Juni 2020, pagi baru saja merekah, saat beberapa pose Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani di atas motor trail penuh lumpur dengan beban sarat melintas di timeline saya. Nampaknya Indah sedang mengaso dalam perjalanan panjang menuju Seko, daerah terisolasi yang membutuhkan waktu tempuh sembilan jam dari Masamba, ibu Kota Kabupaten Luwu Utara.
Muda, cantik, fashionable dengan motor trail sudah cukup membuat jantung laki-laki berdegup keras, namun begitu mengetahui yang bersangkutan adalah bupati yang sedang berjibaku mengantarkan bantuan pada rakyatnya yang sedang kesulitan, rongga dada kita terasa sesak. Sontak puja-puji dilantunkan di media sosial, nama Indah melejit ke level nasional.
Seperti tak ingin kehilangan momentum, foto-foto presiden bareng Indah ikut meluncur ke ruang publik. Profilnya diburu, Indah menjelma menjadi pusat wacana dan diperbincangkan dari warung kopi hingga istana presiden. Wacana kelemahlembutan yang dilekatkan pada perempuan dan dianggap berseberangan dengan sikap tegas yang harus dimiliki seorang pemimpin menguap berhadapan dengan sosok Indah Putri Indriani.
Apa yang menarik dari foto Indah dalam perjalanan ke Seko itu? Perpaduan apik antara maskulinitas dengan wajah manis dalam balutan hijab membentuk karakter yang sangat kuat, sang fotografer menangkap seluruh detail dengan sempurna.
Sulit dipungkiri hingga saat ini politik masih dianggap dunia laki-laki, keberadaan perempuan seringkali diperlakukan sebagai pendatang haram. Realitas yang menempatkan politik sebagai dunia laki-laki bukan khas negara-negara berkembang, Survei Inter-Parliamentary Union (IPU) menyebutkan, perempuan diletakkan di komisi DPR yang tak strategis, misalnya soal sosial dan komunitas, pendidikan, kesehatan, dan isu luar negeri.
Sementara, laki-laki diberi jatah untuk mengurus persoalan ekonomi dan perdagangan, infrastruktur dan pembangunan, administrasi publik, serta hukum dan keadilan. Dalam "Politik Berparas Perempuan" Joni Lovenduski menyebut, bertambahnya perempuan yang punya kursi di pemerintahan tak melulu berbanding lurus dengan perbaikan kebijakan yang berperspektif gender.
Pemilihan kepala daerah yang digelar serentak pada 9 Desember 2020 di seluruh Indonesia, dari 12 Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan diikuti 33 pasang calon, tujuh diantaranya perempuan. Lima maju dengan posisi wakil sedang dua orang sebagai bupati.
Di Luwu Utara ada Indah Putri Indriani sebagai petahana, di Maros Suhartina Bohari diusung sebagai wakil Chaidir Syam sedang Fatmawati Rusdi maju mendampingi Mohammad Ramdhan Pomanto di Pilwalkot Makassar.
Di antara tujuh perempuan yang ikut bertarung saya mengenal Indah Putri Indriani dari media, selebihnya lewat cerita kawan-kawannya di Fisip Unhas dulu. Sementara dengan Suhartina Bohari saya bersahabat baik semenjak berpuluh tahun silam.
Dari jumlah, keterwakilan perempuan kian membaik, apa lagi jika kelak terpilih memimpin daerah masing-masing. Mereka akan mengemban amanah yang sangat berat, selain harus membuktikan kinerja dengan mewujudkan janji saat kampanye juga sekaligus memikul tanggung-jawab untuk membuktikan pada publik kemampuan memimpin mereka yang setara bahkan lebih baik dibanding laki-laki.
Kebijakan bersifat afirmatif terhadap perempuan yang diberlakukan diberbagai belahan dunia semisal pemberian kuota 30% persen pada perempuan terutama di ranah politik serta berbagai lapangan publik lainnya bukan tanpa alasan. Ketertinggalan perempuan hampir di seluruh sektor kehidupan publik memaksa dunia internasional merevisi ulang berbagai kebijakan yang menjadi penyebab ketertinggalan bahkan kekerasan terhadap perempuan.
Dua isu ini masih kontroversial di Indonesia. Disamping itu PBB juga menuntut penghargaan terhadap pekerjaan pengasuh dan pekerjaan rumah tangga, menuntut dijaminnya partisipasi penuh dan efektif serta kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat, serta terjaminnya akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi serta hak reproduksi.
Bila ditelaah secara kritis, akar seluruh permasalahan yang dihadapi perempuan adalah budaya patriarki, sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang dominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial hingga penguasaan properti. Celakanya para pemimpin dan pengambil kebijakan yang dominan dijabat laki-laki, mereka lahir, tumbuh dan beraktivitas dalam kultur patriarki.
Akibatnya pergantian kepemimpinan dari generasi ke generasi tanpa sadar justru melanggengkan berbagai kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun simbolik. Dalam pusaran budaya patriarki yang tidak berpihak pada perempuan, kehadiran pemimpin perempuan sebagai penentu kebijakan terutama menyangkut isu keperempuanan menjadi niscaya.
Suhartina Bohari yang akrab disapa Tina, bukan tipikal perempuan yang memasuki belantara politik dengan memanfaatkan aji mumpung. Ia merintis karir politiknya dengan susah payah, Partai Bintang Reformasi berhasil mengantarkannya ke kursi DPRD Kabupaten Maros. Pasca hengkang dari partai besutan Bursah Zarnubi yang gagal melewati parliamentary threshold, Tina kembali terpilih sebagai anggota DPRD sebagai wakil Partai Amanat Nasional.
Perempuan yang menyelesaikan kuliahnya dalam dua tahun setengah di fakultas ekonomi dengan predikat cum laude dan merampungkan studi pada Pasca Sarjana Hukum Bisnis pada Fak. Hukum Universitas Hasanuddin ini adalah penggemar jeans sebelum akhirnya memutuskan berhijab.
Sebelum terjung ke dunia politik, Tina mengawali debutnya sebagai perempuan karir, merangkap jabatan direktris sekaligus owner di beberapa perusahaan yang dirintasnya sendiri membuatnya memiliki kepercayaan diri saat memasuki dunia politik. "Tidak ada yang instan jika ingin sukses" adalah falsafah yang dianutnya dalam berpolitik merupakan hasil adaptasi dari pengalaman panjangnya sebagai pengusaha.
Tina halnya dengan Indah serta kandidat perempuan lain yang ikut bertarung pada Pilkada 2020 adalah sosok srikandi yang dalam nafas dan darahnya mengalir ketegasan seorang pemimpin sekaligus kepekaan dan kelembutan seorang ibu. Pada merekalah idealnya masa depan perempuan kita titipkan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews