Katakan benar jika itu benar meski itu berasal dari perkataan seorang penjahat sekalipun, introspeksi itu penting supaya tidak merasa paling benar.
Mengungkit masa lalu ketika dalam satu masalah itu menyakitkan karena menurut syair lagu dangdut miliknya mbak Inul Daratista: "Masa lalu...biarlah masa lalu... jangan kau ungkit! jangan ingatkan aku". Apalagi dalam mendamaikan dua orang bermasalah, mengungkit masa lalu akan menambah runyamnya masalah.
Novel Baswedan pun entah atau mungkin pembelaan atau kerjaan Buser yang dibayar (mau memastikan takut dosa...heehe) tak luput dari permasalahan pengungkitan masa lalu sewaktu jadi Kasatreskim di Bengkulu, bahkan ada yang menganggapnya "KARMA". Emang loe Tuhan, bro? Sudah men-judge takdir atau nasib seorang manusia dengan kehidupannya, sedangkan karma dalam ajaran Islam yang saya anut itu tidak ada, karena Tuhan itu penuh Rahmat apalagi sudah bertobat.
Yang ada balasan di dunia dan balasan di akherat sesuai dengan amal dan perbuatan. Dan saya dapat memaklumi sebagai warga tulen +62 yang dengan alasan kongkow atau arisan yang berujung ghibah terhadap sesama, karena berkumpul tanpa ghibah bagi warga +62 seperti saya seperti masakan tanpa garam. Duh... Susahnya jadi warga +62 heehe
Kasus persidangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan mantan komisioner KPK saat subuh menurut komika Bintang Emon katanya kekerasan nggak mungkin keairan, sidangnya pun yang hanya dituntut jaksa 1(satu) tahun penjara itu menimbulkan polemik dan keresahan baru terhadap keadilan di negeri +62 serta mencederai rasa keadilan di masyarakat yang lagi mencoba berdamai dengan virus Covid19, seakan kita pernah berselisih dengan mahkluk yang kasat mata jadi harus berdamai dengannya.
Jangan tanya kemakmuran jika keadilan belum terselesaikan, adil dalam hukum sangat jelas terlihat. Seperti kita ketahui untuk pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan itu butuh waktu 2 (dua) tahun, sekali lagi saya tulis 2 (tahun) dengan pengeluaran biaya yang menurut saya tidak sedikit. Dalam artian bisa disebut juragan Bogor (biar tekor asal kesohor), atau istilah pribahasa lebih besar pasak daripada tiang.
Secara ekonomi pendapatan lebih kecil daripada pengeluaran alias tekor akhirnya cari kutang untuk menutupi... Eh salah maksudnya utangan untuk menutupi pengeluaran, kok cuma dituntut 1 (satu) tahun, itu belum dipotong masa tahanan selama sidang, dengan nilai kemungkinan dan peluang menurut hukum matematika pengawuran terhadap berbagai polemik selama sidang bisa saja tuntutan jaksa yang hanya setahun akan memakan waktu lama masa sidangnya bisa lebih dari setahun jadi terdakwa dapat ganti untung karena sidang melebihi tuntutan hukum yang ada. Duh.. susahnya cara menghitung warga +62 seperti saya...hhh.
Seperti kita ketahui juga... Kepolisian dan Kejaksaan masih termasuk dalam lingkaran eksekutif dan kepala negara sebagai pimpinannya serta berhak mengangkat kepala kepolisian RI dan kepala kejaksaan RI, dan ini jelas tidak bisa dipungkiri sebagai hak preogratif kepala negara meski dengan alasan kepala negara sesuai undang-undang tidak boleh mengintervensi kepolisian dan kejaksaan.
Tapi kepala negara setidak-tidaknya punya kebijakan untuk menyudahi polemik kasus Novel Baswedan minimal menegurnya, masa sich nggak bisa? Atau kepala negara saat ini juga sudah di intervensi pihak tertentu yang punya kepentingan hingga dengan alasan tidak mau intervensi membiarkan kasus tersebut berlarut-larut...
Mungkin hanya rumput yang bergoyang yang tahu kata Ebiet G Ade, dan ketika ada kritik terhadap kasus persidangan kasus Novel Baswedan ya mbok ya jangan baper ketika hukum dan keadilan yang nyata-nyata terlihat pada kasus tersebut di depan mata dan menjadi perbincangan di setiap perkumpulan di warkop, warung makan dan di tempat umum lainnya.
Ini bukan semut di seberang lautan nampak terlihat tapi semut yang menyelinap di mata sangat terasa perihnya namun tak terlihat kecuali sudah keluar dari mata. Kritik itu bukankah tanda sayang supaya tidak terjadi kesalahan terulang dan introspeksi atas sesuatu yang tidak diharapkan, sudah tau manusia itu tempatnya salah kok seakan dikultuskan seperti Tuhan yang yang tak pernah salah.
Apa masih karena pembelaan atas orang yang kita idolakan dan kita sanjung buang angin pun kita anggap wangi seperti kasturi? Seperti ini kan berarti menjerumuskan... Heehe. Apa gunanya ada profesi kritikus kalau mengkritik dilarang. Kritik itu tak perlu solusi tapi perlu introspeksi, Bung...!! Duh... Susahnya menerangkan sesuatu kepada warga +62.
Baca Juga: Novel Baswedan dan Tekanan Dunia Internasional
Akhirnya sebagai warga +62 yang berbakti kepada Nusa dan bangsa serta negara, hanya bisa berharap semoga warga +62 bisa membedakan benar dan salah, bukan mencari celah kesalahan orang dengan menfitnah untuk membunuh karakter seorang yang telah mengkritik dan menyerang terhadap luapan keresahan atas ketidakadilan di negeri ini demi kemakmuran negeri di masa datang.
Katakan benar jika itu benar meski itu berasal dari perkataan seorang penjahat sekalipun, introspeksi itu penting supaya tidak merasa paling benar.
Duh... Susahnya jadi warga +62, Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Heehe...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews