Bunuh Diri, Kisah Mengerikan dalam Pidato Kebangsaan

Jumat, 18 Januari 2019 | 15:26 WIB
0
658
Bunuh Diri, Kisah Mengerikan dalam Pidato Kebangsaan
Ilustrasi tali untuk bunuh diri (sumber gambar: www.tribunnews.com)

 

Ngeri dan takut. Itu umumnya rasa yang muncul ketika mendengar kabar seseorang melakukan bunuh diri. Aksi nekat untuk menghabisi diri sendiri dan mengakhiri hidupnya dengan seketika. Mendengarnya menimbulkan rasa tak nyaman.

Bila terjadi di suatu tempat ada yang  bunuh diri, biasanya orang langsung menghindar.  Bila melewati lokasi kejadian, berusaha untuk menjauhi. Keluarga yang ditinggalkan terpukul dan berusaha menutupi cerita pilu yang menyakitkan.

Nah, kematian akibat bunuh diri ini menjadi sebuah topik yang hangat sejak calon presiden (capres) RI  No. 02, Prabowo Subianto yang ditemani wacapresnya Sandiaga Uno menyampaikannya sebagai bagian dari pidato  kebangsaan  Prabowo Subianto Indonesia Menang, yang digelar di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta 14 Januari 2019.  

Ada tiga kasus bunuh diri yang disebut oleh Prabowo. Pertama, dilakukan Hardi, seorang buruh tani dari Desa Tawangharjo, Grobogan, Jawa Tengah. Lelaki ini tewas gantung diri di pohon jati di belakang rumahnya,  dengan meninggalkan isteri dan anak.

Kedua, seorang guru di Pekalongan gantung diri. Ini tidak disebut namanya dalam pidato, tapi berdasarkan penelusuran,  Radar Pekalongan melaporkan adanya seorang guru PNS berinisial R (39) asal Dukuh Sutosari, Desa Pantirejo, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan, yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, 17 April 2018

Kasus bunuh diri ketiga  yang disebutkan Prabowo dilakukan Sudarsi (44) warga Dusun Sambirejo RT02/02, Desa Watusigar, Kecamatan Ngawen. Tanggal 4 Januari 2019, perempuan ini nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.

Kenapa bunuh diri? Apa penyebabnya? Kenapa ada orang yang memilih untuk menghilangkan nyawa sendiri dengan cara-cara menyakitkan? Banyak jalan untuk ‘mati’. Sebut saja gantung diri, menyayat diri, melompat dari ketinggian,minum racun, menabrakkan diri, membakar diri, dan lainnya.

Dalam pidato kebangsaan Prabowo Subianto Indonesia Menang, hanya menyebut tiga pelaku bunuh diri itu akibat gantung diri. Padahal, masih banyak ‘cara’ lain. Prabowo menekankan jika selama beberapa tahun terakhir, sudah mendapat laporan ada belasan cerita tragis bunuh diri, seperti almarhum Hardi.

Tiga kisah bunuh diri itu seakan mewakili kisah-kisah yang masuk berita. “Yang tidak masuk berita mungkin lebih banyak lagi,” kata Prabowo.

Terlibat utang dan masalah ekonomi disebut-sebut menjadi tindakan bunuh diri yang dilakukan. Betulkah? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Sebab, banyak sekali penyebab orang untuk melakukan tindakan bunuh diri.

Dalam sebuah pemberitaan, umumnya menggunakan kata ‘diduga’  akibat masalah ekonomi. Kenyataannya, pelaku bunuh diri pun belum tentu mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.

Grobogan dan Bunuh Diri

Dua wilayah, yakni Gunungkidul dan Grobogan sama-sama terletak di Jawa Tengah. Entah kenapa contoh kasus bunuh diri, diambil dari wilayah yang menjadi kantung perolehan suara bagi partai pengusung pasangan calon presiden No.1 Jokowi Amin. Dua  kabupaten ini sejak lama terbilang menonjol dalam kasus bunuh diri.

Wilayah Grobogan,  Jawa Tengah memiliki  catatan jumlah kasus bunuh diri cukup tinggi. Penelusuran melalui internet kasus bunuh diri di wilayah ini dengan memasukkan kata grobogan dan gantung diri, langsung bisa ditemukan dengan mudah.

Dikutip dari Tempo Interaktif, kasus bunuh diri di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah memang menonjol. Sepuluh tahun lalu, Pemkab Grobogan menyampaikan  rata- rata setiap tahun ada 30-50 orang bunuh diri.

Pada tahun 2008, ada 75 orang melakukan bunuh diri dengan berbagai penyebab dan dilakukan lelaki maupun perempuan, serta usia dewasa maupun remaja.Cara pelaku bunuh diri beragam.  Terbanyak dengan gantung diri dan sisanya dengan minum obat serangga, serta menabrak kereta api yang sedang lewat. Penyebabnya beragam. Faktor kemiskinan, sakit menahun karena tidak kunjung sembuh, himpitan utang, asmara, dan perselingkuhan menjadi pemicunya.

Data dari Polres Grobogan pada website tribratanews menyebutkan, sepanjang tahun 2018, ada 22 kasus orang bunuh diri. Jika dirata-rata, setiap bulan hampir ada 2 pelaku bunuh diri. Moifnya soal ekonomi, jeratan hutang.  penyakit yang tidak kunjung sembuh, depresi, dan soal-soal sepele. Pelaku bunuh diri ini tidak hanya orang tua, tapi juga remaja dan dewasa.

Gunungkidul dan Mitos Pulung Gantung

Gunungkidul sudah lama dikenal dengan tingginya jumlah kasus bunuh diri. Masyarakat yang tinggal di wilayah ini juga sangat lekat dengan mitos Pulung Gantung.

Apa itu? Pulung Gantung merupakan kisah sebuah bola api yang konon muncul di atas sebuah rumah. Bentuknya seperti gayung. Berwarna merah, seperti cahaya lampu. Untuk mengusirnya, warga memukuli kentongan dan lesung agar pergi dan membatalkan kemungkinan bunuh diri.  

Mitos itu sudah lama tertanam kuat di masyarakat Gunungkidul. Meski tak diketahui pasti  kebenarannya, Pulung  Gantung disebut sebagai penyebab adanya masyarakat Gunungkidul melakukan gantung diri. BBC Indonesia pernah mengupasnya mengenai kasus bunuh diri di Gunung Kidul terkait mitos Pulung Gantung.

Yayasan INTI MATA JIWA disingkat IMAJI sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang kesehatan jiwa, pencegahan bunuh diri, dan usaha penanggulangan bunuh diri di wilayah Gunungkidul, dalam situsnya mengakui jika sampai kini, masih ada pihak-pihak yang mengangap cerita tutur Pulung Gantung menjadi penyebab bunuh diri.

Menurut LSM yang didirikan di Gunungkidul pada tanggal 18 Maret 2017 ini, permasalahan riil yang sesungguhnya melingkupi korban, justru tak pernah tersentuh dan terabaikan.

Data Polres Gunungkidul, selama tiga tahun terakhir (2015-2017) dugaan penyebab bunuh diri akibat depresi mencapai 43%, sakit fisik menahun 26%, sakit/gangguan jiwa 6%, masalah ekonomi 5 % dan masalah keluarga 4%.

Adapun angka bunuh diri di Gunungkidul di tahun 2015 terdapat 31 kejadian dan 2 percobaan bunuh diri, tahun 2016 ada 30 peristiwa bunuh diri dan 3 kali percobaan. Sedangkan di tahun 2017 ada 30 orang bunuh diri.

Ada 4 kejadian percobaan bunuh diri di tahun 2017, yang  para pelaku yang melakukan percobaan hingga saat ini masih hidup. Polres Gunung Kidul juga mencatat,  terdapat 30 kasus bunuh diri pada tahun 2018. Hingga pertengahan Januari 2019 bahkan sudah ada empat orang yang mengakhiri hidupnya sendiri.

Dilihat dari data Polres Gunungkidul selama tiga tahun terakhir (2015-2017) terlihat jelas jika penyebab banyaknya tindakan kasus gantung diri Gunung Kidul adalah akibat depresi. Faktor bunuh diri akibat ekonomi memang ada, tapi jauh jumlahnya dari yang disebabkan oleh depresi.

Bukan Hanya Orang Miskin Bunuh Diri

Bunuh diri memang kasus mengerikan yang harus dihindari. Menurut catatan WHO (World Health Organization) tahun 2003, bunuh diri merupakan tiga penyebab terbesar kematian pada penduduk usia 15-35 tahun. Setiap tahunnya terdapat 1 juta orang bunuh diri.

Begitu pentingnya upaya pencegahan bunuh diri, IASP (International Association for Suicide Prevention) dan WHO  menetapkan dalam deklarasi di Stockholm tanggal 10 September 200,3 sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day). Kemudian, tanggal 10 setiap tahunnya diperingati di seluruh dunia.

Masih mengutip artikel di LSM IMAJI, data nasional mengenai bunuh diri di Indonesia belum terkumpul secara resmi. Selain itu, juga belum diperoleh angka kejadian bunuh diri per wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Sehingga,  belum bisa  diperoleh bagaimana peringkat angka bunuh diri yang terjadi di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Dalam artikel Seputar Mitos dan Fakta Bunuh Diri , dari enam mitos dan fakta yang disebutkan, bisa digarisbawahi salah satu mitos hanya orang miskin yang bunuh diri. Faktanya adalah pikiran bunuh diri tidak permanen, dan untuk beberapa orang tidak akan melakukannya kembali.

Bunuh diri dapat terjadi pada semua orang, tergantung pada keadaan sosial, lingkungan, ekonomi dan kesehatan jiwa. Menurut para ahli kesehatan jiwa, orang yang mengalami gangguan jiwa beresiko tinggi melakukan upaya bunuh diri hingga 10 kali lipat, bila dibandingkan dengan orang dengan kondisi jiwa yang sehat.  

***