antarpartai politik pengusung Prabowo-Sandi untuk bahu membahu di Pileg 2019.

Bagi Yusril penolakan Prabowo terhadap draf aliansi yang datang dari ulama ini menunjukkan siapa sejatinya yang mengabaikan peran para ulama dalam kehidupan politik. Dari sudut ini Yusril membidik dasar legitimasi kubu Prabowo-Sandi yang selama ini mengklaim memperoleh dukungan ulama. "Tak ada track record-nya Prabowo-Sandi mendukung ulama," kata Yusril.

Langkah Yusril membuka selubung rahasia kubu Prabowo dari dalam serupa peran para whistle-blower (peniup peluit). Tentu bukan peniup peluit dalam konteks membantu membongkar kejahatan terstruktur dan sistematis dalam sebuah korporasi atau lembaga negara kaitannya dengan kejahatan kerah putih. Melainkan semacam tindakan tidak puas yang dialami karyawan sebuah perusahaan yang memilih membagikan rahasia penting institusinya.

Praktik seperti ini jamak dilakukan karyawan di luar negeri. Bahkan di negara-negara maju banyak perusahaan, organisasi atau kantor pemerintahan yang memiliki semacam ruang khusus pertemuan elektronik tidak resmi dimana informasi rahasia bisa dibagi.

Peran yang dilakoni Yusril sebenarnya jauh lebih kompleks. Jika seorang peniup peluit hanya bertugas membocorkan rahasia penting tanpa harus membuka identitas dirinya, sebaliknya Yusril memilih tampil menyampaikan "rahasia" tersebut ke publik dengan segala konsikuensinya, termasuk kemungkinan berurusan dengan hukum.

Saat memutuskan menjadi lawyer Jokowo-Ma'ruf posisi Yusril sudah sarat kontroversi. Sebagai mantan lawyer Prabowo pada Pilpres sebelumnya serta posisinya sebagai Ketua Umum PBB yang diklaim sebagai bagian Koalisi Keumatan pendukung Prabowo, Yusril jadi rentan terhadap bullying. Posisinya sebagai lawyer HTI pada saat yang sama menjadi lawyer Jokowi-Ma'ruf membuatnya jadi bulan-bulanan nitizen.

Meski hujatan itu kemudian dengan enteng ditekuk, serangan lebih fatal bisa datang dari internal partainya yang sepertinya berat menerima langkah Yusril. Bila PBB "memaksa" memosisikan diri sebagai partai pendukung Prabowo-Sandi sementara Yusril tetap menjabat sebagai ketua umum maka posisi Yusril berpotensi terjebak conflict of interest. Sebab pada kondisi seperti itu Yusril akan kesulitan memosisikan diri kapan sebagai lawyer Jokowi-Ma'ruf serta kapan sebagai ketua umum partai pendukung Prabowo-Sandi.

Untuk menghindari kemungkinan jebakan conflict of interest, tinimbang mengeluarkan pernyataan yang hanya memicu kontroversi sebaiknya Yusril dan elit PBB segera menentukan sikap resmi partai, apakah mendukung salah satu Capres atau memilih netral dalam Pilpres.

***