Mempersembahkan gading gajah sebagai belis pernikahan yang dijadikan kewajiban dalam pernikahan oleh masyarakat Lamaholot hal ini dianggap bermanfaat dan memiliki tujuan yang jelas oleh karena itu tetap dipertahankan.
Indonesia adalah negara dengan kekayaan yang beragam tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia tidak hanya memiliki sumber daya alam, tetapi memiliki kekayaan lain, seperti budaya etnis yang kaya. Budaya pada setiap daerah tentunya berbeda, salah satunya budaya pernikahan masih berlaku di masyarakat Lamaholot hingga saat ini disesuaikan budaya yang masih ada dan dilestarikan oleh masyarakat Kabupaten Lamaholot Lembata salah satunya adalah budaya pemberian belis pernikahan berupa gading gajah. Menurut Wadu (2005), pernikahan adat memiliki tujuan yaitu menciptakan masyarakat yang harmonis serta sejahtera, melibatkan berbagai ritual dan sesajen atau syarat di akhir upacara, sebagai mendukung kelancaran proses upacara dalam jangka pendek dan panjang, sehingga tercapai kehidupan keluarga yang bahagia, sah dan utuh.
Pemberian belis dengan menggunakan gading gajah merupakan salah satu prinsip moral. Melestarikan kebudayaan dalam masyarakat dapat dianggap sebagai prinsip moral, terutama jika kita melihatnya sebagai upaya untuk mempertahankan dan mempertahankan warisan budaya yang memiliki nilai historis, estetik, atau spiritual, sama halnya dengan masyarakat Lamaholot yang turun-temurun dan tetap dipertahankan serta dilestarikan menggunakan gading gajah sebagai belis pernikahan. Hal ini karena persembahan belis memegang peranan penting dalam masyarakat Lamaholot, yang merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang tinggal di wilayah Nusa Tenggara Timur. Dalam konteks budaya Lamaholot, pemberian belis mencerminkan prinsip-prinsip moral seperti penghargaan, tanggung jawab, solidaritas, persatuan.
Gading gajah merupakan atribut sakral masyarakat Lamaholot, hal inilah yang menjadi salah satu alasan pentingnya pemberian belis di masyarakat Lamaholot, dengan adanya kepercayaan bahwa laki-laki tidak memperlakukan perempuan secara semena-mena, karena gading merupakan simbol penghormatan tertinggi bagi seorang perempuan yang menikah dalam pernikahan adat masyarakat Lamaholot. Sistem pembayaran belis biasanya melibatkan perempuan yang menentukan berapa gading gajah yang dibawa laki-laki sebelum menikah. Belis gading gajah memiliki fungsi sosial sebagai mempererat hubungan kekerabatan dalam keluarga. Belis gading gajah merupakan tradisi yang diyakini memiliki manfaat dan kebaikan terutama dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong dan rasa kebersamaan dalam masyarakat.U
pacara pernikahan adat masyarakat Lamaholot yang menggunakan gading gajah sebagai belis merupakan simbol penghormatan tertinggi bagi wanita yang sudah menikah dan juga simbol penyatuan pria dan wanita. Pernikahan adat berupa belis gading gajah merupakan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dan diikuti oleh sebagian besar masyarakat di Lamaholot. Keberadaan anak dari perkawinan adat sangat dinantikan sebagai wujud kebahagiaan, cinta dan kebanggaan keluarga. Belis diberikan atas permintaan dan persetujuan keluarga laki-laki dan perempuan sesuai dengan status sosial mereka di masyarakat.
Pemberian gading gajah dalam adat etika masyarakat Lamaholot bukan sekedar syarat dalam pernikahan akan tetapi pemberian belis dalam budaya Lamaholot dijadikan sebagai tata perilaku masyarakat karena merupakan bagian integral dari adat dan tradisi yang mengatur hubungan antara keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan saat pernikahan. Tata perilaku ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan sosial, menghormati keluarga mempelai perempuan, dan memperkuat ikatan antar-keluarga. Hal inilah yang menjadikan belis sebagai syarat penting dalam tradisi pernikahan masyarakat Lamaholot, karena merupakan bagian dari tata perilaku yang mengatur interaksi sosial dan hubungan antara keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan dalam konteks pernikahan. Hal ini mencerminkan nilai-nilai, norma.
