Don't Kill The Messenger!

Sabtu, 8 Desember 2018 | 08:11 WIB
0
518
Don't Kill The Messenger!
Ilustrasi pers dan penguasa (Foto: Ruangdosen.com)

Pada bulan Safar tahun ke-4 Hijriah, Nabi Muhammad SAW mengutus 70 orang sahabatnya menyampaikan dakwah ke penduduk Nejed di timur jazirah Arab.

Adalah Abu Bara Amir bin Malik, pemimpin Kabilah Bani Amir di Nejed yang enggan masuk Islam kecuali dikirimi rombongan sahabat nabi. Kepada Nabi, Abu Bara memberi jaminan keselamatan atas nyawa para utusan.

Sepintas, permintaan Abu Bara ini baik, namun berbuah tragedi. Sebanyak 69 sahabat nabi dibunuh sesampai mereka di Bi’ru (Telaga) Maunah, perkampungan Bani Amir dan Bani Salim. Satu utusan, Kaab bin Zayd selamat karena tubuhnya terkubur di antara sahabat yang dibunuh.

Kau tahu, membunuh utusan adalah salah satu perbuatan keji dalam dunia diplomasi. Para pembawa berita punya kekebalan politik, setidaknya dia mesti dianggap “hanya” penyampai berita.

Kalau kau sedang bermusuhan, sedang berpolemik, maka sasarlah lawan langsung. Sampaikan ke “para utusan” untuk menyampaikan perlawananmu. Tapi bukan marah kepada para utusan.

Nabi pun demikian, 69 sahabat yang tewas itu ditangisi dan diingat-ingat terus oleh beliau. Selama 30 hari, Nabi menitip doa yang panjang dalam qunut nazilah untuk jiwa utusan-utusannya yang syahid itu.

Itulah pemimpin yang baik. Mendoakan para utusan, menangisi mereka ketika syahid.

Wartawan, juga bisa dikategorikan sebagai utusan, penyampai berita. Ia menjadi penghubung kita dengan sumber berita.

Tentu saja memang kadang ada unsur subyektifitas dalam pemberitaannya, tapi itu lazim dalam dunia media. Itu namanya perspektif, sudut pandang.

Satu peristiwa tunggal, bisa disampaikan dari beragam perspektif. Tergantung dari latar pemahaman anda atas peristiwa itu, atau unsur lain yang sekira bisa dikaitkan dengan peristiwa.

Seorang pemimpin yang buruk, terbiasa mengusir dan memusuhi para penyampai berita. Terlebih karena ketidakmampuan dia memposisikan diri sebagai pemimpin yang “layak” diberitakan positif.

Salah satu ciri buruk seorang pemimpin adalah tertutup pada ekspose berita. Itu adalah tanda kesombongan, juga kebohongan. Apalagi kemudian mengumumkan “perang” terhadap media dan wartawan.

Orde Baru mengajarkan kita bagaimana buruknya rezim mengelola perkawanan dengan media. Pemberangusan, pembredelan, intimidasi terhadap wartawan hingga pembunuhan terhadap mereka.

Orde Baru, jangan sampai muncul lagi di Indonesia.

***