Megawati dan Perjuangan Ideologi

Minggu, 6 Januari 2019 | 21:53 WIB
0
512
Megawati dan Perjuangan Ideologi
Mural Wajah Megawati dalam Parade Akhir Pekan PDIP [foto: Pepih Nugraha]

Minggu, 6 Januari, kawasan International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat memerah, ramai oleh orang-orang berkaos sewarna bendera PDIP. Di sana memang sedang berlangsung hajatan "Banteng." Sekitar 3.000 orang banyaknya yang terlibat aneka mata acara. Ada panggung hiburan, ada menari massal poco-poco.

Acara bertajuk Parade Akhir Pekan ini merupakan satu dari rangkaian acara memperingati HUT ke-46 PDIP yang berpuncak pada pada 10 Januari nanti.

Biasanya saat perayaan ulang tahun PDIP, yang paling saya nantikan adalah penyampaian pidato ketua umumnya, Megawati Soekarnoputri. Itu karena bagi saya, pidato ketua umum adalah bocoran ringkasan perjuangan ideologi, garis politik, dan kebijakan organisasi (IPO) parpol yang disampaikan kepada khalayak. Menyimaknya membuat kita paham arah kebijakan IPO PDIP ke depannya.

Diberitakan media, tema HUT ke-46 adalah "Persatuan Indonesia Membumikan Pancasila." Tentunya seputar ini pula isi pidato Megawati nantinya. Bicara Pancasila berarti bicara ideologi bangsa yang juga ideologi PDIP. Jika disandingkan dengan pidato-pidato sebelumnya tampak jelas Megawati memandang urusan idelologi sangat penting.

Perjuangan ideologi Megawati berlansung di dua ranah. Ke eksternal, kepada bangsa Indonesia, Megawati tak henti-henti mengingatkan pentingnya menegakkan dan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.

Ke dalam, ia tak hanya hendak memastikan kader-kader PDIP menjadi pembela pancasila. Ia tuntut pula partainya sungguh-sungguh mempraktikan ideologi perjuangan--Megawati menyebutnya teori perjuangan--Marhaenisme.

Dalam pidato di HUT ke-43, 10 Januari 2016, Megawati mengingatkan arti penting marhaenisme sebagai teori perjuangan yang menuntun PDIP untuk berada di garis perjuangan massa marhaen, bersifat progresif dan revolusioner. Baginya, sebagai teori perjuangan, Marhaenisme alat penyatu unsur-unsur kelas populer massa marhaen dengan PDIP sebagai tubuh formal politiknya.

Pada Ultah ke-44, 10 Januari 2017, Megawati bicara panjang lebar tentang hakikat Pancasila dan infiltrasi ideologi tertutup yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

Maraknya mobilisasi politik berbasis sentimen agama dalam pertarungan pilgub DKI menyebabkan Megawati memandang penyebaran ideologi tertutup yang bertentangan dengan Pancasila ini sebagai problem pokok bangsa. Karena itulah ia menyebut masa itu sebagai era “struggle to survive.” Ini adalah masa di mana bangsa Indonesia berada dalam perjuangan untuk bertahan secara fisik dan mental.

Pada perayaan HUT PDIP ke-45, dalam pidato berjudul "Pancasila Bintang Penuntun Indonesia Raya," Megawati bicara tentang mengapa berpolitik harus dilandaskan pada ideologi yang benar.

Menurut Megawati, politik berdasarkan ideologi yang benar akan melahirkan massa rakyat yang sadar, yang memiliki tanggungjawab kebangsaan. Idelogi yang benar juga menuntun pemimpin politik meleburkan diri dalam masalah sosial ekonomi rakyat.

Sebaliknya, Megawati mengkritik ideologi yang semata-mata berfungsi mengumpulkan pengikut yang patuh tanpa rasionalitas dan melegitimasi para pemimpinnya yang mahir manipulasi.

Dalam pandangan Megawati, era post-truth dalam kehidupan berpolitik--ditandai dengan masifnya pemanfaatan hoaks dan fitnah sebagai instrumen mendegradasi lawan--terjadi karena parpol-parpol tidak berpolitik berdasarkan ideologi yang benar.

Megawati memang konsisten bicara tentang pentingnya idelogi. Pidatonya dari tahun ke tahun saat perayaan HUT PDIP senantiasa menyinggung hakikat PDIP sebagai partai ideologis, yang menjadikan Pancasila sebagai filosofi dasar dan bintang penuntun, plus Marhaenisme sebagai teori perjuangan.

Pertanyaannya kemudian, seberapa konsisten PDIP mewujudnyatakan ideologi Pancasila dan teori perjuangan Marhanisme dalam day to day politics mereka?

Agak sulit menilai ini sebab tindakan politik tidak selalu jernih mencerminkan ideologi. Tindakan politik adalah resultante antara pendasaran terhadap ideologi (subjektif) dan pertimbangan kondisi objektif. Termasuk dalam kondisi objektif ini adalah imbangan kekuatan antara parpol, kelas sosial, dan grup kepentingan; kondisi ekonomi; hambatan kultural masyarakat, dan lain-lain.

Oleh sebab itu, parpol idelogis apapun di manapun kerab berkompromi, menyesuaikan tindakan politik dengan hambatan struktural yang ada. Karena kehendak subjektif ideologis parpol sering berbenturan dengan hambatan struktural, program perjuangan PDIP (baik melalui legislasi dan budgeting di DPR, pun program dan kebijakan di eksekutif) tidak selalu bisa berjalan, bahkan tak jarang berselisih dengan semangat mewujudkan Trisakti.

Gara-gara ini, PDIP -demikian pula Megawati dan Jokowi saat menjadi presiden- sering kali dipandang gradualis bahkan berkhianat terhadap Marhaenisme atau cita-cita Trisakti.

Terhadap gerak perubahan mewujudkan cita-cita Indonesia yang tidak bisa gegas ini, Megawati senantiasa menekankan pentingnya kesabaran revolusioner. Baginya, kunci kesabaran revolusioner adalah berpolitik dengan keyakinan, kejujuran, penuh idealisme, dan memegang teguh prinsip pengabdian.

Ya. Selamat HBD PDIP, terus berjuang, Bu Mega.

***