Etika teleologis merupakan teori etika yang menjelaskan bahwa mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, bila tujuannya baik atau akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu baik. Teori ini menyatakan mengenai baik dan buruknya suatu tindakan tergantung pada tujuan yang dicapainya. Suatu tindakan yang dimaksudkan dengan baik tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang bermakna tidak pantas disebut baik (Bertens 2000: 67). Teori etika teleologis juga menjelaskan bahwa sebelum seseorang melakukan suatu tindakan terlebih dahulu ia harus memikirkan apa akibat yang akan ditimbulkannya, apakah baik atau buruk. Kita dapat melanjutkan tindakan tersebut jika memiliki efek yang baik, sebaliknya tidak melakukan sesuatu jika berdampak buruk, hal ini karena apabila seseorang bertindak tanpa adanya pertimbangan yang matang maka individu akan jatuh pada situasi yang tidak diinginkan. Teori ini memiliki beberapa bentuk salah satunya adalah teori utilitarianisme. Teori utilitarianisme memiliki pendekatan konsekuensialis dalam menilai tindakan. Konsekuensi yang dianggap penting adalah jumlah kebahagiaan yang dihasilkan. Utilitarianisme memandang kebahagiaan sebagai nilai intrinsik dan berupaya untuk memaksimalkannya. Konsekuensi yang dianggap penting adalah jumlah kebahagiaan yang dihasilkan. Utilitarianisme memandang kebahagiaan sebagai nilai intrinsik dan berupaya untuk memaksimalkannya. Konsekuensi yang dianggap penting adalah jumlah kebahagiaan yang dihasilkan. Utilitarianisme memandang kebahagiaan sebagai nilai intrinsik dan berupaya untuk memaksimalkannya.
Teori utilitarianisme merupakan teori etika teleologis yang menjelaskan bahwa suatu tindakan atau kebijakan dianggap baik jika tindakan atau kebijakan tersebut membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, hal ini karena menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya satu atau dua orang. Dalam teori ini juga ditekankan bahwa persoalan individu tidak dipentingkan, karena individu harus berkorban untuk menikmati bagi masyarakat secara keseluruhan, seperti memajukan kesejahteraan, kebahagiaan, serta kemakmuran bagi semua orang, maka itu adalah tindakan yang baik. Namun, jika sebaliknya yang terjadi maka itu adalah hal yang buruk. Hal ini karena dalam pengambilan keputusan, utilitarianisme mendorong kita untuk mempertimbangkan dampak tindakan kita terhadap semua pihak yang terlibat dan memilih tindakan yang menghasilkan akhirat yang paling menguntungkan secara keseluruhan. Sudarminta (2013:127) juga menunjukkan bahwa prinsip ini menekan bahwa perilaku yang benar secara moral itu berguna. Suatu tindakan dianggap bermanfaat jika secara keseluruhan dapat mendatangkan keuntungan atau kebahagiaan yang besar bagi banyak orang. Oleh karena itu seseorang ketika bertindak atau bergaul harus mempertimbangkan atau mencari tahu terlebih dahulu apakah yang dia lakukan ini memiliki konsekuensi yang baik dan menguntungkan bagi semua orang, jika hal itu baik dan menguntungkan maka pertahankan dan lakukan, namun konsekuensi yang didapatkan sebaliknya maka perilaku atau tindakan tersebut sebaiknya tidak dilakukan.
