Kelompok separatis dan teroris (KST) terus melakukan aksi keji dan melanggar HAM di Papua. Bulan juni lalu mereka membuat kerusuhan di Yahukimo, sehingga aparat harus bertindak tegas untuk menumpas gerombolan tersebut.
Papua adalah provinsi paling timur yang bergabung dengan Indonesia, karena sempat ada sengketa dengan Belanda. Akhirnya Papua (dulu Irian Jaya) menjadi wilayah NKRI setelah ada Pepera (penentuan pendapat rakyat) tahun 1969. Akan tetapi ada pihak yang tak setuju dan akhirnya mereka membentuk organisasi papua merdeka (OPM) dan punya KKB sebagai pasukannya.
KKB yang namanya diubah jadi KST (kelompok separatis dan teroris) sejak dulu konsisten, sayangnya dalam hal yang buruk. Mereka menebar kekacaun di Papua, dengan alasan ingin merdeka. Yang jadi pertanyaan, jika ingin bebas, mengapa yang jadi korban kebanyakan warga sipil yang merupakan orang asli Papua?
Oleh karena itu KST terus diburu oleh Satgas Nemangkawi dan aparat lain, karena mereka melakukan pelanggaran HAM berat, yakni pembunuhan. Sudah terlalu banyak korban jiwa akibat kekejaman KST. Mereka selalu beralasan bahwa warga sipil yang dicurigai dan ditembak adalah mata-mata aparat, padahal hanya masyarakat biasa.
Anggota Komisi I DPR RI Yan Permenas Mandenas menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh KST sudah termasuk pelanggaran hak asasi manusia, apalagi korbannya banyak dari rakyat sipil. Pembunuhan, dengan alasan apapun, tak bisa dibenarkan. Jika ada anggota KST yang tertangkap maka sudah ditunggu hukuman maksimal seumur hidup, akibat perbuatan mereka.
Yan Permenas sendiri yang notabene orang asli Papua tidak suka melihat keberadaan KST, karena mereka selalu menebar kebencian dan meneror masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Bumi Cendrawasih sendiri tidak menyetujui tindakan KST, karena mereka bersikap brutal dan membuat kekacauan di Papua.
Pada akhir juni 2021 KST juga membuat ulah lagi dengan membunuh 4 orang di kawasan Yahukimo, dan 1 orang kepala suku dalam keadaan kritis. Penduduk mengungsi ke tempat lain yang lebih aman, agar tidak terkena amukan KST.
Sementara aparat terus menelusuri di mana markas-markas KST, untuk mengejar mereka langsung ke sarangnya. Kerusuhan di Yahukimo juga termasuk pelanggaran HAM berat, karena ada korban jiwa.
Apalagi salah satu korbannya adalah kepala suku, seharusnya mereka menghormati tetua tetapi malah ingin menghabisinya. Jika ini terus-menerus terjadi, dikhawatirkan akan ada perang suku, karena ulah KST yang mengadu domba mereka, padahal peperangan sudah puluhan tahun tidak terjadi.
Pengejaran terhadap KST terus dilakukan dan ada penambahan pasukan untuk memperlancar kinerja dari aparat. Masyarakat malah senang karena mereka memang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Papua dan mencegah kerusuhan akibat ulah KST.
Pihak luar juga tidak usah ikut campur dengan berkomentar bahwa penambahan pasukan di Papua akan berpotensi menambah pelanggaran HAM, karena justru aparat bertugas untuk mencegah terjadinya hal itu. Untuk menangani KST, tidak bisa dengan dialog, karena sejak era orde baru hingga sekarang cara ini selalu gagal.
Cara efektif untuk menangani KST adalah dengan mengejar mereka hingga ke markasnya, dan mereka diperbolehkan untuk ditindak tegas terukur, dan ini bukanhal pelanggaran HAM. Daripada nantinya malah membunuh banyak warga sipil, maka mereka segera ditangkap dan jika terpaksa akan ditembak di kakinya agar tidak melarikan diri.
KST adalah pelanggar HAM berat dan wajib diberantas, agar tidak membuat kekacauan dan menakut-nakuti masyarakat di Papua. Mereka sudah melakukan pelanggaran HAM berat dengan membunuh warga sipil, sehingga wajib diburu hingga ke markasnya. (Alfred Jigibalom)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews