Melawan Soeharto dan Melawan Jokowi

Dengan membabi buta mereka mengobarkan kebencian terhadap Jokowi, tak terkecuali memakai isu agama dan mengeksploitasi kelompok-kelompok berlabel keagamaan.

Sabtu, 22 Agustus 2020 | 07:00 WIB
0
419
Melawan Soeharto dan Melawan Jokowi
Soeharto dan Jokowi (Foto: Kompasiana.com)

Setelah Reformasi 1998, kita tahu pasti kapan kekuasaan seseorang sebagai Presiden akan berakhir, paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan. Setelah itu pasti digantikan oleh orang lain. Itu karena pasal mengenai jabatan Presiden dalam UUD 1945 sudah diamandemen. Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.”

Dulu, di jaman Orde Baru, kita tidak tahu kapan kekuasaan Presiden Soeharto akan berakhir. Waktu itu kita berpikir, kekuasaan Soeharto sebagai Presiden hanya akan berakhir kalau dia mati atau terjadi kerusuhan besar yang melengserkannya. Itu pun dengan catatan, Soeharto belum sempat menyerahkan tongkat otoriter kepada anaknya sebagai penerus, seperti yang terjadi di Korea Utara.

Kekuasaan Soeharto sangat kuat dan mutlak, menjangkau sampai unit-unit terbawah dari struktur pemerintahan, kelurahan, RW, dan RT. Setiap perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto, pasti berakhir pada saat kemunculannya. Langsung digebuk. Siapapun, mau politisi, mantan tentara, seniman, tokoh agama, bahkan mahasiswa. Ditangkap, ditahan, dengan atau tanpa pengadilan. Bukan hanya mereka yang melawan saja yang harus menderita, keluarganya pun pasti ikut sengsara.

Meskipun yang dilawan adalah kesewenang-wenangan yang menindas rakyat, atau bisnis hanky panky yang dijalankan keluarga dan kroni Soeharto, bagi mereka sudah disiapkan tuduhan yang seram: terindikasi berpaham komunis, merongrong Pancasila, mencoreng kewibawaan pemerintah, mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Di pengadilan, tuduhan-tuduhan itu pasti (dan harus) terbukti dengan sangat meyakinkan.

Kelompok Kerja Petisi 50 yang terdiri atas para tokoh politik, jenderal purnawirawan, aktivis, yang sebagian besar adalah temen-teman Soeharto sendiri, menyampaikan ‘koreksi’ kepada Soeharto terkait jalannya pemerintahan yang sudah melampaui kewajaran. Petisi 50 bukan gerakan untuk melengserkan Presiden Soeharto.

Mereka tahu persis, apa konsekuensi dari penyampaian ‘Petisi 50’ yang berisi imbauan moral tersebut, tapi mereka berani. Hasilnya tidak meleset dari perkiraan, penandatangan petisi itu semua dibungkam, ruang geraknya dibatasi, dicekal, akses bisnisnya ditutup, hak dan pelayanan sipil yang seharusnya didapatkan sebagai warga negara pun sulit diperoleh.

Jadi, apa yang dikemukakan oleh Jend. (Purn.) Gatot Nurmantyo Cs. yang mengajak rakyat untuk “menghancurkan rejim yang berkuasa’ karena menurutnya menerapkan oligarki, jika terjadi di masa pemerintahan ayahnya Titiek Soeharto, maka dipastikan ajakan Gatot itu akan menjadi kalimat pembuka sekaligus penutup gerakan. Dia tidak akan pulang ke rumahnya, atau bahkan mungkin tidak akan pernah pulang. Untunglah Gatot menyampaikan ajakannya itu di era pemerintahan Jokowi. Gak diapa-apain.

Soeharto, bukan saja ketika naik ke kursi kekuasaaan dan ketika memerintah selama 32 tahun, ketika ia lengser pun memakan korban jiwa yang sangat banyak. Tapi, beruntung bagi keluarga dan kroni politik-bisnis Soeharto, Reformasi 1998 yang melengserkannya, justru melahirkan sistem pemerintahan demokratis yang tidak mewariskan dendam.

Andai penguasa baru yang naik setelah kejatuhan Soeharto adalah lawan politik Soeharto yang memiliki ambisi (dan dendam) berkuasa yang sama seperti Soeharto, otoriter dan menghabisi semua lawan politiknya, bisa dipastikan akan lebih banyak lagi korban jiwa dan orang yang ditahan tanpa pengadilan. Semua kekuasaan (dan kekayaan) keluarga, kroni, serta pengikut Soeharto akan dihabisi.

Jika itu yang terjadi, bukan hanya para pengikut Soeharto yang ditindas, rakyat pun akan kembali ditindas. Untungnya tidak demikian. Di era demokrasi, Soeharto, keluarga, dan kroninya tetap mendapatkan hak-hak sipil dan layanan publik dari negara sebagai warga negara. Sama dengan warga lainnya.

Keluarga Soeharto tetap kaya raya dan bisa berbisnis. Bahkan, mereka bisa mendirikan partai politik. Di awal kekuasaan Soeharto, keluarga Soekarno dan loyalisnya, boro-boro bisa mendirikan partai politik, pergi berobat ke luar negeri atau mendapatkan kredit dari bank saja tidak bisa.

Meskipun Soeharto sudah lengser di tahun 1998, baru di masa pemerintahan Presiden Jokowi distorsi-distorsi yang membebani ekonomi nasional dihabisi. Di sektor migas, mineral, kelautan, kehutanan, perkebunan, farmasi, pengadaan barang untuk lembaga negara ... semua dibenahi. Saham Freeport Indonesia , Blok Mahakam, Blok Rokan diambilalih. Setiap distorsi di setiap bidang bisnis, tentu ada pihak yang menikmatinya.

Karenanya tidak aneh jika sekarang banyak pihak yang menjadi donatur bagi-kelompok-kelompok yang terus mengobarkan kebencian terhadap Presiden Jokowi, terhadap pemerintah. Mereka itulah sisa-sisa Orde Baru yang selang rezeki haramnya dipotong oleh Jokowi. Padahal mereka sudah menikmatinya selama berpuluh-puluh tahun, termasuk pasca Reformasi 1998.

Dengan membabi buta mereka mengobarkan kebencian terhadap Jokowi, tak terkecuali memakai isu agama dan mengeksploitasi kelompok-kelompok berlabel keagamaan. Ketika mereka diminta untuk menunjukkan bukti-bukti kenapa Jokowi harus dibenci, mereka akan ngeles, bicaranya jadi bergaya parlemen jalanan.

Mungkin karena saat ini adalah era keterbukaan, maka secara terbuka pula kelompok-kelompok anti-Jokowi itu menunjukkan kedekatannya dengan keluarga Soeharto. Foto-foto yang menunjukkan kedekatan itu bersliweran di media sosial. Jadi tidak salah kalau ada dugaan bahwa keluarga Soeharto menjadi bandar gerakan-gerakan anti-Jokowi.

Yang jadi aneh adalah di antara kelompok yang membenci Jokowi setengah mati itu, termasuk menuduh Jokowi bergaya otoriter, adalah para aktivis, demonstran yang dulu menentang kesewenang-wenangan Soeharto. Atau ... mungkin selama ini kita kecele. Orang-orang yang di era Soeharto dikenal sebagai aktivis demokrasi dan penentang Soeharto, sebenarnya adalah agen Soeharto yang dijadikan parameter gerakan mahasiswa, sekaligus agen informasi bagi Soeharto.

Selain mantan aktivis demokrasi penentang Soeharto, kelompok pembenci Jokowi juga berasal dari kelompok Islam fundamentalis. Kini kelompok intoleran itu juga dihinggapi simpton ingin berkuasa, ingin menerapkan sistem khilafah.

Di jaman Soeharto berkuasa, mereka ditindas habis sampai berdarah-darah. Sekarang, karena mereka menganggap Pemerintahan Jokowi sebagai lawan politik bersama, maka tak apalah bergandengan tangan dengan keluarga dan kroni Soeharto. Kasus Priok, kasus Talangsari, kasus Haur Koneng, dan lain-lain lupa sudah.

***