Apa yang terjadi di Xinjiang terbuka lebar, sulit mengatakan Muslim Uighur di sana baik-baik saja dan tidak ada masalah. Sama beratnya menyembunyikan fakta kalau sumber utama konflik di Xinjiang adalah teritori, sparatisme dalam sudut pandang negara.
Perbedaan respon atas isu ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan masing-masing pihak yang terlibat. Mereka yang menyuarakan solidaritas terhadap etnis minoritas muslim di Xinjiang cendrung mengabaikan isu separatisme.
Akibatnya isu bergeser, tepatnya sengaja digeser menjadi kekejaman Pemerintah Komunis China terhadap Muslim Uighur. Dengan menggoreng isu solidaritas agama mereka berharap bisa menggalang solidaritas umat islam dunia.
Rupanya tidak demikian, publik Islam sendiri terbelah, bahkan pemerintah negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Turki dan Indonesia justru memilih diam karena lebih mengedepankan kepentingan ekonomi dan hubungan bilateral.
Belum lagi publik non muslim yang mengidap trauma dengan solidaritas atas nama agama. Tragedi 9/11 melahirkan trauma berkepanjangan bagi publik Amerika dimana justru pelakunya dielu-elukan sebagai martir oleh sebagian umat islam.
Sementara Pemerintah Komunis China terus melakukan penyangkalan dan membela diri dengan mengatakan apa yang terjadi di Xinjiang adalah upaya maksimal pemerintah melakukan penanggulangan serta pemberantasan paham ekstrimisme agama maupun terorisme.
Dengan berlindung di balik keamanan nasional dan keutuhan teritori negara, Pemerintah Komunis China merasa berhak melakukan deradikalisasi secara massal lewat pelatihan dan pendidikan dalam kamp-kamp interniran di Xinjiang.
Menghadapi serbuan media serta laporan kelompok penggiat hak asasi internasional seperti Amnesty Internasional, Pemerintah Komunis China melakukan counter wacana dengan balik menyerang serta menuduh Amerika Serikat terobsesi menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap China tidak lepas dari perang--dagang antar kedua negara.
Sementara Parlemen Uni Eropa menyerukan Dewan Uni Eropa untuk mengadopsi serangkaian sanksi dan pembekuan aset, jika Pemerintah Komunis China tetap membandel dan tidak segera membebaskan semua etnis minoritas Uigher yang ditahan.
Mengapa dunia sulit bersepakat dan meletakkan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia melampaui sekat etnis, agama, ras dan kepentingan ekonomi. Mengapa kita sebagai muslimin misalnya menggalang solidaritas untuk minoritas Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar tapi memilih bungkam pada pembantaian 800.000 etnis Tutsi oleh ekstremis Hutu di Rwanda.
Bagaimana bisa kita meluapkan amarah sedemikian rupa merespon kejahatan kemanusiaan terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang tapi bisa tidur nyenyak sambil mendengar rintihan ratusan ribu anak-anak praktisi Falun Gong hidup dalam ketakutan di bawah teror Pemerintah Komunis China. Halnya kekerasan yang dialami Dalai Lama dan etnis Tibetan yang mayoritas beragama buddha di Tibet.
Bagaimana mungkin sebagai Muslim, Kristen, Hindu, Buddha atau apa pun keyakinan yang kita anut membatasi solidaritas kita terhadap sesama manusia. Tak sepantasnya kita meletakkan keyakinan kita sedemikian rendah berada jauh di bawah nilai-nilai kemanusiaan universal yang merupakan tema sentral dalam semua kitab suci.
Standar ganda yang kita pertontonkan karena perbedaan SARA serta kepentingan ekonomi tidak lebih baik dari prilaku Amerika serikat dalam merespon berbagai konflik di muka bumi yang lebih mengedepankan kepentingan dalam negerinya dibanding kemaslahatan umat manusia.
Kemana sebenarnya masa depan umat manusia sedang bergerak?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews