Gibran untuk Warga Solo

Warga Solo yang tahu mengenai ghirah dan dinamika kota itu, dengan segala dialektikanya. Anak-anak muda Solo, generasi milenial Solo, yang merasakan benar apa yang mereka inginkan.

Minggu, 15 Desember 2019 | 09:39 WIB
0
359
Gibran untuk Warga Solo
Gibran Rakabuming Raka (Foto: detik.com)

Emang enak jadi anak Presiden? Dan ndilalahnya, anak Presiden Jokowi pula!

Tidak enak. Bukan saja karena kawalan tentara untuk menjaga keselamatannya. Tapi terutama kawalan mata dan penilaian orang, atas hal apapun. Untuk yang satu ini, paspampres paling dhug-dheng pun tak bisa melindunginya. Lha wong misal pakai UU-ITE saja, dikira genit dan lebay. Apalagi bagi rezim netijen bermazhab salawi. Semua salah Jokowi!

Maka, ketika Gibran menyatakan maju menjadi calon dalam Pilkada Solo 2020, muncul pro-kontra. Analis politik dari Jakarta, yang jadi pedagang eceran di televisi, anehnya turut serta ngomong soal dinasti politik, etika politik. Tanpa harus tahu daleman dan dinamika politik yang terjadi di Solo.

Persoalan kita di samping soal kualitas manusia, juga soal kualitas bahasa Indonesia, yang susah naik kelas sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia masih masuk dalam level bahasa lisan, bahasa percakapan. Percakapan para akademisi, apalagi analis politik di media kita, tak bisa secara substantif membedakan makna etika, etik, atau etis. Membedakan dinasti politik dan politik dinasti pun, hanya pakai hukum dm dan md.

Kalau SBY menyuruh anaknya yang bernama AHY keluar dari dinas ketentaraan, dan menunjuknya maju sebagai cagub Jakarta 2017 kemarin, bijimana? Mengapa justeru bandingannya dikatakan; SBY waktu itu sudah bukan presiden? Bahasa Indonesia formal, tak bisa menjelaskan substansi konteks masalahnya di situ.

Sehingga anehnya, para pengamat politik acap ngomong soal etika politik, namun dengan kriteria yang secara etik tidak ada rujukannya. Sebagaimana anggota DPRD DKI Jakarta, menilai sesama anggota dewan dari PSI melanggar etika dewan, apa itu etika yang dimaksud? Bagaimana dengan hak imunitas sebagai anggota dewan? Apakah hanya berlaku untuk Fadli Zon dan Fahri Hamzah (dua orang yang dulu sering memakai legitimasi politik untuk membendung serangan hukum atas clemongan ngawurnya).

Kita kemudian hanya melihat kesan, bagaimana para pengamat politik sama persis dengan elite politik. Ngomong ngawur lantaran like and dislike semata. Sama-sama tak menghargai, bahwa demokrasi mestinya rakyat yang bergerak. Tinggal bagaimana kita melihat kualitas pergerakan itu, berdasar aturan yang dibangun negara.

Apakah ada praktik demokrasi yang melanggar UU atau aturannya? Apakah munculnya nama Gibran melanggar kesepakatan bersama? Apakah Jokowi selaku bapaknya Gibran, bertindak sebagai presiden memerintahkan birokrasi untuk memenangkan anaknya? Atau para analis hanya berpegangan; bahwa kalau rakyat secara bebas majoritas memilih Gibran adalah salah? Karena dia anak Presiden?

The ultimate rulers of our democracy are not a President and Senators and Congressmen and Government officials but the voters of this country, ujar Franklin D. Rosevelt. Siapapun dan bagaimanapun kualitasnya.

Aneh, atau tampaknya terjadi anomali. Pada jaman di mana siapapun bisa ngomongin Presiden, dan menghinanya dengan bebas (bandingkan dengan era Soeharto), tapi masih percaya isu pelanggengan dinasti politik dalam sistem pemilihan langsung, di mana rakyat adalah penentunya? Bahkan masih tega meniupkan isu itu? Siapa yang waras di situ? Baru kalau anak presiden kalah dalam kontestasi politik kita percaya demokrasi itu ada? Sementara kalau anak Presiden tidak lulus test CPNS dibilang pencitraan? Di mana pantatmu, coba?

Warga Solo yang tahu mengenai ghirah dan dinamika kota itu, dengan segala dialektikanya. Anak-anak muda Solo, generasi milenial Solo, yang merasakan benar apa yang mereka inginkan, dan tak mereka dapatkan di Solo saat ini. Mereka juga yang merasai kekhawatiran apa di masa mendatang. Mengapa kita tidak ngomongin soal ini? Apa masalah Solo, dari sebab hingga akibat, serta solusinya?

Celakanya, kalau dibilang celaka; Kita masih berada dalam slogan romantisme revolusioner. Sementara jaman bergerak, bahwa engkau tidak akan pernah bisa menegakkan demokrasi dengan revolusi. Seperti nasihat Gilbert Keith Chesterton dari Inggris, "Engkau harus menggunakan demokrasi untuk melakukan revolusi!"

Kalau misal kelahiran seseorang juga dengan cara demokrasi, maukah Gibran dilahirkan sebagai anak Jokowi, yang kebetulan jadi presiden? Di sebuah negara demokrasi tapi kelasnya masih demokrasi asongan? Pengamat asongan? Akademisi asongan? Parpol asongan? Elite asongan? Fesbuker asongan?

Terus- tiba-tiba ada yang menggerakkan, tuh ada yang menghina pedagang asongan! Gitu deh! Dan tiba-tiba, di Solo yang abangan, ada teriakan; Tuh markobar mengandung babi! Sebagaimana Yogya, ini juga daerah perebutan! 

***