Tak perlu ribut menyikapi hasil survei Litbang Kompas, tapi yang terpenting kita semua masih “waras” selama helatan Pilpres berlangsung.
Pemilihan umum (Pemilu) kerap kali diwarnai polemik menyoal publikasi hasil riset lembaga-lembaga survei opini publik yang kehadiran mereka sejatinya turut menyemarakkan pesta demokrasi itu sendiri. Kalau diperhatikan, hampir saban waktu hasil riset dari berbagai lembaga survei disiarkan media, bahkan tak sedikit media yang juga mengadakan survei.
Hasil riset yang dipublikasikan, cenderung menjadi berita utama yang memantik diskursus publik. Mengapa begitu? Sebab saat ini, survei merupakan salah satu instrumen politik yang punya posisi strategis dalam ihwal prediksi hasil elektoral sekaligus menarik dijadikan bahan pemberitaan (media news framing).
Namun, sukses tidaknya sebuah lembaga survei bukan karena diperbincangkan terus-menerus, tapi karena akurasi survei tersebut. Tentu saja, survei tersebut dengan tepat menampilkan suara publik terkait dinamika politik dan sikap mereka sebagai pemilih, yang mencerminkan suatu kedaulatan rakyat (supremacy) dalam hal memberi mandat politik. Rousseau menyebutkan hal ini sebagai the general will alias supremasi warga negara yang mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum.
Pakar komuniaksi Politik Gun Gun Heryanto dalam tulisannya “Etika Lembaga Survei”, berpendapat bahwa untuk mendengar dan memahami orientasi kehendak umum tersebut, dibutuhkan inovasi metodologi modern yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan. Salah satu pendekatan itu adalah survei. Meskipun dalam praktiknya, aktivitas survei itu pun kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti SMS survey (call in survey), internet survey, selain juga scientific survey yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam pemilu.
Namun yang menjadi polemik sekarang dari lembaga survei dan rilis surveinya adalah narasi yang dibangun dengan hasil survei tersebut. Mengapa perlu kita menyoroti narasinya, sebab di sanalah letak suatu lembaga survei turut serta dalam operasi pengendalian opini publik. Inilah yang sedikit menyeret rilis survei Kompas menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat karena narasi yang terbangun cukup membuat kubu Jokowi merasa was-was.
Kompas merilis hasil survei beberapa waktu lalu. Hasilnya, Jokowi-KMA masih unggul 49,2% melawan Prabowo-Sandi 37,4%. Meski hasilnya masih menunjukkan Jokowi menang, akun twitter Kompas (@hariankompas) membuat cuitan yang cukup menyentak kesadaran publik juga tim Jokowi-KMA: “Jangan lupa menyimak hasil # SurveiKompas2019 yang menunjukkan selisih elektabilitas dua calon peserta Pemilihan Presiden yang menyempit.
Baca laporan lengkapnya dan nantikan laporan lain pada edisi-edisi mendatang ”. Sementara itu, berita utama Harian Kompas Penerimaan: “Rapat Umum Menentukan ”yang diharapkan dari hasil besar masih bisa berubah.
Pilihan kata “menyempit” dalam elektabilitas, tentu saja merupakan diksi yang menimbulkan efek perang urat syaraf. Belum lagi ditambah judul headline yang mengisyaratkan kewaspadaan bagi kubu Jokowi untuk mengambil keputusan-keputusan tepat menjelang pencoblosan nanti. Selain itu, meskipun mayoritas lembaga survei mengunggulkan Jokowi-KMA, namun survei Kompas sebagai lembaga pemberitaan yang kredibel dengan kinerja litbang yang luar biasa keren, tentu saja menjadi warning bagi Jokowi.
Tapi, kalau dilihat dari sisi pemberitaan, boleh jadi ini bagian dari strategi Kompas memenangkan pasar pembaca lebih banyak, minimal dari pemberitaan ini saja. Dan pada akhirnya, semua survei yang terpercaya (termasuk survei Kompas), menyimpulkan bahwa probabilitas pasangan Jokowi-KMA menang pada Pilpres 2019 masih tetap tinggi.
Selain perkara kepentingan media itu sendiri, boleh jadi survei Kompas diminati publik karena hasil survei yang dikemas dalam narasi apik itu menjadi pembeda sekaligus menyegarkan kembali semangat publik yang barangkali bosan dengan survei-survei yang menggunakan narasi Jokowi-KMA menang dalam Pilpres.
Publik tentu saja tak ingin kontestasi ini berakhir antiklimaks dengan keseragaman bahasa dan persepsi akan keunggulan Jokowi-KMA, tapi dibutuhkan juga riak-riak harapan akan elektabilitas Prabowo-Sandi yang merangkak naik. Ibarat pertandingan bola, jual-beli serangan dan saling kejar jumlah gol akan membuat pertandingan tersebut semakin menarik ditonton, ketimbang menonton kemenangan mutlak tanpa perlawanan.
Terakhir, rilis survei Kompas juga bisa jadi terapi kejut bagi kita yang selama ini memilih pasangan tertentu karena efek ikut-ikutan atau dalam term politik disebut sebagai bandwagon effect. Sehingga, yang diharapkan dari survei ini adalah adanya kesadaran pemilih Jokowi-KMA bahwa memilih pasangan petahana ini haruslah berdasarkan kinerja dan pencapaian selama ini, bukan karena terpengaruhi oleh “bisik-bisik tetangga” atau bisikan media.
Kesimpulannya, survei Kompas sejatinya tetap menyatakan Jokowi keluar sebagai pemenang, namun narasi yang dibuat membuat Jokowi-KMA harus melek bahwa segala kemungkinan terburuk bisa terjadi. Hal ini juga pernah terjadi dalam Pilpres di negeri Paman Sam antara Hillary vs Trump yang meski Hillary unggul jumlah suara juga menang dalam banyak survei, namun Trump tetap keluar sebagai pemenang dengan menang lebih banyak di negara bagian.
Artinya, survei bisa berubah dari waktu ke watu (belum sepenuhnya menjamin kemenangan). sehingga wajar bagi Jokowi untuk mewaspadai narasi ini. Syukurnya, Jokowi masih tenang menyikapi hasil survei Kompas dan meminta relawan agar bekerja lebih keras dan giat.
Berikutnya, kontestasi kian terasa seru dan menegangkan, sehingga seluruh perhatian dan energi bangsa ini tetap mengawal dengan baik jalannya hajat akbar demokrasi Indonesia ini. Setidaknya, saya juga Anda masih mau bicara politik lagi, tidak apatis apalagi apolitis.
Jadi, tak perlu ribut menyikapi hasil survei Kompas, tapi yang terpenting kita semua masih “waras” selama helatan Pilpres berlangsung dan tetap semangat menjaga keutuhan NKRI tercinta.
Sepakat?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews