Nasihat tentang Pilkada di Media Sosial

Berisiknya kehidupan berdemokrasi kita yang tercermin di masa-masa kampanye masih lebih baik dibanding praktik otoritarianisme berseragam demokrasi selama orde baru berkuasa.

Senin, 9 November 2020 | 06:16 WIB
0
200
Nasihat tentang Pilkada di Media Sosial
Ilham Arief Siradjuddin dan Danny Pomanto (Foto: sorotmakassar.com)

Menjelang dan saat kampanye pemilihan kepala daerah berlangsung terutama di media sosial saban hari muncul petuah, kalau tidak berupa anjuran biasanya peringatan, tepatnya ancaman. Nasihat agar hanya mempromosikan keunggulan calon yang kita dukung tanpa perlu mengumbar kejelekan calon lain serta larangan berdebat dengan mengutip nash kitab suci sudah seperti ritual.

Nasihat nan bijak macam ini biasanya diikuti penjelasan mengenai pentingnya saling menghormati diantara kandidat dan pendukungnya untuk menghindari konflik. Agar nampak lebih kontekstual biasanya nasihat saling menghormati itu dibumbuhi petata-petitih yang bersumber pada kearifan lokal setempat.

Di Sulawesi Selatan misalnya, menjelang masa kampanye atau saat masa kampanye, terminologi "sipakatau, sipakainge', sipakalebbi, sipammase-mase" wara-wiri di lini masa kita serupa mantra tolak bala, makin sering dirapal makin dahsyat daya tangkalnya.

Nasihat yang bersifat personal dan beraroma kultural tersebut biasanya ditindaklanjuti secara formal oleh Komisi Pemilihan Umum dalam bentuk deklarasi kampanye damai yang dihadiri semua pasangan calon. Namun faktanya beragam nasihat maupun deklarasi tidak pernah efektif mencegah konflik diantara para peserta pemilu.

Ikhtiar paling efektif mencegah berbagai konflik sejak awal adalah konsistensi penyelenggara dan aparat penegak hukum dalam menerapkan aturan. Pengabaian peserta pemilu pada beragam nasihat serta deklarasi damai diduga karena besarnya energi yang terlanjur diinvestasikan kandidat.

Akibatnya konsep bersabar dan mengalah menjadi tidak relevan ketika pertarungan harus dimenangkan. Sebaliknya ungkapan yang sangat populer dalam tiap kontestasi politik, "Lebih baik menang curang daripada kalah terhormat".

Seberapa relevan sebenarnya anjuran saling menghormati dan tidak mengumbar kelemahan atau kekurangan lawan politik di ruang publik?

Dalam berkampanye, mengumbar kelemahan serta kekurangan kandidat lain tidak dilarang, bahkan niscaya jika bertujuan untuk mencegah lahirnya pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas dan bermasalah. Ketika setiap orang berhak memilih dan dipilih dalam kontestasi politik tidak dibarengi dengan semacam saringan untuk memastikan track record diantara para kandidat justru sangat berbahaya.

Bayangkan jika seseorang dengan reputasi serta prilaku yang buruk justru ditutup-tutupi, hanya karena memiliki banyak uang dan diusung partai politik lalu terpilih menjadi pemimpin lewat proses demokrasi. Bagaimana nasib masyarakat selama lima tahun masa kepemimpinannya? Bagaimana pula dengan legitimasi kekuasaannya jika belakangan prilaku buruknya di masa lalu terbuka ke publik, dan seterusnya.

Hiruk-pikuk pilkada di masa kampanye yang dulunya mudah dijumpai dalam berbagai pawai, rapat umum, konser musik, jalan santai serta berbagai kegiatan yang melibatkan jumlah massa berskala besar yang karena pandemi memaksa para kandidat dan pendukungnya bergeser ke media daring.

Seringkali tidak disadari mengumbar kelemahan dan kekurangan calon lain lewat media daring berpotensi bersinggungan dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun selama materi kampanye tersebut belum termasuk kategori kampanye hitam dan masih dalam batas kampanye negatif belum bisa dianggap bermasalah.

Perseteruan antara Ilham Arief Sirajuddin yang dianggap representasi DILAN dengan Danny Pomanto (ADAMA) dalam konteks pemilihan Wali Kota Makassar masih jauh dari rumusan kampanye hitam.

Meskipun demikian sulit untuk tidak mengatakan kalau materi yang diperdebatkan keduanya masih terjebak euforia dan belum menyentuh subtansi permasalahan yang dihadapi pemilih serta agenda jangka panjang demi peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Performa demokrasi yang lebih mengedepankan suasana pentas yang gegap-gempita layaknya sebuah festival atau pasar malam yang oleh Joseph Schumpeter diberi label "demokrasi pasar malam". Dalam "demokrasi pasar malam" para kandidat berlomba merebut dukungan pemilih dengan menawarkan kebutuhan jangka pendek.

Dalam gempita pasar malam atau festival, publik terjebak dalam euforia hingga abai terhadap subtansi kampanye kandidat yang melenceng jauh dari problem dasar yang sedang dihadapi pemilih. Akibatnya ketika kampanye konvensional karena situasi pandemi bergerak ke ranah daring otomatis efek euforia ikut bergeser ke dunia maya tanpa diikuti peningkatan kualitas wacana.

Berisiknya kehidupan berdemokrasi kita yang tercermin di masa-masa kampanye masih lebih baik dibanding praktik otoritarianisme berseragam demokrasi selama orde baru berkuasa.

***