Merindukan "Wartawan" Sesungguhnya

Haruskah "jurnalis" media online yang berani-berani mendaku dirinya "wartawan" itu menjadi sosok-sosok baru yang menjiplak Aristides, Jakob Oetama, Wonohito, atau Mochtar Lubis?

Selasa, 12 Januari 2021 | 07:07 WIB
1
459
Merindukan "Wartawan" Sesungguhnya
Aristides Katoppo (theconversation.com)

EMPAT menit sesudah lepas landas dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, penerbangan Sriwijaya Air SJ-182 mengalami nasib naas. Dari ketinggian 10.725 kaki, pesawat tersebut menukik jatuh dalam 19 detik dengan kecepatan 358 knot sebelum hilang kontak pada pukul 14.40 WIB. Bencana nasional! Pengerahan sejumlah besar tenaga untuk mencari dan menganalisis temuan yang pertama kali didapati oleh para nelayan di sekitar Pulau Lancang, Kepulauan Seribu, Jakarta itu kemudian menyatakan pesawat tersebut memang jatuh dan hingga tulisan ini dibuat, evakuasi masih terus berlangsung, kendati menurut analisis pragmatis-objektif sudah tidak didapati kemungkinan positif. 

Bencana nasional awal tahun ini jelas menyentak banyak pihak. Pasalnya, sebagai kecelakaan besar pertama di tahun 2021, teranglah menambah duka yang seakan tak habis-habisnya menimpa di tengah pandemi Covid-19 yang belum lagi berkesudahan. Sebagai peristiwa katastrofik, selain doa dan dukungan moral kepada keluarga korban yang tidak putus-putusnya diberikan, sikap kritis juga sepatutnya kita layangkan kepada pemberitaan media massa yang sungguh menyita perhatian. 

Menyaksikan keadaan bencana tersebut, media bukan berusaha dan memfokuskan diri kepada eksplorasi atas hal-hal baru yang dibutuhkan publik secara konkret dan faktual, namun berusaha mengaburkan fakta lapangan dengan berbagai informasi sampah dan pemberitaan nirguna tanmutu. Judul-judul berita yang memuat "firasat keluarga korban"; "ramalan yang terbukti"; hingga "status terakhir pilot" lebih mudah ditemukan, alih-alih perkembangan terbaru yang layak dikonsumsi publik. Dari keadaan ini, seorang kawan penulis memberikan pertanyaan yang cukup satiris, "Perlukah bencana alam terjadi dulu untuk mengukur kualitas media kita?" 

Ya, apakah bencana ini hanya satu momentum tolok ukur dekadensi media dan banjir berita yang sungguh tidak berimbang dengan kebutuhan publik akan informasi cerdas, aktual, urgen, dan mencerahkan? Haruskah atas nama rating dan jumlah klik yang dikejar, para "jurnalis" media online mempersembahkan kepada khalayak ramai kemasan berita yang menarik namun tidak mengandung substansi yang dibutuhkan? 

Bukan Tukang Tulis Berita

Keadaan pemberitaan yang menjengkelkan terhadap bencana nasional yang menyentak ini tentulah perlu mendapat perhatian khusus, di mana nada berita melukiskan sikap yang benar-benar dingin, sembarang, dan tidak memiliki empati terhadap korban, keluarganya, para evakuator, dan proses pencarian itu sendiri, serta khalayak masyarakat yang terpukul akan tragedi yang mengejutkan banyak pihak ini.

Reporter yang mengklaim diri "wartawan" itu begitu getol memfokuskan diri pada persoalan remeh-temeh yang tidak perlu dan tidak butuh diketahui publik: firasat, ramalan, tanda-tanda, perasaan, hingga cocokologi yang tidak perlu dan menambah ruwet keadaan. Toh, asumsi mereka, dengan berita itu mereka sudah menjalankan tugasnya sebagai "wartawan". Dalam sikap yang demikian itu, tercermin penyempitan makna bahwa wartawan adalah tukang tulis berita, penting maupun tidak penting; perlu ataupun tidak perlu diketahui publik. 

