Menghina Jawa

Rabu, 10 Oktober 2018 | 06:54 WIB
0
586
Menghina Jawa

 
Diperlukan kecerdasan ekstra dalam berpilpres, bukan kecerdasan biasa. Meminjam istilah profesor gadungan, IQ selautan saja ga bakal cukup. Paling mutakhir gorengan Al Fatekah yang bakal jadi boomerang kelompok si penggoreng.
 
Serius. Ini bukan main-main. Mempersoalkan Al Fatekah yang diucapkan sebagian besar orang-orang Jawa untuk Al Fatihah yang biasa diucapkan orang-orang Arab dan orang-orang yang ga punya kesulitan menirukan ucapan tersebut, bisa dianggap penghinaan terhadap orang Jawa.
 
Jauh amat sih dikaitkan dengan penghinaan terhadap orang Jawa? Lalu apa kaitannya dengan Pilpres kok keliatannya maksa banget? Lho, amat sangat terkait, Broww...
 
Inga-inga... 70 persen penduduk Indonesia itu Jawa. Mau jadi Presiden RI ya harus pandai-pandi memikat hati orang Jawa, orang Sunda dan bahkan orang Madura. Tidak ada cerita menyakiti hati mereka, mengecewakan mereka, lantas kepengen jadi Presiden. No way...
 
Sekadar ambil contoh, lidah orang Sunda itu "pabaliut" kalau harus menghapi huruf "f", "p" apalagi "v". Kenapa begitu? Ya ga taulah. Yang orang-orang biasa sebut FPI di Jawa Barat belum tentu ef-pe-i, bisa jadi VFI (ev-fe-i) atau PFI (ep-fe-i). Orang Sunda melafalkan "Allah" saja menjadi "Alloh".
 
Tapi inga, inga... jangan sekali-kali persoalkan hal itu, sebab bakal bikin marah orang Sunda, paling ga tersinggung. Allah saja menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan onderdil yang khas di dalamnya, termasuk lidah. Meski bertetangga, lidah oran Jawa dengan oran Sunda bisa beda.
 
Pernah ada lelucon klasik, tukang obat yang orang Jawa berjualan obat di Tegallega, Bandung. Di tengah kerumunan si orang Jawa menawarkan obat berikut cara minumnya, "Ieu obat beurit siji, anjing siji, didorong ku erte, jengker isuk!" Ya orang Sunda yang tadinya pengen beli obat itu langsung pada kabur gara-gara lidah orang Jawa itu, soalnya dalam penangkapan orang Sunda maknanya menjadi "Ieu obat teh beurit hiji, anjing hiji, didorong ku Pak RT, jeung keur isuk" (Ini obat terbuat dari seekor tikus, seekor anjing, diminumnya sambil didorong oleh Pak RT dan besok dijamin mati).
 
Tidak jauh beda dengan sementara orang Jawa yang tidak bisa melafalkah Al Fatihah sebagaimana orang Arab lafalkan. Sementara orang Jawa dan bahkan mungkin sebagian besar, melafalkan Al Fatihah dengan Al Fatekah, Al Amin dengan Ngalamin.
 
Tapi ya itu tadi, jangan terlalu serius mempersoalkannya. Anggap saja biasa, apalagi diseret-seret ke urusan agama. Pilpres bernuansa agama memang renyah, enak dijadikan kudapan. Dalam konteks Pilpres versi blunder besar Ahok "Pake" Al Maidah 51 lainnya terus dicari-cari. Ndilalah ketemu Al Fatekah itu, Happp.... lalu ditangkap, goreng....
 
Berharap gorengan baru jadi renyah, tetapi malah bisa berakibat blunder lainnya, yaitu bikin antipati orang Jawa, pemilih Jawa. Lidah orang Jawa ya memang begitu, tetapi jangan terlalu dipersoalkan, apalagi digoreng sedemikian rupa dan digiring ke ajang Pilpres, dilekatkan pada agama pula. Sudahlah, jangan cari-cari kesalahan versi Almaidah lainnya!
 
Dengan cuma dua kontestan Pilpres, tidak sulit mencari siapa dan kubu mana yang mempersoalkan Al Fatekah-nya orang Jawa tersebut. Juga ga sulit kepada siapa kemarahan harus dialamatkan, bukan?
 
So.... jangan bikin orang Jawa marah dengan menghina lidah mereka yang kaku dalam berbahasa Arab! Kalian seharusnya mengambil hati orang Jawa dalam Pilpres, bukan malah menyakiti hatinya.
 
Eaaaaa.....
 
***