Masih banyak masyarakat yang optimis dengan kehidupan yang sedang dijalani sekarang ini, bisa menerima kemajuan pembangunan, dan perubahan yang terjadi secara positif.
Manusia berkelompok dan dikelompokkan atas dasar adanya kesamaan pola pikir budaya. Rasanya ini tidak terbantahkan, karena adanya kesamaan pola pikirlah seseorang dengan yang lainnya merasa ada satu pandangan dalam melihat sebuah persoalan.
Sebuah budaya terbentuk dari pola pikir, dan ini pulalah yang membentuk pola pikir budaya. Pola pikir budaya ini terbentuk dari adanya kesamaan perasaan antara satu dengan yang lainnya, sehingga berdasarkan itu pulalah mereka berkelompok dan dikelompokkan.
Sosiolog dan Guru Besar Fisip Universitas Indonesia (UI), Dr. Imam B. Prasodjo (iPras) secara kasar mengkategorikan pola pikir budaya dalam 3 kelompok. Menurutnya 3 kelompok kategori inilah yang ada didunia saat ini, seperti yang saya kutif dari kolom komentar, dilaman Facebook-nya;
Di dunia saat ini, secara kasar, ada tiga katagori kelompok yang bergumul dalam pola pikir budaya yang menghinggap:
1. Pola pikir "Culture of Fear" (budaya yang dihinggapi rasa takut). Mungkin contoh yang tepat kelompok ini adalah kelompok yang kini tumbuh kembali di Amerika sejak Donald Trump menjadi Presiden Amerika.
Kolompok yang mengidap penyakit "culture of fear" ini seringkali secara berlebihan melihat derap perubahan dengan rasa takut. Misalnya, mereka saat ini takut melihat kemajuan yang terjadi pada bangsa bangsa Asia. Takut berlebihan pada Cina, Korea, Indonesia, India dst.
Juga ada yang takut dengan perkembangan dunia Islam. Sebagai respon terhadap rasa takut itu, seringkali mereka bersikap rasis, prejudice, dan diskriminatif. Lihat apa yang terjadi di Amerika saat ini.
2. Kelompok yang mengidap penyakit "Culture of Humiliation" atau budaya yang merasa dirinya atau kelompoknya selalu tertindas. Kelompok yang mengidap penyakit ini, biasanya mereka cenderung bersikap suka menyalahkan orang lain. Mereka apologetik. Yang paling ekstrim adalah membenarkan sikap apapun, termasuk tindakan teror karena tindakan teror dianggap terjadi karena adanya teror yang mereka derita selama ini. Teror dibalas teror.
Culture of humiliation seringkali membawa kondisi psikologis yang merasa dirinya merana, menderita, frustasi dan bisa saja berujung pada rasa marah tak berkesudahan.
3. Kelompok yang secara positif menyikapi hidup penuh optimis ke depan dengan menumbuhkan "Culture of Hope". Ini adalah pola pikir budaya kreatif yang berupaya menggunakan energi pikiran dan hati untuk merancang kehidupan lebih baik. Apapun peristiwa yang terjadi di dunia ini, ia sikapi dg optimisme dan berpikir positif. Kelompok ini berhasil menghindarkan diri dari rasa takut (iri hati) berlebihan menghadapi kemajuan yg diraih pihak lain. Juga, kelompok ini tak suka bersikap apologetik, mencari kambing hitam, dan putus asa.
Di manakah kita berada? Mari kita evaluasi diri.
Kalau kita mengamati kondisi masyarakat, baik di dalam dan diluar negeri saat ini, apa yang dikatakan iPras diatas ada benarnya. Sebagian besar masyarakat Amerika Serikat sedang mengalami apa yang dinamakan Pola pikir "Culture of Fear" (budaya yang dihinggapi rasa takut).
Ketakutan yang berlebihan terhadap kemajuan bangsa lain, terutama kemajuan bangsa Asia. Merasa ada pesaing baru, dan pesaing tersebut datang dari bangsa Asia, bangsa yang selama ini mereka anggap remeh. Sebagai negara yang disebut "Adikuasa" tentunya mereka tidak ingin ada bangsa lain yang lebih maju dari Amerika.
Kemajuan Korea, Cina, Indonesia dan India saat ini dianggap menjadi ancaman bagi Amerika. Bahkan kemajuan dunia Islam pun dianggap sebagai ancaman, itulah yang kadang membuat mereka cenderung rasis, prejudice, dan diskrimitatif. Meskipun sikap seperti itu hanya kadang-kadang muncul, namun semua itu adalah refleksi dari adanya pola pikir budaya tersebut.
Sebagian masyarakat kita juga ada yang mengidap penyakit ini, memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap ancaman Cina, dan kebangkitan PKI yang sangat berlebihan, sehingga kehilangan rasionalitasnya.
Aksi Teroris
Menarik juga untuk dikaji, aksi teroris akhir-akhir ini masuk dalam kategori pola pikir budaya yang manakah? Kalau melihat latar belakang terjadinya aksi terorisme akhir-akhir ini, pola pikir budaya yang melatarinya, masuk dalam kategori kedua, yakni kelompok yang mengidap penyakit "Culture of Humaliation" atau pola pikir budaya yang merasa dirinya, kelompok selalu tertindas.
Kesamaan pola pikir pelaku teror dan pendukungnya, dilatari oleh kesamaan pola pikir dan rasa. Makanya tidak perlu heran kalau banyak yang mendukung aksi teroris, padahal aksi teroris tersebut juga mengancam diri dan keluarganya juga. Tapi dengan penuh suka cita mereka mendukung adanya aksi teroris tersebut.
Kelompok yang mengidap penyakit ini biasanya sangat eksklusif, dan anti sosial, berbeda dengan para pendukungnya. Kesamaan pola pikir budaya, bahwa aksi teror dengan cara bunuh diri itu adalah Jihad Fisabilillah, hanya karena minimmya pengetahuan agama. Pada umumnya karena berguru pada kelompok yang sama, makanya mendukung aksi teror tersebut.
Untungnya sebagian besar masyarakat kita masih tergolong dalam kelompok "Culture of Hope," dengan demikian terhindar dari kehancuran dan perpecahan bangsa, meskipun Gerald kearah perpecahan tersebute sudah didepan mata.
Masih banyak masyarakat yang optimis dengan kehidupan yang sedang dijalani sekarang ini, bisa menerima kemajuan pembangunan, dan perubahan yang terjadi secara positif. Adanya perbedaan pola pikir inilah yang menimbulkan kesan bangsa ini sudah terbelah.
Berdasarkan uraian diatas, Anda berada dalam posisi yang mana? Perlu direnungkan, dan mengubah pola pikir yang salah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews