Wacana Milenial, Perilaku Kolonial

Minggu, 7 Maret 2021 | 05:13 WIB
0
201
Wacana Milenial, Perilaku Kolonial
Bekerja Bersama (www.shutterstock.com)

Belanda, dengan menggunakan tangan-tangan VOC berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara yang kemudian menyatu dengan nama Indonesia, dengan cara memecah belah.

Ibarat belah bambu, satu diangkat dan bagian lainnya diinjak. Para priyayi dan bangsawan, ditaklukkan kemudian diberi pendidikan.

Segolongan bangsawan lain, justru diperangi untuk mendapatkan konsesi perdagangan. Kalau tidak berhasil, maka ditahan dan diasingkan ke wilayah lain. Bahkan sampai ke Afrika Selatan.

Kaum terdidik, tidak semuanya juga tunduk dan mengikuti syahwat ekonomi VOC. Dimana, justru perlawanan terus menerus terjadi. Sebagai contoh, Aceh yang tidak pernah dikuasai secara keseluruhan oleh serdadu VOC.

Bisajadi, sejak dulu perusahaan multinasional-lah yang menjadi penjajah. Negara ataupun aparatur pemerintahan, hanya menjadi alat-alat kekuasaan mereka.

Perilaku-perilaku seperti ini, saya sebut dengan perilaku kolonial. Keinginan untuk menguasai, dan menunggangi sumber-sumber keuangan sehingga memperkaya diri sendiri.

Ketika kita tiba di abad millennium, maka dikenallah milenial. Walau, dalam satu ataupun dua kesempatan justru di Inggris sendiri dimana menjadi penanda waktu untuk seluruh dunia dengan GMT, kata milenial itu sendiri tidak menjadi percakapan sosial dan juga politik.

Sejatnya, milenial itu penanda waktu. Bukan penanda kelahiran. Saya bertanya “seperti apa wujud milenial itu?” dijawab salah satu kawan “milenial membunuh banyak hal, diantaranya jam tangan”.

Iya, bisajadi bahwa kecenderungan menggunakan jam tangan tidak lagi mengemuka. Dimana cukup dengan menggunakan gawai, kebutuhan akan jam sudah terpenuhi. Dimana dalam fitur gawai itu ada jam.

Namun, itu bukan berarti perilaku milenial. Karena keberadaan jam sebagai fitur gawai dinikmati oleh semua penduduk bumi yang mengakses gawai. Jadi, ini merupakan penanda zaman, bukan penanda kelahiran.

Perubahan-perubahan yang wujud sesungguhnya bukan karena penanda kelahiran itu. Tetapi seiring dengan adanya fasilitas ataupun produk teknologi yang diciptakan.

Kita bisa saksikan, dalam perhelatan pemilihan presiden 2019 lalu, kelompok-kelompok tim sukses kemudian menamakan kumpulannya dengan sandingan kata milenial, seperti santri milenial pendukung A, dst.

Namun, mereka bukannya berperilaku modern sebagaimana kondisi abad 21 yang disebut millennium. Persatuan, kolaborasi, sinergi, gotong royong, diantara kata-kata yang mewakili semangat kebersamaan.

Bisa disaksikan, bahkan dinikmati. Aplikasi seperti Gojek atau Grab. Tidak memiliki satupun kendaraan. Justru mengelola ribuan motor maupun mobil beserta dengan sopirnya.

Ini dapat dimaknai bahwa praktik di abad millennium ini merupakan kolaborasi. Perusahaan penyedia aplikasi mengelola sistem, kemudian pemilik kendaraan menjadi mitra dalam layanan.

Bahkan setiap mitra secara bebas merdeka untuk bekerja sesuai dengan pilihan. Ketika memilih untuk bekerja bersama, maka ada insentif yang akan diterima. Sebaliknya, ketika memilih untuk istirahat ataupun tidak bekerja sama sekali, maka tidak akan menerima pendapatan.

Dengan keleluasaan seperti ini, justru menjadi kesempatan untuk tetap bekerja jamak. Sebagai contoh ada mahasiswa yang tetap dapat meneruskan pendidikannya, di kesempatan yang lowong dari jadwal perkuliahan dapat mencari uang dengan sistem bisnis dengan perusahaan aplikasi.

Zaman ini, mahasiswa tidak lagi mengenal jata gengsi. Mereka tidak malu untuk menjadi sopir ojek. Bahkan mengunggahnya ke akun media sosial. Ada pula karyawan perusahaan, begitu selesai jam kerja, juga bekerja paru waktu untuk sopir mobil yang dimilikinya.

Tidak lagi hanya dipakainya sendiri dengan keperluan komuter ke kantor. Tetapi justru menjadi tambahan penghasilan.

Dalam satu kesempatan, bahkan mendapati ada kayawan yang memilih berhenti sebagai pegawai gajian, dan menekuni pekerjaan sebagai sopir penuh waktu. Dengan kesempatan istirahat yang sangat fleksibel dan juga pendapatan yang lebih tinggi disbanding penghasilan di kantor.

Justru sebaliknya, para tim sukses itu kemudian tidak mengusung tema-tema kebersama ataupun gotong royong. Mereka berusaha untuk memecahbelah kelompoknya dari dalam, sehingga bisa menunjukkan eksistensi.

Dalam pelbagai kesempatan justru yang diwujudkannya lagi-lagi hanya kepentingan diri dan kelompoknya. Mempertontonkan apa yang mau dilakukan, tetapi bukannya apa yang telah dilakukan.