Teori deontologi merupakan teori etika yang menjelaskan mengenai suatu tindakan yang dinilai baik bila tindakan itu didasari oleh motivasi atau niat, kemauan, kesadaran bahwa tindakan itu merupakan kewajiban yang wajib memang dijalankan. Oleh karena itu kesadaran akan kewajiban menjadi dasar bagi seseorang dalam bertindak atau berperilaku, sehingga teori ini menekan bahwa baik buruknya tindakan atau perilaku itu tidak ditentukan oleh akibat baik atau buruk yang diperoleh pelaku. Berdasarkan prinsip etika deontologis moralitas merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia tanpa campur tangan pihak luar, misalnya mengenai objek perbuatan,akibatnya, dan kepentingan orang yang bertindak. Teori ini juga tekanan tentang rasionalitas. Rasional menuntut penghakiman benar atau salahnya suatu tindakan, bukan di atas dasar perasaan hakim, tetapi di atas dasar prinsip-prinsip rasional (rasional) sehingga dapat dijelaskan dan kebenarannya diuji oleh orang lain. . Apalagi rasionalitas ini didukung oleh pertimbangan-pertimbangan universal, yaitu prinsip-prinsip yang diterima dan berlaku bagi semua orang, di mana pun dan kapan pun. Menurut Immanuel Kant (dalam Sudarminta 2013:136) etika merupakan sesuatu yang saling berhubungan langsung dengan hukum moral, yang secara mutlak mengikat semua manusia secara mandiri apakah kepatuhan terhadap peraturan ini mengarah pada efek atau hasil positif atau tidak. Oleh karena itu apabila seseorang bertindak atau berperilaku tidak hanya berfokus pada tujuan yang ingin dicapai tetapi perlu mempertimbangkan serta memperhatikan kepatuhan serta kewajiban yang mengarah pada sesuatu yang baik.
Dalam kehidupan di lingkungan masyarakat tentunya memiliki berbagai prinsip yang berkembang dan terus dipertahankan yang berdampak pada tata perilaku masyarakat tersebut dan hal tersebut juga terjadi di lingkungan masyarakat lamaholot. Salah satu prinsip yang dipertahankan sampai sekarang adalah pemberian gading gajah sebagai belis pernikahan yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pemberian belis tentunya sangat berdampak pada tata perilaku masyarakat yaitu masyarakat dengan mempertahankan dan memperkuat tradisi serta norma-norma yang terkait dengan pernikahan. Selain itu memberikan belis yang berkaitan dengan tujuan dalam tindakan. Hal ini karena seseorang yang memberikan kepercayaan berarti dia melakukan hal tersebut untuk menjalin hubungan yang lebih serius yaitu pernikahan dan tentunya dia telah mempertimbangkan konsekuensi yang akan didapatkan. Dimana konsekuensi tersebut harus berdampak baik bukan hanya untuk dirinya sendiri tetapi wajib untuk semua orang disekitarnya. Dimana tindakan ini bukan hanya tentang dua keluarga akan tetapi dengan lingkungan sosialnya juga, sebab pemberian belis pernikahan dapat dianggap sebagai faktor yang dapat meningkatkan kebahagiaan calon pengantin dan keluarga mereka. Jika besaran belis tersebut dapat memenuhi harapan dan kebutuhan mereka, hal itu dapat memberikan kepuasan emosional dan sosial. Dalam perspektif teori utilitarisme, jika pemberian belis tersebut meningkatkan kebahagiaan individu dan keluarga, maka dapat dianggap sebagai tindakan yang memiliki tujuan yang bermanfaat akan tetapi apabila memberikan belis tersebut menciptakan ketidakadilan atau ketegangan sosial yang signifikan, maka hal tersebut dianggap tidak etis. melakukan sesuatu tindakan harus memperhatikan konsekuensi bagi semua orang disekitarnya tetapi mengutamakan kepentingan masyarakat lebih utama, tetapi perilaku bermoral dengan menghormati hak-hak mutlak individu merupakan hal yang penting.
