Jokowi Memburu Koruptor hingga ke Luar Negeri

Sabtu, 5 Januari 2019 | 18:32 WIB
0
453
Jokowi Memburu Koruptor hingga ke Luar Negeri
Presiden Joko Widodo (Foto: Tribunnews.com)

Ibarat cerita mitos tempo doeloe, kisah uang hasil korupsi yang dilarikan ke luar negeri oleh para koruptor, cukong, dan penguasa rente ini, terus menjadi misteri yang tak terpecahkan. Sering tersiar "katanya", kalau uang para pengemplang pajak dan koruptor kerap kali diam-diam mengendapkan uang mereka ke banyuak bank internasional.

Salah satu yang paling tenar adalah kisah keluarga Soeharto yang tak lagi "berseri" uangnya yang disimpan di luar negeri, baik dalam bentuk investasi maupun aset. Cerita mereka saya baca dalam buku karya sosiolog kenamaan Indonesia Goerge Junus Aditjondro (GJA) berjudul Korupsi Kepresidenan. Bukan cuma klan Seoharto, keluarga mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun kena kritiknya lewat buku Gurita Cikeas.

Usai membaca dua buku di atas, saya hanya menyesali diri karena saya yang lemah ini tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menikmati untaian kisah dalam buku dengan penuturan yang lugas, juga tumpukan data yang disajikan terang-benderang.

Saya juga jadi parno setiap membaca berita, betapa kayanya sejumlah orang yang sering disebutkan dalam majalah bahwa mereka adalah orang terkaya Indonesia. Sebagai orang awam, saya bertanya-tanya; Berapa pajak yang mereka bayar? Semuanya dibayarkan atau dikemplang sebagian? Apakah kekayaan mereka murni hasil usaha atau bagian dari upaya perkongsian rente alias hasil menggarap jatah dari balas budi birokrat? Dan sebarek pertanyaan lainnya.

Dari kebingungan dan keresahan itu, saya suka menghayal akan kemunculan pemimpin yang tegas juga tanpa lelah memburu para koruptor dan pengemplang pajak itu. Ndilalahnya, saya menemukan mimpi itu jadi kenyataan di era kepemimpinan Pakde Jokowi dan Ibu Sri Mulyani sebagai menteri keuangan.

Sejak 2016 lalu, saya melihat Pakde Jokowi dan Bude Sri serius menangani masalah ini, di antaranya dengan melakukan pengampunan pajak (tax amnesty) bahkan hasilnya merupakan yang tertinggi di dunia.

Kata Bude Sri, uang tebusan peserta amnesti pajak Indonesia tertinggi dibandingkan negara lain. "Indonesia dengan jumlah uang tebusan Rp87 triliun per 29 September 2016 pagi atau 0,65 persen dari PDB adalah yang tertinggi setelah Chili 0,62 persen dari PDB," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR , Kamis (29/9).

Bude Sri pun merinci pencapaian kebiakan amnesti pajak di banyak negara, yang menurutnya hasilnya tidak setinggi Indonesia. Antara lain India dengan jumlah uang tebusan hanya 0,58 persen terhadap PDB, Italia 0,2 persen PDB, Afrika Selatan 0,17 persen PDB, Belgia 0,15 persen PDB, dan Spanyol 0,12 persen PDB.  

Tak berhenti di sini, Pakde Jokowi dan Bude Sri terus menggenjot kinerja mereka dalam merebut kembali "uang-uang siluman" yang diselundupkan ke luar negeri itu. Sejak 2017, Pemerintah Indonesia dan Swiss menggelar deklarasi bersama implementasi kebijakan pertukaran informasi keuangan untuk tujuan perpajakan atau dikenal dengan istilah Automatic Exchange of Information (AEOI), bahkan ada sekitar 100 negara lainnya yang diajak serta bekerjasama.

Nah, hinnga 4 Desember kemarin, Pakde Jokowi terus menggelorakan semangat pemberantasan korupsi ketika memberikan sambutan dalam peringatan Hari Anti Korupsi sedunia yang jatuh pada 9 Desember.

"Kita tidak memberikan toleransi sedikitpun pada pelaku tindak pidana korupsi yang melarikan uangnya ke luar negeri," kata Pakde Jokowi yang disambut tepuk tangan audiens.

Kabarnya, Indoensia dan Swiss sudah di tahap akhir kesepakatan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance Treaty) pada akhir Agustus lalu. Perjanjian MLA ini diyakini menguntungkan Indonesia, terutama mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan yang ingin menyembunyikan "uang haramnya" ke luar negeri.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Robert Pakpahan, bahwa nantinya Swiss akan mulai memberikan data rekening WNI pada September 2019. Pertukaran data tersebut merupakan komitmen negara-negara yang menerapkan Automatis Exchange of Information (AEoI).

"Khusus untuk Swiss tahun ke depan, kami bayangi kalau tahun ini dapat 54, kirim 65, tahun depan nambah lagi 70. karena ditandatangan sama kita ada 100 kali ya, 101 lah. jadi ada beberapa negara," ujarnya dalam acara media gathering di Cisarua Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/12/2018).

Namun, kita juga harus realistis bahwa memburu "uang-uang siluman" itu, butuh jurus hebat. Kita kan tahu, kalau siluman itu licik dan punya sejuta jurus, kalau pemerintah tidak siap maka upaya ini akan sia-sia. Kabar mutakhir, diduga uang korupsi selundupan kasus Bank Century sekitar, 156 juta USD, sudah dipindahnegarakan dari Swiss ke negara lain.

Oleh karena itu, pemerintah harus penyiapkan perangkat "perangnya" jika ingin berhadapan dengan para mafia kelas kakap ini, seperti:

Pertama, merevisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan memasukkan poin tentang perampasan aset korupsi (asset recovery), kemudian asset sharing-nya seperti apa jika berkaitan dengan negara lain; yang dalam banyak pengalaman akan memintah "jatah reman" hingga 20-40 persen dari aset yang mau diambil lagi, juga model sharing dengan pengak hukumnya.

Kalau tanpa memperkuat landasan hukum yang canggih, rasanya sulit untuk menyentuh para mafia-mafia itu. Selain itu, perangkat hukum yang bagus akan menjembatani perbedaan penerapan hukum antar kedua negara.

Kedua, Indonesia harus siapkan lawyer dan accounting super canggih karena para pengemplang ini bukanlah "penjahat" amatiran yang bekerja serampangan.

Hal ini juga akan mempermudah delegasi Indonesia dalam melakukan negosiasi dengan negara yang diajak bekerjasama, seperti melakukan pembuktian hukum bahwa dana siluman yang masuk ke negara tersebut adalah hasil korupsi; uang korupsinya dari mana (incoming), transaksinya seperti apa, dan lari kemanakah uang korupsi tersebut (outgoing) dll.

Ketiga, presiden power. Seharusnya, kalau ada perbedaan yang perlu dijembatani oleh pemerintah, maka negara bisa mengatasinya lewat komunikasi ekslusif presiden (reciprocal communication), seperti yang dilakukan banyak kepala negara yang tengah bernegosiasi internasional.

Sebagai orang yang memiliki otoritas tertinggi, "Jokowi power" harus dimanfaatkan untuk mempermudah kinerja di lapangan lewat komunikasi-komunikasi diadik yang berdampak secara diplomatik.

***