Napi Boleh Cuti dan Jalan-jalan, Mengapa Tidak Tinggal di Rumah Saja?

Jangan sampai keberpihakan berlebihan mereka terhadap para napi justru melukai perasaan mayoritas publik yang juga butuh keadilan.

Jumat, 20 September 2019 | 21:56 WIB
0
1103
Napi Boleh Cuti dan Jalan-jalan, Mengapa Tidak Tinggal di Rumah Saja?
Ilustrasi | gatra.com

Setelah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), pemerintah dan DPR RI berniat pula mengesahkan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Revisi KUHP) yang selama ini dinilai merupakan warisan Belanda sekitar 101 tahun yang lalu.

Namun karena mendapat penolakan dari banyak pihak, akhirnya pihak pemerintah memutuskan untuk menunda pengesahan Revisi KUHP. Hal itu disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada hari ini, Jumat, 20 September 2019.

"Setelah mendengar masukan-masukan saya berkesimpulan masih ada materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut," ujar Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi meminta pengesahan dilakukan oleh anggota DPR RI yang menjabat berikutnya, periode 2019-2024.

Belum pasti kapan disahkan, akan tetapi Presiden Jokowi mengaku telah memerintahkan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly supaya mempelajari lebih lanjut Revisi KUHP untuk disempurnakan.

"Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan oleh DPR periode ini. Saya juga memerintahkan Menteri Hukum dan HAM menjaring masukan dari pelbagai kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU KUHP yang ada," lanjut Presiden Jokowi.

Sebenarnya, selain RUU KUHP, satu dari sekian banyak hal lain yang turut dipersoalkan publik adalah Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau Revisi UU PAS.

Misalnya pada pasal 9 dan 10 revisi UU PAS yang memberi hak rekreasi dan cuti bersyarat kepada narapidana (napi), baik napi koruptor maupun umum. 

Belum dijelaskan secara rinci berapa lama waktu cuti dan masa rekreasi itu, namun dipastikan akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan UU.

"Nanti diatur di PP-nya untuk mengatur cuti itu berapa lama, dalam sebulan itu berapa kali dia cuti, satu tahun berapa kali, itu diatur dalam PP," tutur Muslim Ayub, Anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi PAN (Kamis, 19 September 2019).

Lalu apa yang dimaksud dengan cuti atau rekreasi bagi para napi? Maksudnya adalah bahwa para napi nantinya dapat diperbolehkan untuk keluar penjara (lapas) dan pulang ke rumah atau jalan-jalan ke mal, dengan syarat harus diikuti oleh petugas ke mana pun.

"Jadi bisa pulang ke rumah atau terserah kalau dia ke mal juga bisa. Asal didampingi oleh petugas lapas," tandas Muslim.

Penulis kurang paham mengapa pemerintah dan DPR RI sampai begitu sayangnya kepada para napi sehingga mereka diberi kemudahan yang semakin luar biasa.

Menurut hemat penulis, jika alasannya demi penegakkan hak asasi manusia (HAM), mengapa tidak dicari instrumen lain yang lebih tepat dan masuk akal untuk itu daripada malah kelihatan memihak para napi?

Umpamanya, meskipun terpenjara, para napi tetap diperlakukan secara manusiawi, tidak disiksa, diberi fasilitas kesehatan ketika sakit, dan sebagainya yang masih bisa diterima akal sehat.

Pertanyaannya, kalau para napi diberi kesempatan cuti dan rekreasi, masih pantaskah mereka dianggap penghuni "hotel prodeo"? Apa bedanya dengan tinggal di rumah pribadi?

Bagaimana mungkin orang mau berhenti berbuat kriminal dan takut masuk penjara bila pada akhirnya diperlakukan secara istimewa?

Harus dipahami bahwa para napi terpaksa kehilangan beberapa haknya karena akibat dari perbuatannya yang melanggar hukum.

Selanjutnya, jika napi yang hendak cuti dan rekreasi (pulang ke rumah atau jalan-jalan ke pusat perbelanjaan), apakah maksudnya nanti setiap napi disediakan pengawal khusus minimal satu orang?

Saran penulis, pemerintah dan DPR RI sebaiknya mengevaluasi kembali Revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 pasal 9 dan 10 tadi.

Jangan sampai keberpihakan berlebihan mereka terhadap para napi justru melukai perasaan mayoritas publik yang juga butuh keadilan.

***