Benarkah mereka adalah "wartawan" yang menghadirkan informasi sebagai yang diharapkan masyarakat, keluarga korban, maupun instansi terkait? Jawabannya jelas tidak. Namun, bukankah mereka, sebagai insan pers yang bergelut dengan peristiwa, data, fakta, dan kebaruan juga layak disebut "wartawan"? Jelas, tidak. Elho? Jadi anggapan saudara penulis ini menilai berita-berita yang sudah bertebaran di media itu bukan hasil kerja wartawan? Tepat! 

Pahit memang menghadapi kenyataan demikian. Nyaris sejak milenium berganti, Indonesia dipaksa satu-per-satu menyaksikan berpulangnya wartawan gaya lama—mulai dari Mochtar Lubis (2004), Soemadi Wonohito (2008), Rosihan Anwar (2012), Sabam Siagian (2016), Aristides Katoppo (2019), hingga yang teranyar Jakob Oetama (2020)—mereka yang sungguh-sungguh mengabdi pada kepentingan khalayak, mengabdi di jalan pedang dalam perlawanan dan kiat demokratisasi melawan kesewenang-wenangan penguasa, hingga tekun mengaspirasikan kegelisahan publik dalam tulisan-tulisannya. Mereka yang konsisten bergelut ini, bagi penulis, adalah yang layak mendapat predikat "wartawan". 

Apakah yang membedakan "wartawan" ini dengan "jurnalis" media online yang cenderung doyan membanjiri khalayak dengan berita sampah dan informasi nirmutu? Selain segi usia dan pengalaman, terdapat segi yang tidak dapat atau belum lagi diraih oleh kebanyakan "jurnalis" media online yang berani-beraninya mendaku diri "wartawan" itu. 

Para "wartawan" itu sekurang-kurangnya terlebih dulu menjadi manusia sebelum menggeluti dunia pers. Mereka terlebih dulu mengasah kepekaan, wawasan, dan keberanian mengenai segi-segi manusia dan kemanusiaan sebelum memberitakannya

Pekerjaan—tepatnya tanggung jawab—kewartawanan yang mereka emban seterusnya, bukan hanya menjadi pisau yang mengasah ketelitian, namun juga menjadikan tabungan mereka akan perasaan dan nilai kehidupan menjadi semakin banyak dan berlipat ganda. Karena mereka terlebih dulu menjadi manusia, pikiran yang mereka gunakan sebagai dasar menulis berita adalah kualitas tulisan yang diterbitkan meski hanya sedikit, daripada kuantitas berita yang banyak meski isinya adalah sampah dan informasi yang mengaburkan kenyataan. 

Tentu dibutuhkan jurnalisme empatik dan menaruh rasa di dalamnya. Menurut Ashadi Siregar, sebagai dikutip oleh Ignatius Haryanto (2014:160), jurnalisme empati adalah "usaha seorang jurnalis memasuki kehidupan subyek berita dengan sikap etis agar tidak melakukan penetrasi yang sampai mengganggu kehidupan itu". Dengan kata lain, dalam meliput bencana, media wajib meningkatkan sensitivitas, elegansi pemberitaan, dan urgensi informasi yang terukur dalam skala prioritas sehingga publik dapat mencerna secara baik apa-apa yang mesti diketahui dan dipahami daripada menggunjingkannya melalui mulut sejumlah narasumber inkapabel. 

Haruskah "jurnalis" media online yang berani-berani mendaku dirinya "wartawan" itu menjadi sosok-sosok baru yang menjiplak Aristides, Jakob Oetama, Wonohito, atau Mochtar Lubis? Mengenang laku dan semangat sebatas "keren-kerenan"? Bapa Bangsa kita Sukarno sekali waktu berujar, "Warisi apinya, bukan abunya!" Maka itu kepada "jurnalis" produsen informasi sampah itu kita galakkan, "Warisi kemanusiaannya, bukan menjelma sosoknya!"

Ya, dalam masa kedukaan, publik hanya butuh keyakinan. Keluarga korban membutuhkan peneguhan. Bisakah pers online kini mengasah kepekaan terlebih dulu sebelum mengejar jumlah pembaca dan klik tulisannya, sambil mendekatkan pada publik giat membuktikan peranan pers yang mencerdaskan dan mencerahkan? 

***