Mungkin satu satunya orang yang paling banyak dihina ketika saat menjabat Presiden Republik Indonesia adalah Joko Widodo (Jokowi). Banyak hujatan dan fitnah bukan saja terhadap dirinya tapi kepada seluruh keluarganya. Ibu kandung yang melahirkannya, istri yang melahirkan anak anaknya dan juga para anak dan menantunya.
Hinaad , fitnah dari hal biasa presiden yang tidak bisa bekerja sampai kepada penghinaan yang mengusik harkat dan martabat diri sebagai manusia hadir hanpir setiap saat dari orang orang yang tidak menyukainya. Hinaan ini terjadk baik secara individu maupun digerakan oleh mesin politik secara massif, terstruktur dan terencana.
Lihatlah Presiden Sukarno, demi membela persatuan dan kesatuan dia rela tidak melawan. Ketika harga dirinya direndahkan, keluarganya dikucilkan namun dia tetap memilih berdamai. Melawan adalah marwahnya, tapi dilakukan hanya untuk melawan bangsa penjajah dan penindas bangsa. Penderitaannya dibawa sampai beliau wafat tanpa mengundang pertumpahan saudara sebangsa.
Begitupula dengan Jokowi. Dengan kekuasaannya saat ini, sebagai kepala keluarga, sebagai kepala negara dan sebagai pemimpin bangsa dia bisa saja memerintahkan dengan tegas untuk memberangus, menghukum lawan lawan politiknya bahkan dengan mudah hanya sekali saja cukup dengan tandatangannya di atas kertas maka semuanya bisa selesai. Tapi apakah begitu akhlaknya? Tentu saja tidak.
Flashback 1400 tahun yang lalu, 14 abad lebih telah hadir seorang manusia yang mempunyai nasib serupa dengan dua contoh pemimpin kita. Dia adalah Nabi Muhammad SAW. Nabi terakhir dalam pemahaman agama islam yang juga dianut taat oleh pemimpin kita.
Orang orang yang membenci, menghina dan menghasut untuk mengadu domba kemungkinan adalah orang yang juga pernah taat, pernah mendengar dan juga pernah mengaji dan mengkaji akhlak Rasulullah SAW. Tidak pernah membalas ketika dihina, tidak mengumpat ketika dirinya dilempar kotoran dan tidak baperan ketika ada yang tidak disukainya. Akhlak yang seharusnya dimiliki umat islam di Indonesia. Kenapa bisa demikian?
Inilah yang disebut Radikalisasi Pemikiran, dalam konteks lebih berbahaya lagi yaiti radikalisasi gabungan antara pemikiran dan perbuatan. Dua hal inilah yang kemudian diambil dan diolah sedemikian rupa oleh politisi yang menganut paham bahwa kekuasaan bisa diraih dengan segala cara. Kalau jaman dahulu ada abu jahal, abu lahab di jaman abad 19 ada Hitler dan tokoh politik jahat lainnya.
Maka di abad 20 ini kita sudah paham, bayangan orang orangnya siapa saja mereka. Dilalahnya kita terbawa kepada arus yang salah. Sebuah dogma mengikuti pemimpin di atasnya. Melegalisasi kepentingannya dan bahwa untuk berkuasa demi kebaikan sebagai alasan dibolehkan melakukan apapun juga. Jokowi harus turun ,kira kira begitu dan tak perlu diterangkan.
Politik itu harus gembira, politik itu harus beretika dan sehat. Politik sombong, politik jahat itu bertentangan dengan konsep ketuhanan. Dan Tuhan tidak suka akan hal itu. Ketika kita melakukan kejahatan baik sengaja maupun tidak maka ada balasan yang bisa saja berbalik mengenai mereka. Lihat saja sinetron hidayah yang hampir tayang di seluruh televisi swasta nasional kita. Sayangnya para politisi kita mungkin tidak suka menontonnya. Ibarat bercermin itulah wajah mereka sesungguhnya.
Jargon politik gembira, sehat, beretika mungkin sering diungkapkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP . Partai yang dalam sejarahnya juga penuh luka. Dibuat tak berdaya, dihancurkan rumahnya dan dilacurkan para anggotanya dengan sebutan partai yang banyak anggota komunisnya. Kalau mau membuka mata hati lihatlah ke dalam siapa saja yang ada di dalamnya.
Ada Hasto Kristiyanto yang beragama keristen, ada Sri Rahayu, ada Baskara dan bagi mantan aktivis mahasiswa , ada banyak aktivis mahasiswa keagamaan di sana. Kalau kalian tersesat saat sholat jumat, jangan khawatir masuk saja ke kantor DPP PDI P di Menteng, anda bjsa Sholat Jumat berjamaah di sana.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews