Reuni 212, Mengejar Surga atau Meraup Suara?

Senin, 24 Desember 2018 | 18:43 WIB
0
444
Reuni 212, Mengejar Surga atau Meraup Suara?
Prabowo hadiri PA 212 (Foto: MSN.com)

Ada yang berjalan kaki ratusan kilometer, ada yang menggadaikan sepeda motornya untuk ongkos, ada pula yang menyewa kendaraan dan berangkat dari pulau seberang demi mengikuti Reuni 212 di sekitaran Monas, Jakarta, 2 Desember 2018 kemarin.

Beberapa peserta terlihat berangkat satu keluarga dan membawa anak-anak yang masih balita. Setidaknya ribuan orang hadir membludak di jalan-jalan seputaran silang Monas. Apa yang mereka cari? Apa yang mereka dapatkan?

Reuni ini rangkaian aksi menjebloskan seorang Basuki Tjahja Purnama alias Ahok ke dalam penjara atas tuduhan penistaan agama. Saat ini bahkan Ahok sudah mendekati masa bebasnya lagi setelah hampir 2 tahun dipenjara di sel Mako Brimob sebagai vonis dakwaan penistaan agama. Lantas reuni ini untuk apa?

Mereka menggadang kasus pembakaran bendera HTI atau bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh oknum Banser atas kekhawatiran bahwa ini adalah bendera organisasi terlarang. Oknum banser tersebut pun sudah divonis 10 hari penjara oleh Pengadilan Negeri Garut.

Ribuan bendera tauhid berwarna-warni dibawa oleh peserta reuni. Topi, kaos, tas, pin dan atribut lainnya pun dicetakkan kalimat tauhid. Mereka membuat seolah aksi pembakaran bendera itu mewakili sikap pemerintah yang dituding anti Islam dan anti ulama. Ya ya... lagi-lagi pemerintah dan pemerintah yang disalahkan.

Panggung dibentang, beberapa tokoh yang diundang pun diminta berorasi. Prabowo Subianto yang katanya diundang panitia untuk hadir dan berusaha menyempatkan diri untuk datang pun menyampaikan pidatoya yang kurang lebih, "Saya sedang diberi amanah menjadi calon Presiden RI.

Saya tidak boleh kampanye, jadi saya hanya ingin mengucapkan terima kasih bahwa saya diundang hari ini oleh panitia." Ada hal menggelikan Saya lihat di sini, seperti melihat sebuah cuplikan iklan di televisi di tengah sebuah tayangan lalu si pemerannya mengaku sedang tidak menawarkan apa-apa, cuma ingin berterima kasih karena diberi kesempatan tampil di televisi. Konyol, bukan?

Dalam jejeran tokoh yang diundang dan duduk di panggung tak kelihatan kiyai-kiyai senior yang haxir saat aksi 2 Desember 2012 lalu. Sepertinya mereka berhalangan hadir.

Tapi apakah justru mereka mulai menyadari kurang berfaedahnya aksi ini pada kebaikan umat dan lebih baik melakukan hal bermanfaat lainnya?

Melalui video converence yang disiarkan TV One, kyai Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym mengatakan bahwa beliau tidak bisa hadir di Reuni 212 karena harus mengikuti rangkaian syukuran hari jadi pesantren yang beliau dirikan, Daarut Tauhid, di Bandung. Meskipun Reuni 212 ini sudah direncanakan sejak lama rupanya seorang Aa Gym lebih memilih mengikuti agendanya sendiri.

Anies Baswedan yang hadir dengan seragam gubernurnya, padahal saat itu adalah hari libur dinas, pun tak ayal memberikan sambutan sambil disisipi penjabaran keberhasilan program-programnya. Rupanya Reuni 212 bisa juga jadi etalase politik ya...

Yang paling disorot adalah sambutan Habib Bahar bin Smith, pendakwah berambut gondrong dicat pirang yang sedang dilaporkan ujarannya oleh relawan Jokowi ke kepolisian. Di penghujung sambutannya, Habib Bahar dengan berapi-api kembali membahas ceramahnya yang berisi ujaran kebencian dan penghinaan kepada presiden Joko Widodo.

Ia menjelaskan mengapa ia menyebut presiden Jokowi Banci karena tidak mendatangi peserta aksi 4 November 2016 lalu. Padahal, pada aksi 2 Desember 2016 (aksi 212) Jokowi hadir bahkan ikut shalat Jumat bersama peserta di lapangan silang monas.

Konferensi Video yang disiapkan panitia acara ini juga memutar pidato Rizieq Shihab dari Arab Saudi yang menyatakan haram memilih partai pendukung penista agama, menyinggung kebobrokan pemerintah era Joko Widodo atau Jokowi sampai seruan 2019 Ganti Presiden.

RIzieq menyebutkan kriteria tertentu capres terbaik yang mengarah pada pasangan Prabowo-Sandi layaknya seorang sales yang menawarkan produknya... di tengah acara yang katanya aksi jihad umat Islam ini.

Penuh muatan politis... Panitia acara yang berisi gabungan tim kampanye nasional Prabowo-Sandi seperti Al Khatat dan juru bicara gerakan Ganti Presiden seperti Neno Warisman, ustad Haikal Hassan ini melalui Al Khatat memgatakan bahwa acara ini bukan kampanye dan tak ada muatan politis.

Sebuah pengakuan yang sangat naif yang bahkan dengan mata telanjang kita bisa melihat kuatnya nuansa politik di perhelatan ini. Bahkan, panitia yang katanya akan mengundang presiden Joko Widodo ini urung meneruskan niatnya. Yang mereka undang hanya salah satu capres. Saya seperti menonton sebuah film yang labelnya misteri tapi jalan cerita sudah bisa saya tebak sebelum film diputar.

Di antara masa yang berbondong-bondong datang, saya yakin banyak hati yang tulus ikut serta karena kecintaan mereka pada Tuhannya. Di antara mereka juga pasti sudah paham kemana arah perhelatan ini dan memang hadir untuk misi politis. Banyak kerancuan dalam pengakuan panitia acara ini. Katanya aksi ini membuat larisnya pemesanan hotel bintang 5 dan 4 di sekitaran monas. Padahal, katakanlah Prabowo sebagai capres andalan mereka, mengklaim bahwa 99 persen rakyat Indonesia hidup miskin. Kontradiktif!

Bawaslu nasional dan bawaslu propinsi mengatakan bahwa acara ini tidak melanggar aturan dam tidak bermuatan kampanye. Sungguh pernyataan yang dipaksakan...!

Sebegitunya nafsu berkuasa hingga menjadikan umat islam kayu bakar untuk tungku pengolah suara? Seorang Prabowo Subianto yang di perjalanan menuju acara masih sempat menampilkan diri di atas kap mobilnya layaknya aksi pawai mungkin merasa akan meraup banyak suara dari kegiatan ini. Beliau tidak menyadari bahwa kaum moderat sangat dimungkinkan tidak menyukai aksi ini. Beliau bisa jadi justru kehilangan suara moderat. Entahlah!

Saya sebagai seorang muslim hanya bisa mendoakan saudara-saudara seiman saya mendapatkan pahala atas niat baiknya bersilaturahmi dan bermunajat kepada sang Khalik melalui ajang ini. Tapi semoga juga terbuka mata hati mereka untuk tidak diperalat petualang politik yang tak lelahnya mengejar ambisi menjadi penguasa.

***