Duuuh... Susahnya Jadi Warga +62

Katakan benar jika itu benar meski itu berasal dari perkataan seorang penjahat sekalipun, introspeksi itu penting supaya tidak merasa paling benar.

Selasa, 16 Juni 2020 | 20:17 WIB
0
264
Duuuh... Susahnya Jadi Warga +62
Novel Baswedan (Foto: suara.com)

Mengungkit masa lalu ketika dalam satu masalah itu menyakitkan karena menurut syair lagu dangdut miliknya mbak Inul Daratista: "Masa lalu...biarlah masa lalu... jangan kau ungkit! jangan ingatkan aku". Apalagi dalam mendamaikan dua orang bermasalah, mengungkit masa lalu akan menambah runyamnya masalah.

Novel Baswedan pun entah atau mungkin pembelaan atau kerjaan Buser yang dibayar (mau memastikan takut dosa...heehe) tak luput dari permasalahan pengungkitan masa lalu sewaktu jadi Kasatreskim di Bengkulu, bahkan ada yang menganggapnya "KARMA". Emang loe Tuhan, bro? Sudah men-judge takdir atau nasib seorang manusia dengan kehidupannya, sedangkan karma dalam ajaran Islam yang saya anut itu tidak ada, karena Tuhan itu penuh Rahmat apalagi sudah bertobat.

Yang ada balasan di dunia dan balasan di akherat sesuai dengan amal dan perbuatan. Dan saya dapat memaklumi sebagai warga tulen +62 yang dengan alasan kongkow atau arisan yang berujung ghibah terhadap sesama, karena berkumpul tanpa ghibah bagi warga +62 seperti saya seperti masakan tanpa garam. Duh... Susahnya jadi warga +62 heehe

Kasus persidangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan mantan komisioner KPK saat subuh menurut komika Bintang Emon katanya kekerasan nggak mungkin keairan, sidangnya pun yang hanya dituntut jaksa 1(satu) tahun penjara itu menimbulkan polemik dan keresahan baru terhadap keadilan di negeri +62 serta mencederai rasa keadilan di masyarakat yang lagi mencoba berdamai dengan virus Covid19, seakan kita pernah berselisih dengan mahkluk yang kasat mata jadi harus berdamai dengannya. 

Jangan tanya kemakmuran jika keadilan belum terselesaikan, adil dalam hukum sangat jelas terlihat.  Seperti kita ketahui untuk pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan itu butuh waktu 2 (dua) tahun, sekali lagi saya tulis 2 (tahun) dengan pengeluaran biaya yang menurut saya tidak sedikit. Dalam artian bisa disebut juragan Bogor (biar tekor asal kesohor), atau istilah pribahasa lebih besar pasak daripada tiang.

Secara ekonomi pendapatan lebih kecil daripada pengeluaran alias tekor akhirnya cari kutang untuk menutupi... Eh salah maksudnya utangan untuk menutupi pengeluaran, kok cuma dituntut 1 (satu) tahun, itu belum dipotong masa tahanan selama sidang, dengan nilai kemungkinan dan peluang menurut hukum matematika pengawuran terhadap berbagai polemik selama sidang bisa saja tuntutan jaksa yang hanya setahun akan memakan waktu lama masa sidangnya bisa lebih dari setahun jadi terdakwa dapat ganti untung karena sidang melebihi tuntutan hukum yang ada. Duh.. susahnya cara menghitung warga +62 seperti saya...hhh.

Seperti kita ketahui juga... Kepolisian dan Kejaksaan masih termasuk dalam lingkaran eksekutif dan kepala negara sebagai pimpinannya serta berhak mengangkat kepala kepolisian RI dan kepala kejaksaan RI, dan ini jelas tidak bisa dipungkiri sebagai hak preogratif kepala negara meski dengan alasan kepala negara sesuai undang-undang tidak boleh mengintervensi kepolisian dan kejaksaan.

Tapi kepala negara setidak-tidaknya punya kebijakan untuk menyudahi polemik kasus Novel Baswedan minimal menegurnya, masa sich nggak bisa? Atau kepala negara saat ini juga sudah di intervensi pihak tertentu yang punya kepentingan hingga dengan alasan tidak mau intervensi membiarkan kasus tersebut berlarut-larut...

Mungkin hanya rumput yang bergoyang yang tahu kata Ebiet G Ade, dan ketika ada kritik terhadap kasus persidangan kasus Novel Baswedan ya mbok ya jangan baper ketika hukum dan keadilan yang nyata-nyata terlihat pada kasus tersebut di depan mata dan menjadi perbincangan di setiap perkumpulan di warkop, warung makan dan di tempat umum lainnya.

Ini bukan semut di seberang lautan nampak terlihat tapi semut yang menyelinap di mata sangat terasa perihnya namun tak terlihat kecuali sudah keluar dari mata. Kritik itu bukankah tanda sayang supaya tidak terjadi kesalahan terulang dan introspeksi atas sesuatu yang tidak diharapkan, sudah tau manusia itu tempatnya salah kok seakan dikultuskan seperti Tuhan yang yang tak pernah salah.

Apa masih karena pembelaan atas orang yang kita idolakan dan kita sanjung buang angin pun kita anggap wangi seperti kasturi? Seperti ini kan berarti menjerumuskan... Heehe. Apa gunanya ada profesi kritikus kalau mengkritik dilarang. Kritik itu tak perlu solusi tapi perlu introspeksi, Bung...!! Duh... Susahnya menerangkan sesuatu kepada warga +62.

Baca Juga: Novel Baswedan dan Tekanan Dunia Internasional

Akhirnya sebagai warga +62 yang berbakti kepada Nusa dan bangsa serta negara, hanya bisa berharap semoga warga +62 bisa membedakan benar dan salah, bukan mencari celah kesalahan orang dengan menfitnah untuk membunuh karakter seorang yang telah mengkritik dan menyerang terhadap luapan keresahan atas ketidakadilan di negeri ini demi kemakmuran negeri di masa datang.

Katakan benar jika itu benar meski itu berasal dari perkataan seorang penjahat sekalipun, introspeksi itu penting supaya tidak merasa paling benar.

Duh... Susahnya jadi warga +62, Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Heehe...

***