Suramadu, Strategi Perang Sun Tzu Jokowi

Selasa, 13 November 2018 | 06:46 WIB
0
381
Suramadu, Strategi Perang Sun Tzu Jokowi
Jokowi, Sun Tzu, dan Suramadu [Kompasiana.com/tilariapadika]

Di antara 36 sajak strategi perang dalam Sun Zi Bingfa 'Seni Perang Sun Tzu' ada strategi ke-17 yang disebut melempar bata meraih giok, Pao Zhuan Yin Yu. Ini taktik memenangkan perang dengan menyogok jenderal lawan (dengan uang, perempuan, dan hal lain yang disukai jenderal musuh) sehingga kalahlah pasukannya.

Dalam dunia bisnis, taktik ini adalah dengan mengorbankan biaya tambahan untuk gimmick, misalnya dengan menggratiskan kaos kaki untuk setiap pembelian 3 buku tulis, biasa dilakukan pedagang pasar mingguan kecamatan di kampung saya tiap-tiap musim tahun ajaran baru.

Taktik ini juga beberapa pekan lalu dilakukan hyperm***. Untuk cepat-cepat mengosongkan persediaan mie instant agar tidak keburu kadaluarsa, mereka menjualnya dalam paket 3 biji plus 1 piring gratis.

Para pengusaha jasa mesin pengilingan padi di kawasan-kawasan persawahan di kampung saya juga menggunakan strategi ini. Mereka mengubah bussiness model. Jika sebelummnya petani membayar sekian rupiah untuk setiap kilogram gabah yang digiling, kini layanan itu gratis, cukup ditukar dengan dedak sampah penggilingan.

Bonus kaos kaki, piring, dan gratis giling padi  adalah bata yang dilemparkan, dibuang demi giok yang lebih berharga: lebih cepat dan banyak buku terjual; persediaan mie instant segera habis sebelum kadaluarsa; dan dedak sebagai pakan babi yang harganya lebih mahal dibandingkan jasa penggilingan.

Ketika masih jadi kuli sebagai bisnis konsultan untuk sebuah program market for poor di NTT, strategi ini pula yang saya usulkan kepada service provider, produsen kontainer plastik kedap udara penyimpan jagung.

Jika dijual begitu saja, para petani mungkin tidak  membeli karena belum benar-benar paham kegunaan barang itu untuk menghindarkan 20-60 persen jagung dalam penyimpanan mereka dari kerusakan oleh hama gudang (Sitophylus zeamays).

Agar laris, diberikanlah gimmick berupa terpal gratis setiap pembelian selusin. Selain karena terpal memang dibutuhkan sebagai lantai jemur, harga terpal di daerah saya juga mahal.

Bagi perusahaan, terpal gratis itu cuma batu bata. Hanya dengan mengalokasikan tambahan harga Rp 2.000 pada setiap unit portable silo atau silo jinjing (demikian kami menyebut barang itu), biaya gimmick terpal dapat tertutupi dengan 12 unit portable silo (sebab pabrik membelinya dalam rol besar, dan saat mengirimnya sepaket dengan portable silo sehingga gratis bea kirim).

Bagi petani, terpal gratis itu menerik sebab jika membeli di toko, mereka  harus mengeluarkan uang Rp 80.000 - Rp 120.000 per lembarnya.

Strategi gimmick atau Pao Zhuan Yin Yu tak selalu berhasil. Namun lebih baik gagal mencoba dibandingkan tak melakukan terobosan sama sekali.

Tampaknya Presiden Joko Widodo juga sedang memainkan Pao Zhuan Yin Yu ketika menggratiskan Jembatan Suramadu.

Selama ini kontribusi tarif Jembatan Suramadu hanya sebesar Rp 120 miliar (Setelah beberapa kali pemotongan tarif dan penggratisan bagi kendaraan roda dua) hingga Rp 200 miliar per tahun (pada 2009 sebelum ada pemotongan tarif).

Nilai sebesar ini hanya ibarat batu bata, yang jika dibuang, digratiskan sebagai konsekuensi Jembatan Suramadu diubah dari jembatan tol menjadi jembatan biasa; Pemerintahan Joko Widodo berharap dapat meraih giok.

Apa giok yang bisa diperoleh dari membuang bata tarif Jembatan Suramadu?

Banyak! Pertumbuhan ekonomi di Madura akan membaik sebab investasi diharapkan bertumbuh, properti berkembang, tourisme meningkat.

Pada ujungnya pertumbuhan ekonomi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menambah penghasilan negara berupa pajak yang nilainya berkali lipat lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari tarif Jembatan Suramadu.

