"Tapi kalau sudah di GARBI silakan keluar dari PKS. Jangan sampai ada gerakan politik di dalam partai politik, itu kan tidak sehat" -- Tifatul Sembiring, 4 November 2018.
Pers mengistilahkan pernyataan Tifatul itu sebagai ultimatum. Itu berarti wajib dituruti dan bersifat mendesak.
GARBI atau Gerakan Arah Baru Indonesia boleh dikatakan sempalan malu-malu dari Partai Keadilan Sejahtera.
Ia sempalan sebab berisi orang-orang PKS yang bertentangan dengan kepemimpinan PKS sekarang yang berada di tangan Salim Segaf dan Sohibul Iman. GARBI berisi orang-orang yang sudah dipecat atau mengundurkan diri dari PKS, dan banyak pula yang masih jadi bagian dari PKS.
Sempalan ini disebut malu-malu sebab hingga kini enggan terbuka untuk menyatakan diri sebagai cikal-bakal partai politik yang kelak menyaingi PKS. Bisa jadi itu karena GARBI masih mempertahankan dua rencana skenario: kudeta kepemimpinan PKS atau jika gagal akhirnya bertransformasi menjadi parpol terpisah.
Berdasarkan penelusuran jejak digital sejumlah publikasi, perbincangan daring, pun diskusi-diskusi luring, tergambarkan bahwa keberadaan GARBI sebenarnya merupakan kristalisasi dari konflik lama antara dua faksi utama di tubuh PKS.
Faksi pertama adalah generasi muda yang menghendaki bentuk organisasi dan langgam kerja PKS berubah menjadi lebih terbuka seturut perkembangan kondisi demokrasi dan politik di Indonesia. Kelompok ini dikenal sebagai faksi sejahtera.
Faksi kedua dimotori kaum tua yang mempertahankan langgam organisasional PKS yang lama sejak masa rintisan, ketika mula-mula menjadi tubuh politik formal dari gerakan tarbiyah. Golongan ini disebut faksi keadilan.
Motor penggerak faksi sejahtera adalah Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, dan sejumlah tokoh lain yang disebut 9 samurai, mengacu kepada jumlah tokoh utamanya. Umumnya kelompok ini didukung oleh eksponen Komite Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), sebuah organisasi semi-legal PKS di kalangan massa mahasiswa. Semi-legal artinya secara resmi tidak berafiliasi dengan PKS, namun ideologi dan politik organisasi berada di bawah pengaruh kuat PKS.
Sebaliknya faksi keadilan berisi kaum tua, orang-orang yang terlibat membawa masuk gagasan gerakan tarbiyah (ikhwanul muslimin) dari Timur Tengah ke Indonesia. Mereka adalah faksi yang hingga kini memimpin PKS, mulai dari ideolog sekaligus Ketua Majelis Syuro terlama Hilmi Aminuddin dan sekutu satu kakinya Suripto (intelijen, bekas kepala staf Bakin yang pernah dipecat dan diproses hukum di era Gus Dur), Salim Segaf (Ketua Majelis Syuro saat ini), dan orang-orang di inti kepemimpinan PKS saat ini seperti Tifatul Sembiring, Sohibul Iman, dan Hidayat Nur Wahid.
Konflik kedua faksi ini memanas ketika Anis Matta menjabat Presiden PKS dan Hilmi Aminudin masih ketua Majelis Syuro.
Pada 2015, Salim Segaf menjadi Ketua Majelis Syuro, mengalahkan petahana Hilmi Aminuddin yang sudah menduduki jabatan itu sejak PKS berdiri. Kabarnya Hilmi menuduh Anis Matta berjuang untuk memenangkan Salim Segaf. Kenyataannya Salim Segaf melengserkan Anis Matta, menggantikannya dengan Sohibul Iman.
Sejak saat itu dikabarkan satu persatu orang-orang Anis Matta dilengserkan dari jabatan-jabatan penting di PKS. Fahri Hamzah adalah salah satu korbannya, disuruh mundur dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR RI.
Sepertinya untuk membuat semua orang Anis Matta muncul, dengan begitu akan mudah dibersihkan, sebuah "operasi intelijen" dijalankan dengan menyebarkan dokumen berjudul "Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS."
Dokumen itu bicara tentang rencana Anis Matta merebut kepemimpinan PKS pada 2020.
Hal ini tampaknya disengaja untuk mempercepat konsolidasi kubu Anies Matta, membuat mereka terpaksa tampil terang-terangan, dengan begitu akan ketahuan siapa saja para loyalis Anis Matta.
Maka muncullah GARBI yang mengklaim diri sebagai ormas lintas latar bekalang politik yang bercita-cita sama: arah baru Indonesia. Meski Anis Matta tidak ada di dalam struktur, tak ada yang membantah bahwa organisasi ini berisi para loyalis Anis Matta.