Tindakan atau perilaku yang dilakukan bukan hanya mempertimbangkan dengan memperhatikan tujuan tetapi perlu pertimbangan motivasi atau niat, kewajiban, kesadaran, dan kehendak. Hal ini dikarenakan menurut perspektif teori deontologi, tindakan pemberian belis pernikahan merupakan sesuatu yang memiliki nilai moral karena memenuhi aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Orang yang menganut pandangan ini akan melihat pentingnya mematuhi aturan atau tradisi yang ada, tanpa memperhatikan konsekuensi atau hasil yang mungkin timbul dari tindakan tersebut. Dalam lingkungan masyarakat Lamaholot mempersembahkan gading gajah sebagai belis merupakan tradisi yang wajib dilakukan dalam pernikahan, dikarenakan pemberian belis dalam pernikahan dengan menggunakan gading gajah seringkali telah menjadi bagian dari tradisi dan norma sosial dalam masyarakat tertentu. Budaya atau komunitas mungkin bersaing sebagai kewajiban atau tuntutan yang harus dipatuhi sebagai bagian dari proses pernikahan. Ketika memberikan belis dianggap sebagai hal yang wajib, masyarakat cenderung mengikuti norma tersebut dan menyesuaikan perilaku mereka sesuai dengan harapan sosial. Akan tetapi terkadang kewajiban ini disalah gunakan oleh berbagai oknum masyarakat, seperti mempersembahkan belis dalam pernikahan dapat berhubungan erat dengan tekanan sosial dan keluarga yang dialami oleh calon pengantin pria dan keluarganya. Masyarakat atau keluarga dapat mengharapkan atau meminta mereka untuk memberikan hak tertentu sebagai bentuk pengakuan, status sosial, atau setara dengan keluarga pasangan. Tekanan ini dapat mempengaruhi tata perilaku masyarakat dengan memaksa individu atau keluarga untuk mematuhi praktik pemberian belis, meskipun ada perbedaan kapasitas finansial atau keinginan individu, selain itu pemberian belis dalam pernikahan juga dapat mempengaruhi tata perilaku masyarakat melalui pengaruh budaya dan identitas. Praktik mempersembahkan gading gajah sebagai belis sering kali dipandang sebagai bagian integral dari identitas budaya atau etnis tertentu. Orang-orang dalam budaya tersebut mungkin merasa terikat dan bangga dengan tradisi mempersembahkan belis, dan hal ini dapat mempengaruhi tata perilaku mereka dalam mematuhi praktik tersebut. Pemberian gading gajah sebagai belis pernikahan merupakan sesuatu yang berpengaruh bagi masyarakat Lamaholot dimana belis dianggap sebagai sesuatu yang penting, sehingga mempersembahkan belis meruapakan sesuatu yang sakral di kalangan masyarakat Lamaholot, hal ini tradisi yang turun-temurun. Pemberian gading gajah sebagai belis dapat dikatakan sebagai salah satu tradisi yang mempengaruhi hidup masyarakat Lamaholot yang dipertahankan, akan tetapi bukan sekedar dijadikan tujuan tetapi jadikan ini kewajiban dan lakukan sesuai dengan benar tanpa dikuti tindakan yang merugikan banyak orang.
Dengan demikian pemberian gading gajah sebagai belis merupakan kewajiban yang harus dipenuhi, dengan tetap mempertimbangkan akibat atau akibat yang mungkin timbul serta tekanan pada pemenuhan aturan atau norma yang berlaku dengan tetap mempertimbangkan segala tindakan apakah berakibat baik atau tidak, karena pemberian belis melibatkan banyak orang, ole. karena itu segala perilaku yang akan dilakukan apabila melibatkan banyak orang jangan hanya melihat dari tujuan tetapi juga kewajiban dan perhatikan apakah konsekuensi yang didapatkan itu bermanfaat bagi banyak orang atau mala merugikan, apabila menguntungkan maka perilaku tersebut dapat dipertahankan apabila tidak maka jangan dilanjutkan.Sama halnya dengan tradisi mempersembahkan gading gajah sebagai belis pernikahan yang dijadikan kewajiban dalam pernikahan oleh masyarakat Lamaholot hal ini dianggap bermanfaat dan memiliki tujuan yang jelas oleh karena itu tetap dipertahankan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews