Deklarasi Kemenangan yang Lebih Mirip Deklamasi Menyedihkan

Sungguh mengerikan jika People Power benar- benar terjadi. Apakah Indonesia mau seperti Mesir, Suriah, Sudan yang tumbang gara- gara People Power.

Rabu, 24 April 2019 | 23:05 WIB
0
544
Deklarasi Kemenangan yang Lebih Mirip Deklamasi Menyedihkan
Prabowo Subianto (Foto: Winnetnews.com)

Suara menggelegar berteriak lantang seorang calon presiden menyatakan menang sebelum pengumuman resmi KPU. Sujud syukurpun diulang- ulang sampai tiga kali. Pidato yang mirip deklamasi dengan aroma kemarahan dan kegalauan.

Menang bukan dengan rasa gembira tetapi dengan kecamuk perasaan marah, jengkel, putus asa sambil mencari penguatan dari ulama- ulama yang rajin memecah- belah suara umatnya.

Banyak ulama , karena mendukung calon presiden yang mengklaim telah menjadi presiden sejak pencoblosan masih berlangsung. Ia tidak sudi mendengarkan realitas di televisi ketika hampir semua lembaga survei memenangkan kubu sebelah dengan selisih hampir 10 juta.

Sontak kegeraman merebak dan telinga ditutup rapat dan hanya mau mendengarkan survei internal dan exitpol dari lembaga intern. Ditantang buka- bukaan banyak alasan hingga akhirnya tidak hadir saat semua lembaga survei buka- bukaan mengemukakan metode surveinya.

Saat mimpi kemenangan lebih dominan daripada kenyataan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan metode ilmiah, mereka mengisolir dan terus menggemakan kecurangan masif yang dilakukan kubu sebelah.

Tidak ada kepercayaan, pemimpin itu hanya percaya pada orang- orang yang terus meghembuskan perlawanan terhadap realita. Bulsyit dengan quick count yang dituduh telah dikendalikan pemerintah dengan sogokan uang dalam jumlah besar.

Sebegitunya perang kata- kata terus menderas di media sosial. Tidak ada ruang yang tenang tanpa makian dan berita hoax. Semua saling merasa benar. Ada calon yang tidak siap kalah dan terus bekerja meskipun akhirnya nanti (mungkin ) akan menyerah kelelahan memperjuangkan hasrat berkuasanya yang tidak kunjung mendekat.

Semua orang menjadi gemar berdebat gampang emosi oleh kata- kata provokatif yang dilakukan netizen. Yang pinter menjadi dungu,yang dungu semakin tenggelam oleh kedunguan orang- orang pintar dan orang gilapun semakin hari semakin bertambah.

Betapa lucunya negeri ini. Sudah tenang–tenang pemilu tidak ricuh tetapi ada serangan lain menanti setelah pemilu selesai.

Berkat ulama, berkat tokoh–tokoh yang dulunya pernah dikagumi masyarakat, semakin tua semakin menampakkan kekerdilan berpikirnya. Wajah- wajah ulama yang seharusnya teduh penuh kedamaian tampak beringas. Mereka terus mengobarkan perlawanan, berteriak curang tanpa data yang valid. Ada perlawanan meskipun mengklaim menang.

Maaf bukan berarti melecehkan ulama tetapi mereka yang sangat peduli politik dan cenderung emosi mengatakan dengan vulgar telah terjadi yang namanya penyebaran hoaks meskipun dalam hati nurani mereka mengatakan salah. Ada perjuangan yang salah dilakukan. Sebab jika seorang manusia dengan sabar menghitung cermat perolehan suaranya dan menyerahkan semua kesialan, keberuntungan, berita baik dan berita yang membuat rasa putus asa tiba- tiba muncul akan lebih legowo menerima takdir.

Manusia- manusia politik terus bergerilya, membabat kesejatian kebenaran yang hakiki. Isu - isu terus dihembuskan hingga yang salah menjadi benar dan yang benar terus menderita karena selalu diprovokasi dan akhirnya hilang emosi dan  terjerumus dalam perdebatan sengit yang tidak ada habis- habisnya.

Dua Presiden begitulah yang dilihat rakyat. Bagi yang berakal dungu seperti saya tidak habis berpikir bagaimana dengan kontestasi pemilu yang banyak menelan korban para panitianya hingga meninggal dunia akibat stres dan kelelahan luar biasa.Harusnya tiap KPPS bila memungkinkan ada dokter dan perawat yang mendampingi panitia sehingga tidak kelelahan yang mengakibatkan depresi dan memicu jantung bekerja keras.

Jangan biarkan rakyat melihat lawakan para politisi. Para politisi itu tengah bermimpi hingga melupakan rasa kemanusiaannya dan akhirnya saling mencakar- saling menjatuhkan, yang banyak tidur di sidang atau hanya sekedar manggut- manggut dicatat masyarakat. Mereka tidak boleh kembali lagi duduk dikursi yang sama, silahkan mencari pekerjaan lain asal bukan sebagai wakil rakyat. Kasihan rakyat hanya melihat wakil yang pekerjaanya tidur dan sibuk mencari proyek di luar Senayan.

Sekarang masyarakat tengah disuguhi adegan yang bikin bahan tertawaan dunia. Mengaku Presiden padahal belum selesai KPU menghitung. Saling caci di media sosial tidak terbendung dan mereka yang mempunyai kecerdasan di atas- rata- rata dan kebetulan senang mengadu domba bergerak berteriak people power.

Sungguh mengerikan jika People Power benar- benar terjadi. Apakah Indonesia mau seperti Mesir, Suriah, Sudan yang tumbang gara- gara People Power. Jangan diadu domba dengan pemikiran picik yang akan membuat masyarakat terpecah belah.

Hentikan segera deklamasi, tunda dan sabar menunggu tanggal 22 Mei. Endapkan emosi sebab bulan itu terasa suci bagi umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Esensi puasa tentu menahan diri, menahan lapar, membersihkan jiwa dan legowo pada apapun keputusan penyelenggara pemilu resmi.

Ulamapun harus memberi khotbah sejuk sehingga masyarakat tenang tidak terprovokasi ujaran kebencian.

Kalau berdeklamasi, belajarlah sastra. Belajar merangkai kata yang nantinya bisa didengarkan lafal yang pas untuk menguraikan emosi di tiap katanya.

Deklarasi kemenangan seharusnya tidak boleh mendahului keputusan. Jadi siapa pemimpin yang sabar menunggu penghitungan resmi KPU mana yang terlalu berhasrat menang tetapi tidak mempercayai metode survei yang jarang meleset sejak 2004. Kalau mau deklamasi undang saja anak SMP.

Dengan semangat Anak ABG akan mengatur ritme suaranya demi kata- kata yang mampu menggugah rasa pendengarnya.

Siapapun pemenangnya jangan ninabobokkan rakyat dengan janji yang mengawang- awang. Mari berpikir dengan rasional. Tidak usah malu jika memang kalah, sebab siapapun yang sudah berani berkompetisi siap menanggung resiko. Hanya satu pemenang yang akan duduk di puncak tertinggi. Jika ada dua Presiden. Apa kata dunia nanti.

Salam damai.