Musuh Bersama Pemilu Itu Bernama Golput?

Golongan Putih adalah sebuah pilihan juga. Mereka berhak tidak memilih karena pertimbangan keilmuwan juga pertimbangan tidak bisa memaksakan diri.

Kamis, 4 April 2019 | 13:32 WIB
0
347
Musuh Bersama Pemilu Itu Bernama Golput?
Ilustrasi Golput (Foto: Liputan6.com)

Apakah saya akan ikut-ikutan menyerang keberadaan Golput (Golongan Putih) sebagai sosok yang tidak mencintai negeri, yang tidak peduli demokrasi, tidak peduli masa depan bangsa

Saya sudah menjawabnya. Sebab mereka yang golput pasti mempunyai pertimbangan mengapa mereka tidak mencoblos dua pilihan pemimpin yang disediakan atau karena pertimbangan lain sehingga mereka memutuskan abstain dalam pesta limatahunan ini.

Siapakah Penggagas Golput?

Golput menurut sejarahnya digagas oleh Imam Walujo Sumali, bekas ketua Ikatan Mahasiswa kebayoran, 19 Juni 1971 di majalah Tempo Imam menulis ”Partai Kesebelas Untuk Generasi Muda”. Dalam Artikel itu Imam menuliskan  menampung aspirasi orang muda yang tidak mau memilih parpol yang ada. Partai itu disebutnya Partai Putih dengan gambar putih polos.

Gerakan golongan putih adalah gerakan mencoblos kertas putih yang ada di sela- sela gambar. Dan ketika salah menusuk maka kertas tersebut tidak sah. Maka tidak ada yang diuntungkan karena gambar tidak sah berat tidak masuk dalam hitungan.

Golput memang mengundang pro dan kontra sampai sekarang. Gerakan yang dilakukan oleh orang- orang seperti Arief Budiman, Asmara Nababan dan pegiat demokrasi kritis  selalu ada dalam setiap pemilu.

Golput menjadi antitesis dari teriakan-teriakan demokrasi parpol yang ikut dalam kontestasi. Mereka adalah orang- orang yang secara teoritis pun biasanya sangat menguasai ilmu politik. Siapa yang menyangsikan keilmuwan Arief Budiman, Imam Walujo, Marsilam Simanjuntak, Asmara Nababan, Julius Usman, dan lain-lain

Dalam demokrasi selalu saja ada yang beda. Dan jika pilihan tidak menguntungkan maka opsi terakhir adalah abstain atau tidak memilih.

Apakah Golput patut dijadikan musuh bersama demokrasi?

Akan banyak sudut pandang. Tapi menurut penulis Golongan Putih adalah sebuah pilihan juga. Mereka berhak tidak memilih karena pertimbangan keilmuwan juga pertimbangan tidak bisa memaksakan diri untuk memilih dia karena memang terlanjur kecewa. Mereka kecewa pada kinerja petahana dan juga tidak mungkin memilih satunya karena latar belakang ideologi,  dan rekam jejak sejarah.

Sayapun saat ini masih bimbang saat memilih partai politik dan Caleg DPR, DPRD dan DPD. Dari sejumlah calon yang ada di dapil penulis tidak ada yang pas untuk dipilih. Bagaimanapun penulis masih ingat rekam jejak anggota DPR sekarang yang minim prestasi tapi lebih banyak gaduhnya.

Berapa keputusan penting yang bisa dihasilkan untuk memberikan kenyamanan pada rakyat yang memilihnya. Untuk Presiden kali ini saya harus memilih dan yakin untuk menentukan pilihan.

Ini menyangkut masa depan bangsa. Demi masa depan bangsa Indonesia harus memilih. Tidak ada yang sempurna. Dengan prinsip Minus Malum Secara realistis penulis harus ikut berpartisipasi menentukan masa depan bangsa dengan satu suara yang disumbangkan.

Lahir dari Kegaduhan Politik

Golongan Putih menjadi cermin bagi politisi, partai politik dan pegiat demokrasi. Mereka harus bisa meyakinkan Golongan Putih untuk mengendorkan kengototannya lalu kemudian dengan sadar menentukan pilihan. Tapi ketika para politisi, parpol, oposisi dan petahana saling serang dengan ujaran kebencian, fenomena Golput akan selalu muncul.

Mereka, para Golputer itu, tentu menginginkan suasana kondusif demokrasi, mengharap dikembalikannya marwah pemilu sebagai pesta demokrasi, bukan ajang gontok- gontokan dan saling melontarkan caci - maki tidak beradab.

Pemilu adalah sebuah pesta kegembiraan, pesta rakyat yang dijamin haknya untuk memilih. Tetapi memang ketika media sosial begitu bebasnya menampilkan aspirasi warga, susah mencegah untuk menyensor pendapat yang cenderung tidak mencerminkan sikap manusia yang paham demokrasi.

Sekarang boleh dikatakan demokrasi yang ada adalah demokrasi kegaduhan. Bukan demokrasi Keceriaan yang membuat rakyat menyambut pemilu dengan sorak sorai tetapi lebih untuk menjauhkan teman, takut simbol simbol, takut untuk berpendapat secara bebas karena akan berimbas pada pergaulan di lingkungan, tempat kerja dan dalam masyarakat yang majemuk.

Kalau tidak ingin ada demokrasi hilangkan demokrasi kegaduhan. Bisa?!

Salam Demokrasi.

***