Bagaimana menjauhkan stigma negatif yang mengaitkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pekerjaan yang tak pernah punya kata akhir bagi seleruh kader PDI Perjuangan.
Pelabelan komunis itulah yang paling mudah digunakan siapa pun untuk menahan laju PDI Perjuangan yang semakin besar.
Jika diikuti hingga saat ini, tudingan negatif yang tak mendasar itu justru semakin melebar hingga menyasar pada sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang tak lain adalah kader PDI Perjuangan.
Anehnya, tudingan dan fitnah yang menyebut Jokowi sebagai kader PKI itu, baru terdengar ketika pencapresan Jokowi di tahun 2014 lalu. Padahal, isu miring tersebut tak pernah terdengar ketika Jokowi dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta di Tahun 2012, termasuk juga beberapa tahun sebelumnya ketika Jokowi mengikuti kontestasi pemilihan Walikota Solo.
Lebih aneh lagi, karena fitnah yang ditujukan kepada Jokowi itu sudah berlebihan, dan keluar dari nalar berpikir yang rasional.
Bagaimana tidak, PKI secara hukum sudah dibubarkan melalui TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966, sedangkan Jokowi sendiri dilahirkan pada 21 Juni 1961. Artinya, ketika PKI dibubarkan, Jokowi baru berusia sekitar 5 tahun. Bersekolah pun belum, apalagi menjadi anggota partai.
Dengan kata lain, isu komunis ini benar-benar digunakan dan dimanfaatkan hanya untuk menghalang-halangi kader PDI Perjuangan memimpin negara ini.
Ada kekuatan besar yang tidak ingin partai yang membawa ideologi Bung Karno ini bisa semakin besar dan kuat, serta mendominasi kekuatan politik di Tanah Air.
Seperti diketahui, PDI Perjuangan merupakan kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dibentuk oleh Presiden Suharto pada 10 Januari 1973.
PDI merupakan fusi atau penggabungan yang dilakukan secara paksa oleh rezim Orde Baru dari beberapa partai, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musarawah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan dua partai keagamaan, yakni Partai Kristen Indonesia (Parkido) dan Partai Katolik.
Penggabungan partai-partai tersebut juga dialami Partai Persatuan Pembangaun (PPP). Tujuannya bukan hanya menyederhanakan partai, tapi lebih pada menjadikan Golkar saat itu sebagai satu-satunya kekuatan politik yang membuat Suharto berkuasa hingga 32 tahun.
De-Soekarnoisasi
Di masa kekuasaan Orde Baru, hegemoni yang dibentuk adalah bahwa Orde Baru adalah baik, sedangkan kekuatan sebelumnya adalah kekuatan yang perlu dihindari, bahkan dijauhi.
Karena itu, dilakukanlah upaya De-Soekarnoisasi, yaitu upaya Soeharto untuk ‘membunuh’ Bung Karno di hati rakyat.
"Alasannya mudah saja, di tahun 1965 hingga 1966, Soekarno masih dekat dengan rakyat, masih dielu-elukan rakyat. Untuk meraih kekuasaan selain secara politis, maka sejarah tentang Soekarno juga harus direduksi atau di de Soekarnoisasi," kata sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, seperti dikutip di laman merdeka.com.
Kemudian, setelah De-Soekarnoisasi seakan tak lagi membuahkan hasil, apa lagi yang bisa dilakukan untuk menggerus kecintaan rakyat pada Soekarno?
Tak lain adalah menjauhkan rakyat dari partai politik yang membawa ideologi Bung Karno. Dan, partai itu tak lain adalah PDI Perjuangan. Salah satu caranya dengan menuding bahwa PDI Perjuangan adalah partai yang terkait dengan kekuatan PKI.
Ingatan rakyat kepada kekejaman PKI memang tak bisa begitu saja dihapus. Dalam sejarahnya, PKI sudah beberapa kali melakukan pemberontakan kepada Pemerintahan yang sah, di antaraya tahun 1926, 1948, dan 1965.
Dengan kata lain, ketika Negara sudah menetapkan bahwa PKI dan segala bentuk ajarannya terlarang di wilayah hukum Indonesia, sebenarnya ada kekuatan hukum yang melindungi kita semua dari kekuatan dan kekejaman komunis.
Namun, itulah yang terjadi. Ada hal yang sering dikaburkan sehingga rakyat begitu mudahnya diprovokasi bahwa kekuatan komunis masih ada, dan masuk kedalam tubuh PDI Perjuangan.
Rakyat sekan dibuat lupa, bahwa isu komunis itu hanya marak menjelang pesta demokrasi.
Segala agitasi propaganda yang mengaitkan PDI Perjuangan dengan PKI sudah dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan juga masif. Semua itu dilakukan, baik melalui serangan di udara (medsos) maupun serangan di darat melalui oknum penyebar kebencian berkedok agama ataupun keamanan.
Memang terasa agak menggelikan, ketika kerja sama pasca-Pileg 2014 antara PDIP dan Partai Komunis Cina (PKC) dijadikan kampanye negatif terhadap PDI perjuangan. Padahal, kerja sama itu juga melibatkan tiga partai lain, yaitu PD, PG, PKS.
Seperti kita ketahui, PKI atau Komunis adalah kekuatan kiri yang selama ini merongrong Pancasila, sedangkan PDI Perjuangan berideologikan Pancasila, nasionalisme Indonesia, bukan transnasionalisme.
Secara eksplisit, PDI Perjuangan juga telah mencantumkan Pancasila sebagai ideologi partai di AD/ART sejak berdiri 1973. Bahkan, dalam Kongres 2005, PDI Perjuangantelah menetapkan diri sebagai partai ideologis.
Bagaimanapun, Pancasila tidak bisa dipisahkan dari sosok Sukarno, penggali Pancasila sekaligus menjadi patron PDI Perjuangan.
Jadi, jika ada yang mengaitkan PDI Perjuangan dengan PKI, itu membuktikan bawah orang yang menudingnya itu tidak paham Pancasila yang diperjuangan Bung karno dahulu.
Perjuangan Megawati Soekaroputri dan kader-kader PDI Perjuangan lainnya tidaklah mudah bagaimana melepaskan tudingan negatif yang melekat pada partai yang hampir berusia setengah abad ini. Termasuk, siapa pun yang akan menggantikan kepemimpinan Megawati selanjutnya.
Itulah makna perjuangan, bahwa dalam politik tak ada kata selesai. Semuannya masih harus terus diperjuangkan. Merdeka!
***
Sumber:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews