Filosifi Semar dan Kampanye Pilpres 2019

Selasa, 8 Januari 2019 | 06:37 WIB
0
223
Filosifi Semar dan Kampanye Pilpres 2019
Ilustrasi Semar (Foto: Kompasiana)

Salah satu tokoh pewayangan khas Nusantara adalah Semar. Tokoh yang layak diteladani kepemimpinnya dan kesederhanaannya ini tidak akan ada dalam Mahabarata dan Ramayana versi India.  Pengabdian tiada akhir ala Semar memberikan suri teladan bagi bangsa yang seolah hendak dicabik-cabik oleh perselisihan yang anehnya ada yang memilih itu.

Ada sepuluh filosofi Semar yang layak dilihat secara mendalam, bagi pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini. Ingat ini bukan soal agama atau kesukuan, namun nilai baik yang bisa dipakai untuk kesejahteraan bersama. Belum-belum nanti dikaitkan dengan agama atau sektarian lainnya. sangat jauh dari itu semua.

Urip iku urup. Hidup itu nyala jiwa, ada gairah, manfaat bagi lingkungan sekitar. Hidup dalam rti yang positif. Memberikan masukan baik, bukan semata hasutan yang tidak berdasar. Dampak baik, karena toh dampak itu bisa sangat buruk.

Api itu kecil bermanfaat, namun kalau sangat besar ya berbahaya. Pun air juga demikian. Jangan karena semangat nantinya malah merusak. Contoh   konkret hoax, kebohongan, berita palsu, dan sejenisnya. Daya rusak itu juga urup namun bukan membangun.

Memayu hayuning bawana, ambrasta dur angkara, bagaimana pemimpin itu wajib mengupayakan keselamatan dan memberantas angkara murka. Bagaimana jika malah sebaliknya coba. Menakut-nakuti dengan berita buruk yang dihiperbolakan. Memberitakan kecemasan dan nantinya akan datang sebagai penyelamat, namun  itu pun tidak bisa diyakini kebenarannya karena tidak ada rekam jejaknya demikian.

Sura dira jaya jayaningrat lebur dening pangastuti,  mengalahkan sifat angkara murka dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar. Bayangkan, bagaimana jika yang menguasai jiwanya adalah sifat ugal-ugalan, emosional, merendahkan, dan suka akan kekerasan. Kepemimpinan model apa yang hendak ditawarkan coba, jika isinya adalah kemarahan dalam kata dan bahasa tubuh itu nyata.

Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha, berjuang tanpa perlu membawa massa. Lha ini menemukan konteksnya, di mana biasa menggerakan massa, menggerudug yang tidak disukai, memaksakan kehendak, dan fitnah serta mengubah persepsi adalah pekerja sehari-hari.

Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan, jangan mudah sakit hati manakala sedang mendapatkan kemalangan, jangan pula sedih berlebihan jika kehilangan. Nasihat bijak agar tidak memainkan politik sebagai korban. Menuding pihak lain sebagai pelaku dan  diri dan kelompoknya diperlakukan tidak semestinya.

Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman. Jangan mudah heran, jangan mudah menyesal, dan jangan mudah terkejut pada sesuatu, jangan kolokan atau manja. Keberanian menghadapi tantangan, bukan malah baper dan merasa diperlakukan tidak adil. Perilaku pemimpin itu tahu risiko dan siap menyambutnya dengan lapang hati.

Aja ketungkal marang kalungguhan, kadonyan, lan kemareman. Jangan terobesisi pada kedudukan, materi, dan kesenangan duniawi. Cocok dan pas, sehingga bisa berfikir jernih, menakar diri, dan mengukur kemampuan, sehingga tidak menggunakan segala cara demi kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan itu sarana bukan tujuan.

Aja keminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka. Jangan sok pintar sehingga tidak tersesat, dan jangan curang agar tidak selaka. Salah satu ciri keminter, merasa sk pintar adalah mengambil salah satu bahan berita, pernyataan, dan dipotong kemudian dikatakan dengan lantang. Dan ternyata benar karena sok pintar akhirnya salah arah dan anak buahnya bingung mencari pembenar.

Aja milik barang kang melok, aja mangro mundhak kendho, jangan tergiur kemewahan, kecantikan, dan yang inda. Jangan gamang sehingga niatnya luntur. Nasihat bijak untuk tetap bersemangat dan tidak mudah tergiur oleh hal-hal yang tidak utama.

Aja adigang, adigung, lan adiguna. Jangan sok kuasa, sok kaya, dan sok sakti. Nasihat agar tetap membumi sehingga langkahnya menjadi benar dan tidak jatuh pada hal yang remeh.

Nasihat berdasarkan pengalaman, kontekstual adat budaya Nusantara, yang perlu diugemi, dipeggang teguh sehingga pemimpin bangsa ini tidak mudah menghakimi, tidak ugal-ugalan di dalam menyatakan pendapat, dan menimbang baik-buruknya lebih dulu, sehingga pernyataannya bisa dipertanggungjawabkan.

Pernyataan selang hemodialisis adalah pernyataan ngawur yang berulang-ulang. Calon pemimpin, mengajukan diri untuk menjadi presiden, namun menguasi diri, mengolah data dan informasipun ala kadar. Hal yang sepele malah merugikan secara signifikan.

Dalam sebuah kisah inspiratif rohani, diceritakan dua ekor kera beradu kesaktian. Si kera pertama bersama angin  timur yang sangat kencang. Kera dua berpengangan erat-erat dengan kaki, tangan, dan ekor. Ia selamat. Kini berganti peran, kera dua menggunakan angin barat yang sepoi-sepoi, si kera satu terlena dan malah tertidur, karena nyenyaknya tidur ia tidak waspada ketika tiba-tiba angin besar datang, dan ia jatuh.

Angin yang menjatuhkan si kera adalah angin  kecil, karen ia tidak fokus, ia terlena, dan ketika ada susulan masalah ia jatuh. Berbeda dengan serangan frontal sejak awal yang membuat si kera siap-siap dan waspada.

Sepele soal selang, harga hanya tujuh ribu, namun karena data yang diterima tidak utuh, tergesa-gesa karena merasa paling pintar, tergoda untuk mendapatkan kedudukan, langsung begitu saja dinyatakan dan  membuat pusing yang perlu meluruskan. Bagaimana pemimpin model demikian ini. info tidak disaring langsung saja main labrak.

Merasa diri paling hebat, paling pinter, menguasai banyak jaringan sehingga mendapatkan data. Ternyata data itu tidak valid, mungkin data puluhan tahun lalu, dan jadinya malah menjadi bumerang sendiri. Susah memberikan kepercayaan pada pribadi yang demikian ini. Bagaimana bisa  menjadi pemimpin jika lemah di dalam membedakan mana yang benar dan mana yang separo benar coba?

Mirisnya ini bukan hanya satu dua orang, hampir semua koalisi memilikii tipikal yang identik, sama, dan seirama. Asal bicara, kalau ketahuan salah minta maaf, tetapi mengulangi lagi. Apa yang mau diunggulkan model bernegara demikian coba?

Kalau kalah akan mengasnamakan agama, kelompok yang banyak, dan kemudian menekan siapapun untuk menuruti ide, gagasan, dan kadang kegoblogan mereka. Miris sebenarnya melihat sikap abg labil mereka ini. lagi-lagi sebuah kelemahan kepemimpinan ala Semar, di mana mengalahkan orang lain dengan gerombolan, gerudugan, dan membawa bala banyak. Miris bukan? Model ini hanya asal banyak bukan soal kualitas, namun kekerasan karena menang banyak.

Selang cuci darah ini sudah untuk kesikian kalinya atas kesalahan yang sama. Tidak patut pemimpin salah berulang-ulang, apalagi tampaknya lebih cenderung unsur kesengajaan lebih kuat. Mengapa demikian? Jika diterus-teruskan anak buahnya yang akan setengah mati.

Membela untuk meluruskan maksud yang memang salah, bagaimana mau diluruskan barang bengkok itu? Jelas ini masalah besar bagi pemimpin. Akibat selanjutnya adalah akan menekan anak buah jika tetap demikian keadaannya. Kekerasan akan mengikuti.

Jangan kaget jika usai selang ini akan ada lagi entah apa lagi yang dijadikan isu dan pernyataan, yang ujung-ujungnya juga hoax dan kebohongan. Ingat bagaimana keadaan RS sekarang? Jelas menderita sendirian bukan. Itu contoh jelas bagaimana memperlakukan anak buah, rekan, dan kawan. Miris membayangkan rival yang mengritiknya.

Terima kasih dan salam.

***