Pada dasarnya demikianlah pembangunan berjalan. Ketika pemerintah menggelontorkan anggaran untuk membangun infrastrutkur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bendungan, jaringan listrik, dan telekomunikasi, bukan pemasukan dari infrastruktur itu yang diutamakan melainkan efek dominonya berupa tumbuhnya aktivitas ekonomi yang meningkatkan pendapatan rakyat, juga pendapatan negara (pajak).

Dari pendapatan inilah negara membayar kembali investasi yang dikeluarkan untuk membangun infrastruktur.

Mengapa hanya Suramadu? Mengapa tol yang lain belum digratiskan?

Ya karena pertumbuhan ekonomi di Madura masih lambat, berdampak angka kemiskinan di Madura 16-23 persen, berbeda jauh dengan daerah lain di Jatim yang angka kemiskinannya hanya 4-6,7 persen.

Untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Madura dibutuhkan pemantik, trigger, yiatu penggratisan Jembatan Suramadu itu agar biaya ekonomi pulang-pergi Madura kian efisien. Dampak serupa belum tentu terjadi di daerah-daerah yang sudah maju. Jadi belum tentu ada efek signifikan jika tol di Jabotabek digratiskan pula.

Apakah kebijakan ini politis untuk merebut suara di Madura?

Kubu Pendukung Prabowo-Sandiaga tampaknya panik dan marah Presiden Joko Widodo gratiskan penggunaan jembatan Suramadu. Sejumlah juru bicara Prabowo-Sandiaga menuduh kebijakan Joko Widodo sebagai pencitraan semata-mata.

Kepanikan ini bisa dimengerti. Pada Pilpres 2014 lalu Prabowo-Hatta menang di Madura dengan selisih cukup jauh. Kebijakan menggratiskan Jembatan Suramadu dikuatirkan menggerus perolehan suara Prabowo pada pilpres 2019 nanti.

Namun kecemasan kubu Prabowo ini berlebihan. Penggratisan Jembatan Suramadu hanya mempertegas potensi kehilangan suara Prabowo di Pulau Garam pada pemilihan presiden 2019 nanti.

Sebelum kebijakan ini, ada faktor lain, faktor utama bahkan, yang menyebabkan suara Prabowo-Sandiaga di Madura dalam pemilu presiden 2019 tidak akan sebesar perolehan Prabowo-Hatta dalam pilpres 2014. Faktor itu adalah Mahfud MD.

Pada pilpres 2014, kemenangan Prabowo-Hatta di sejumlah tempat bukan semata-mata karena faktor Prabowo-Hatta. Terlalu ke-pede-an jika menyangka begitu. Seperti halnya Prabowo-Hatta bisa menang di NTB karena faktor TGB Zainul Madji, kemenangan di Madura lebih karena sosok Mahfud MD yang saat itu menjadi ketua tim sukses.

Besarnya faktor Mahfud MD tampak dari peta perolehan suara antar kabupaten-kabupaten di Madura. Di Sampang, kampung asal orang tua dan tanah kelahiran Mahfud MD, pasangan Prabowo-Hatta meraih sekitar 75 persen suara. Di Kabupaten Pamekasan, tempat Mahfud tumbuh sejak kecil hingga menyelesaikan pendidikan guru agama, Prabowo-Hatta meraih 74 persen suara.

Namun di Sumenep, yang tak berhubungan kuat dengan latar belakang Mahfud MD, Prabowo-Hatta hanya meraih 54 persen suara, selisih tipis dengan Jokowi-JK.

Kini dengan tidak ada lagi dukungan Mahfud MD, suara Prabowo-Sandiaga Uno dalam pilpres 2019 akan anjlok.

Jadi tanpa menggratiskan Jembatan Suramadu pun Jokowi-Ma'ruf Amin sudah bisa mengalahkan Prabowo di Madura. Madura bukan basis Prabowo. Madura adalah basis Mahfud MD. Jangan ke-pede-an!


Sumber:

  1. Tribunnews.com (28/10/2018) "Ini Alasan Presiden Jokowi Gratiskan Tol Suramadu"
  2. CNNIndonesia.com (27/10/2018) "Gratiskan Suramadu, Jokowi Sebut Negara Tak Pikir Untung-Rugi."
  3. Sindonews.com (28/08/2018) "Jokowi Gratiskan Tol Suramadu, Gerindra Berikan Komentar "Pedas""
  4. Merdeka.com (17/07/2014)  "Jokowi kalah telak dari Prabowo di Madura yang basis PKB"
  5. Detik.com (28/10/2018) "Jembatan Suramadu Digratiskan, Gerindra: Jokowi Show Off."

Dipublikasi sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika