Warna-warni Partai Koalisi Jokowi yang "Ababil"

Lagi-lagi partai koalisi terkesan seperti anak TK yang rebutan kue, kue yang besar tidak dibagi secara merata, sehingga politisi ababil terus menyeracau diluaran, mengesankan ketidak-puasan.

Selasa, 19 Mei 2020 | 05:24 WIB
0
300
Warna-warni Partai Koalisi Jokowi yang "Ababil"
Foto:resepgula.com

Kalau ada partai politik didirikan untuk kepentingan bangsa dan negara, itu dulu, bukan sekarang. Kekinian, tidak ada lagi yang seperti itu, orientasi partai untuk dan demi kelangsungan partai, juga pemiliknya.

Karena kepentingan itulah maka selamanya partai seperti ABG labil (ababil), dan tidak aneh kalau Gus Dur pernah bilang, DPR itu seperti Taman Kanak-kanak, mudah ribut dan gaduh antar sesama. 

Kita harus iri dengan negara-negara yang mampu mengarahkan semua elemen masyarakatnya, termasuk politisinya, bisa bergotong royong, bahu membahu memerangi covid-19.

Semua berada dalam satu baris kepentingan yang sama, menyelamatkan negara dari ancaman kehancuran yang diakibatkan wabah covid-19. Terlepas dari sistem pemerintahannya otoritarian atau pun demokratis.

Semua fokus untuk satu kepentingan bersama, tanpa ada kepentingan lain yang memboncenginya. Itulah bedanya dengan negara kita, yang pemerintahannya didominasi politisi "Ababil", yang terlalu banyak kepentingan pribadinya.

Dugaan saya, hanya karena ucapan Presiden Jokowi yang mengatakan, tidak lagi punya beban di periode kedua, sehingga terimplementasi dalam pembentukan kabinet, yang tidak mengakomodir sepenuhnya kepentingan partai.

Akibatnya warna-warni partai koalisi Jokowi pun terlihat nyata, masing-masing muncul dengan warnanya sendiri, dengan visi dan misinya sendiri. Kondisi ini mempengaruhi soliditas kabinet di pemerintahan.

Tidak aneh kalau pada akhirnya dalam perjalanan pemerintahan, yang baru seumur jagung, berbagai kebijakan pun berwarna-warni, sehingga masyarakat pun bingung, kebijakan mana yang mau didengar.

Hebatnya lagi, partai koalisi pemerintah pun tidak segan-segan menyerang pemerintah. Ini hal yang tidak kita temui pada pemerintahan Jokowi di periode pertama.

Mana itu yang namanya kepentingan bangsa dan negara, yang selalu diagung-agungkan partai politik, disaat-saat kampanye menjelang Pileg dan Pilpres? Masih adakah?

Bagaimana mungkin dalam sebuah kapal dengan satu nakhoda, namun penumpang didalamnya tidak satu tujuan. Tidak satu tujuan tapi tetap menikmati perjalanan dan semua fasilitas yang ada didalam kapal.

Kenapa tidak terjun saja kelaut, kalau memang merasa tidak satu haluan. Warna-warni pelangi masih terlihat indah, karena dalam satu satu tatanan warna yang teratur. Lah kalau warna-warni dengan mencolok sendiri apa bagusnya.

Dari luar, partai koalisi yang ada di pemerintahan itu benar-benar seperti ABG labil, yang sangat sensitif ketika kepentingannya tidak terakomodir oleh pemerintah. Padahal seharusnya kepentingan negara ditempatkan diatas kepentingan partai.

Tidak salah kalau di bilang, yang menjadi oposan pemerintah Jokowi itu adalah partai koalisi pemerintah sendiri. Kalau oposisi sebenarnya sangat mudah diketahui, tapi kalau ini menyerang dari dalam tanpa memberikan solusi.

Jokowi sadar betul kalau musuh terberat pemerintahannya bukanlah kelompok oposisi diluar pemerintahan, tapi justeru partai koalisi yang terus berusah menikam dari belakang, dengan cara memberikan kesan pemerintah tidak konsisten dengan berbagai kebijakannya.

Baru saja pemerintah mengeluarkan kebijakan memberikan kelonggaran, para pekerja yang berusia 45 tahun kebawah dibolehkan beraktivitas kembali. Belum sempat diterapkan kebijakan tersebut, tiba-tiba Menko Perekonomian mengatakan kalau itu bukan kebijakan dari pemerintah.

Tentang kebijakan ini, publik melihat pemerintah belum satu suara. Kordinasi dalam penerapan kebijakan tersebut terkesan tidak dilakukan, dalam penerapannya mencerminkan kelemahan pemerintah.

Sebelumnya, banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang pada kenyataannya tidak mencerminkan kesepakatan bersama, terutama menyangkut kartu Prakerja.

Program kartu prakerja ini menimbulkan kecemburuan sosial antar partai yang ada dikoalisi pemerintah, karena program kartu prakerja ini didominasi partai Golkar. Sehingga di internal pemerintah sendiri menjadi polemik, apa lagi dimasyarakat.

Politisi partai Golkar mengkritik keras soal pemerintah menaikkan iuran BPJS, tapi adakan politisi partai Golkar yang mengkritik program kartu Prakerja yang kurang tepat pengelolaaannya, dan memboroskan anggaran negara? 

Lagi-lagi partai koalisi terkesan seperti anak TK yang rebutan kue, kue yang besar tidak dibagi secara merata, sehingga politisi ababil terus menyeracau diluaran, mengesankan ketidak-puasan.

Capek gak sih melihat tingkah polah mereka?

***