GARBI menjadi duri dalam daging bagi PKS sebab sebagian anggotanya masih menjadi pengurus PKS, kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, serta caleg.
Membiarkan GARBI bertumbuh di dalam PKS adalah sama saja memberi jalan lapang bagi berkuasanya faksi sejahtera, dan itu berarti sia-sia pengetatan disiplin partai yang sudah menumbalkan ratusan kader (mengundurkan diri atau dipecat) di daerah-daerah.
Tetapi memberangus GARBI saat ini juga sangat berisiko sebab anggota-anggota GARBI banyak pula yang menjadi caleg dari PKS. Mereka tentu akan berhenti berjuang untuk mendapatkan kursi dan itu berarti kerugian besar bagi PKS.
Melihat tindakan Tifatul Sembiring yang mengultimatum anggota GARBI untuk memilih satu di antara dua: PKS atau GARBI, tampaknya faksi keadilan memilih langkah pertama.
Demi mempertahankan dominasi atas PKS, para pimpinan faksi keadilan (Salim Segaf, Sohibul Iman, Hidayat Nur Wahid, dan Tifatul Sembiring) rela PKS gagal mendapat kursi yang cukup untuk bisa duduk di DPR RI dalam pemilu 2019.
Kondisi ini lah yang dalam artikel sebelumnya, "Korupsi Hanya Memangkas PKS Hingga Separuh, Bukan Menihilkannya" saya sebut sebagai leukimia. Para pemimpin PKS telah berubah menjadi sel darah putih yang salah mengenali atau memperlakukan kader-kader (sel darah merah) sebagai unsur asing berbahaya yang hendak menggerogoti tubuh PKS.
Inilah salah satu faktor utama keruntuhan PKS, selain soal kegagalan menerjemahkan ideologi ke dalam politik pilpres yang membuat PKS terserap masuk ke dalam pusaran sentripetal polarisasi parpol ke dalam dua kubu capres-cawapres dan kehilangan warnanya sebagai partai dakwah (tentang ini baca artikel "Gerindra Cuma Katalis, Pimpinan PKS Sendiri yang Membunuh Partainya")
Di mana-mana, kekuatan utama partai kader terletak pada kader-kadernya. Kesatuan gerak kader dan rasa memiliki mereka terhadap parpol adalah kunci kesehatan partai kader.
Kader sebagai sel darah merah dalam tubuh parpol hanya bisa dijaga kesehatannya dengan tiga hal: ideologi, saling percaya antara kader dan pemimpin, serta mekanisme disiplin demokratis.
PKS tampaknya telah kehilangan tiga hal ini.
Tumbuh suburnya iklim negatif saling tak percaya di dalam tubuh PKS tampaknya disebabkan kegagalan organisasional mempertahankan kemampuan manajemen konflik internalnya, hal yang dahulu menjadi salah satu kekuatan PKS.
Alih-alih membuka ruang demokrasi yang lebih besar sebagai landasan menuntut balik disiplin kader, kepemimpinan saat ini tampaknya cenderung menerapkan disiplin tangan besi tanpa membuka ruang demokrasi. Pemecatan, kewajiban teken pernyataan kesetiaan, dan seruan pengunduran diri akhir-akhir ini adalah jejak karakter kepemimpinan yang menempatkan disiplin dalam porsi yang lebih besar dibandingkan demokrasi. Padahal, disiplin adalah konsekuensi demokrasi, bukan sebaliknya.
Sikap mengutamakan disiplin di atas demokrasi menyebabkan faksionalisasi yang awalnya merupakan mekanisme sehat organisasi untuk mengelola perbedaan cara pandang strategis, berubah menjadi polarisasi dengan jurang yang tak terjembatani.
Kondisi ini tak bisa diperbaiki lagi. Dua kubu telah memilih jalannya sendiri. Partai baru adalah keniscayaan. Faksi yang kalah akan menjadikan Garbi parpol pada Pemilu 2024, sementara faksi yang menang mewarisi PKS yang gagal masuk parlemen dalam pemilu 2019 dan karena itu terpaksa pula membuat akta parpol baru dengan nama berbeda pada pemilu 2024.
Inilah skenario akhir sejarah perjuangan parlementer gerakan tarbiyah Indonesia pada fase pertama. Pada fase kedua nanti, 2024, kita akan melihat persaingan dua kendaraan parlementer gerakan tarbiyah, dua partai gurem yang berebut ceruk pasar pemilih yang sempit.
Jadi bukan kasus korupsi atau gerakan pihak luar mengguremkan PKS yang jadi penyebab parpol ini gagal masuk parlemen 2019 nanti, melainkan hal-hal internal terkait kepemimpinan idelogi dan politik, serta manajemen organisasional.
Sumber:
Dipublikasi sebelumunya di Kompasiana.com/tilariapadika
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews