Kebijakan presiden Jokowi menggratiskan jembatan Suramadu yang menghubungkan antara Surabaya dan Madura mendapat kritikan atau nyinyiran dari politisi oposisi. Tak terkecuali mantan presiden atau ketua umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
SBY yang juga ketua umum Demokrat mempertanyakan alasan pemerintah atau presiden Jokowi mengambil kebijakan atau keputusan menggratiskan jembatan Suramadu dari berbayar menjadi gratis. Menurutnya pemerintah atau presiden Jokowi bisa menjelaskan latar belakang kebijakan menggratiskan jembatan Suramadu, apa karena pertimbangan ekonomi, pertimbangan sosial atau faktor lain.
"Karena saya tahu sekarang timbul polemik pro dan kontra dari kalangan masyarakat, Pak Jokowi bisa menjelaskan alasan beliau, mengapa khusus biaya tol Jembatan Suramadu itu digratiskan," kata SBY seusai acara temu kader Partai Demokrat se-DIY di Kulon Progo, Minggu (28/10/2018).
Pertanyaan mantan presiden SBY berkaitan dengan kebijakan presiden Jokowi atau pemerintah menggratiskan Jembatan Suramadu sebenernya lebih tepatnya sebagai ketua umum partai Demokrat dibanding sebagai mantan presiden. Karena sebagai oposisi dan ketua partai wajar mempertanyakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Apalagi sekarang tahun politik dan masuk masa kampanye pilpres, sedangkan presiden Jokowi sebagai petahana juga sebagai calon presiden. Bagi oposisi kebijakan presiden Jokowi menggratiskan jembatan Suramadu sebagai pencitraan dan ingin merebut suara di Madura yang pada pilpres 2014, presiden Jokowi suaranya kalah telak.
Bahkan menurut wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo dengan nada nyinyir atau nyindir: ini tergolong kebijakan sontoloyo atau tidak ya?
Yang sangat memprihatinkan adalah para politikus oposisi ini sepertinya asal kritik atau protes saja, seakan tidak menguasai atau prosedur kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang menggratiskan jembatan Suramadu.
Perlu diketahui, kebijakan atau keputusan menggratiskan jembatan Suramadu bukan kewenangan atau otoritas tunggal pemerintah atau presiden Jokowi, akan tetapi bersama-sama dengan DPR dari semua fraksi partai, baik dari partai pendukung pemerintah atau dari partai oposisi.
Jadi kebijakan menggratiskan jembatan Suramadu itu atas persetujuan dari DPR, baik dari partai pemerintah atau partai oposisi. Bukan kebijakan atau keputusan sesuka-suka presiden atau pemerintah.
Kenapa partai oposisi tidak memprotes atau menolak waktu pembahasan soal penggratisan jembatan Suramadu? Kenapa baru mengritik setelah kebijakan atau keputusan di undangkan?
Inilah sifat politikus kita, di dalam ruang DPR mereka setuju, di luar gedung DPR mereka ngedumel.
Sebenarnya dari awal peresmian jembatan Suramadu yang diresmikan oleh mantan presiden SBY, warga atau masyarakat Madura minta jembatan Suramadu digratiskan.
Pembangunan jembatan Suramadu menelan anggaran atau biaya kurang lebih Rp4,5 trilyun.
Tujuan dibangunnya jembatan Suramadu untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, terutama infrastruktur dan ekonomi yang masih tertinggal dengan daerah lain. Dan jembatan Suramadu untuk membuka wilayah yang awalnya terisolasi dengan wilayah Surabaya atau Jawa Timur, karena dulu harus memakai kapal penyeberangan.
Artinya kita tidak bisa menyamakan pembebasan tarif tol jembatan Suramadu dengan jalan-jalan tol lainnya. Ini adalah jembatan penghubung dari selat Madura dengan wilayah Jawa Timur.
Karena banyak masyarakat Madura yang bekerja atau urbanisasi ke wilayah Jawa Timur untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Ini untuk menanggapi pihak-pihak yang ingin tarif tol lainnya juga digratiskan seperti jembatan Suramadu, ini namanya "politikus sontoloyo".
Jadi tidak ada masyarakat yang protes penggratisan tarif tol jembatan Suramadu, yang protes adalah para politikus.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews