Golkar, Revolusi Diam-diam yang Mengubah Politik

Profiling: memilah pemilih berdasarkan mudah atau tidaknya untuk dipengaruhi menjadi kunci kemenangan dalam pemilu atau pilkada.

Kamis, 6 Agustus 2020 | 07:17 WIB
0
301
Golkar, Revolusi Diam-diam yang Mengubah Politik
Jusuf Kalla (Foto: garudanews.com)

Sebuah revolusi diam diam terjadi dalam politik di Indonesia. Waktunya: Maret 2005.

Saat itu politik Indonesia berubah dan sulit untuk kembali lagi. Dimulailah era politik pemilu, persaingan untuk menjadi presiden, gubernur, walikota, bupati, anggota DPR, dibimbing oleh hasil riset dan data.

Sebelumnya, pertarungan politik dipimpin oleh para ideolog partai. Strategi dibuat berdasarkan pengalaman, instink, firasat. Sejak Maret 2005, politik praktis dikawinkan dengan ilmu pengetahuan. Para ideolog partai mulai memberi tempat kepada peneliti dan profesional marketing politik.

Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah partai politik menandatangani kerjasama, dengan lembaga survei, untuk memetakan dan memilih calon gubernur serta bupati, di 200 wilayah Indonesia.

Ketua umum Golkar saat itu Jusuf Kalla. Diwakili oleh Andi Matalata dan Ruly Azwar Anas, Golkar menandatangani kerja sama dengan Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny JA), yang diwakili penulis sendiri.

Setelah maret 2005, hingga kini, tradisi partai politik menggunakan lembaga survei terus berlanjut.

Bagaimanakah awal perkaranya? Apa yang membuat partai politik itu, Golkar, dan LIngkaran Survei Indonesia membuat sejarah? Jawabnya adalah Profiling: ilmu tentang segmentasi pemilih.

Dua peristiwa mempengaruhinya.

-000-

Peristiwa pertama: Pemilu legislatif 2004.

Serangan kepada Golkar sangat bertubi. Kala itu Indonesia baru 6 tahun lepas dari Orde Baru. Suharto baru jatuh. Golkar selalu diidentikkan dengan Orde Baru dan Suharto.

Pada pemilu pertama setelah tumbangnya Orde Baru, tahun 1999, pertama kali pula Golkar dikalahkan. Perolehannya merosot hingga 22 persen.

Padahal selama pemilu Orde Baru, perolehan Golkar selalu di atas 60 persen. Pertama kalinya, di tahun 1999, partai lain yang juara, PDIP.

Memasuki pemilu 2004, kampanye anti Golkar tetap kencang. Isu utamanya: jangan pilih politisi busuk. Deklarasi anti politisi busuk, politisi yang korup dan melanggar HAM dideklarasikan. Dalam list 61 politisi busuk, Golkar paling banyak. (1)

Kala itu, penulis sudah berulang membuat survei nasional memetakan posisi partai politik. Penulis meminta waktu bertandang ke rumah Akbar Tanjung pertemuan empat mata saja.

Kepada Akbar Tanjung, ketua umum Golkar saat itu, penulis yakinkan. Golkar akan menjadi nomor satu kembali. Golkar kembali ke khittahnya menjadi partai juara.

Akbar Tanjung kaget. Ia bertanya bagaimana penulis yakin soal itu? Penulis jelaskan. Peta dukungan pemilih bisa dibaca melalui ilmu pengetahuan. Nama ilmunya survei opini publik. Di luar negeri, akurasi prediksi survei opini publik terbukti berkali kali.

Ujar Akbar Tanjung lagi, tapi bukankah ini era reformasi? Baru 6 tahun Orde Baru tumbang? Golkar diidentikkan dengan Orde Baru. Buktinya, pemilu tahun 1999, Golkar merosot dari 70,2 persen (pemilu 1997) hanya menjadi 22 persen (pemilu 1999)?

Akbar Tanjung tetap kritis. Sentimen anti Golkar masih tinggi ujar Akbar Tanjung lagi. Itu lihat kampanye anti politikus busuk oleh LSM. Kembali Golkar nomor satu paling banyak politikus busuk.

Penulis menunjukkan data survei nasional. Penulis sampaikan satu prinsip dalam marketing politik. Profiling. Yaitu ilmu memilah seluruh populasi pemilih ke dalam aneka segmentasi.

Penulis katakan, yang anti Golkar hanya pemilih terpelajar. Itu pemilih yang pendidikannya mahasiswa ke atas. Jumlah mereka secara nasional di bawah 10 persen. Benar, dalam segmentasi pemilih ini, Golkar sangat dibenci, dan merosot.

Tapi di kalangan segmen pemilih mayoritas, yang pendidikan terakhirnya hanya SD, SMP, wong cilik, Golkar akan menang.

Tanya Akbar Tanjung lagi: Tapi ada PDIP di sana. Kan mereka partai wong cilik?

Penulis tunjukkan data lagi. PDIP sudah merosot pak. Partai ini akan jatuh perolehannya di bawah Golkar. “Apa iya?,” tanya Akbar Tanjung. Kan perolehan PDIP di 1999 tinggi sekali 33,7 persen?

“Begitulah pemilu demokratis,” pak, sanggah penulis meyakinkan. “Jika harapan publik tidak terpenuhi, tokoh dan partai yang menang pemilu sebelumnya, akan ditinggalkan.”

Akbar Tanjung masih tak yakin dengan kebenaran survei opini publik ini. Tapi Ia senang. Info dari saya ini akan menambah semangat teman teman, ujar Akbar.

Akbar Tanjung pun meminta saya mempresentasikan prediksi Golkar akan juara lagi kepada tim Golkar. Beberapa kali pula saya diundang Golkar di daerah untuk presentasi hasil survei itu. Kabar bahwa Golkar akan juara lagi pun disebar.

Pemilu legislatif 2004 diselenggarakan bulan April 2004. Golkar benar juara lagi, dengan perolehan 21,58 persen. Mengalahkan PDIP, juara sebelumnya, di angka 18, 53 persen.

Penulis lega prediksi lembaga survei terbukti.

Peristiwa kedua. Ini kisah menghadapi pemilu presiden pertama yang dipilih langsung: Juli 2004.

Kembali penulis berjumpa Akbar Tanjung. Kali ini meyakinkan Akbar soal pemilu presiden.

Kembali pula penulis membawa data hasil survei opini publik. Kepada Akbar Tanjung, penulis yakinkan. Walau Golkar partai pemenang pemilu, tapi Golkar tak mempunyai calon presiden yang populer.

Memang saat itu, Megawati masih menjadi presiden. Dan hampir pasti Megawati akan mencalonkan diri kembali. Penulis yakinkan Akbar Tanjung, Megawati akan dikalahkan oleh SBY.

Memang dengan data saat itu, Megawati masih jauh di atas SBY. Tapi pada waktunya, SBY yang akan unggul.

Akbar Tanjung belum teryakinkan. Tapi Ia setuju agar saya mempertemukannya dengan SBY. Perlu pendalaman dulu siapa capres yang akan dicalonkan Golkar, ujarnya.

Saya pun menghubungi SBY. Kepada SBY, dalam jumpa empat mata, saya katakan serupa. Partai SBY, saat itu Partai Demokrat, perolehannya masih kecil, 7,45 persen. SBY memerlukan partai besar untuk maju sebagai capres 2004.

Berulang saya yakinkan. SBY akan mengalahkan Megawati.

SBY percaya dengan data lembaga survei. Apalagi sudah terbukti pada pemilu legislatif 2004.

Apa yang membuat SBY percaya? Jawabnya sekali lagi: ilmu Profiling. Ini ilmu marketing politik yang memilah pemilih ke dalam segmentasi.

Berkali kali penulis infokan ke SBY. Per data hari itu, elektabilitas SBY masih jauh di bawah Megawati. Itu karena Megawati dikenal oleh 95 persen pemilih. Tapi SBY, kala itu, April 2004, baru dikenal oleh kurang dari 50 persen pemilih.

Namin penulis menunjukkan profil pemilih yang sudah disegmentasikan. Yaitu segmen pemilih yang hanya mengenal Megawati dan mengenal SBY saja. Di kalangan pemilih ini, SBY mengalahkan Megawati di atas 10 persen.

Itu kesimpulan magic dari penulis. Jika SBY dikenal seluas Megawati, SBY akan menang. Kuncinya hanya bagaimana membuat SBY dikenal seluas Megawati!

Kepada SBY penulis sarankan. Bagaimana jika SBY dikawinkan dengan Partai Golkar? SBY capres potensial tapi tak punya partai kuat. Golkar partai pemenang, tapi tak punya Capres kuat.

SBY setuju. Penulis pun merancang pertemuan SBY dan Akbar Tanjung.

Dalam pertemuan itu, Akbar Tanjung acapkali membawa Bomer Pasaribu. Sedangkan penulis mendampingi SBY, menjelaskan data mengapa baik bagi Golkar jika mencalonkan SBY.

Akbar Tanjung puas dengan prediksi LSI ketika menyatakan Golkar akan juara pemilu legislatf 2004. Prediksi itu terbukti.

Tapi agaknya masih belum teryakinkan jika SBY bisa mengalahkan Megawati dalam pilpres 2004.

Apalagi saat itu, partai SBY, Demokrat, perolehannya kecil saja. Apalagi saat itu, tentara, latar belakang SBY, tidak populer karena identik dengan Orde Baru. Apalagi Megawati sedang menjabat presiden pula.

Penulis teringat pertemuan terakhir SBY dan Akbar Tanjung di rumah Akbar Tanjung yang penulis ikut menemani. SBY berkata pada penulis: “Dik Denny, kali ini saya dan Akbar Tanjung ingin bicara final empat mata saja. Dik Denny tunggu di ruang tamu.”

Keluar dari pertemuan, SBY menyatakan tidak deal dengan Akbar Tanjung.

Golkar dibawa Akbar Tanjung kepada Capres Megawati. Akbar Tanjung juga menjadi tokoh penting dalam koalisi partai pengusung Megawati.

SBY tetap maju dengan dukungan koalisi partai kecil saja. Penulis tetap meyakinkan SBY. Ia akan menjadi the next president. Besar kecil partai pengusung tak menjadi masalah. Karena dalam Pilpres, pemilih memilih tokoh, bukan partai pengusung.

Penulis (LSI) bahkan membuat konferensi pers mengabarkan SBY akan memenangkan Pilpres 2004 (2)

SBY tetap mengambil tokoh Golkar untuk menjadi pendamping: Jusuf Kala. Golkar. Sebagai partai tak berhasil diajak. Tapi Jusuf Kala akan membawa juga sebagian pemilih Golkar, terutama bagian Indonesia Timur.

Pilpres 2004 pun terlaksana. Ini pilpres pertama yang dipilih rakyat secara langsung. Seperti yang diprediksi data survei opini publik, SBY terpilih sebagai presiden.

Penulis lega. Prediksi lembaga survei terbukti akurat lagi.

Pengalaman penulis ikut memenangkan Golkar dalam pileg 2004, dan SBY dalam pilpres 2004, berdasarkan data survei, meluas diketahui elit politik. Di kalangan elit politik saat itu, penulis mulai nampak “sakti.”

Sejarahpun dimulai.

Di tahun 2005, untuk pertama kalinya, kepala daerah dipilih secara langsung. Pemilihan gubernur dan walikota, bupati, mengikuti pola pemilihan langsung presiden.

Ketua umum Golkar sudah berganti. Jusuf kala, wakil presiden, terpilih menjadi ketua umum Golkar. Mengikuti angin politik Golkar yang kalah dalam pilpres, ketua umum Golkar datang dari pemenang pilpres 2004.

Kembali penulis minta waktu empat mata berjumpa Jusuf Kala. Ia menerima penulis dengan ramah di rumah dinas wakil presiden. Berkali- kali Jusuf Kala menyampaikan terima kasih atas peran penulis ikut memenangkannya bersama SBY.

Saya yakinkan Jusuf Kalla. “Pak, terbukti sudah. Dua kali lembaga survei bisa memastikan. Partai mana yang menang pemilu. Capres mana yang menang pemilu.

Ilmu pengetahuan sudah sampai di sana. Jika tingkat nasional saja, lembaga survei akurat, apalagi tingkat pilkada.

Penulis meyakinkan JK untuk membuat sejarah. Menghadapi pilkada yang pertama dipilih langsung, sebaiknya Golkar menggunakan lembaga survei untuk menjaring kepala daerah. Ini cara yang paling jitu.

JK cukup teryakinkan. JK memberi penulis dua nama di Golkar untuk mewujudkannya: Andi Matalata dan Rully Chairul Azwar.

Bulan Maret 2005, sejarah politik pemilu Indonesia, berubah selamanya. Andi Matalata , disaksikan Rully Chairul Azwar mewakili Golkar, menanda tangani naskah kerjasama dengan Lingkaran Survei Indonesia, diwakili penulis sendiri.

Penulis diberikan otoritas melakukan survei di 200 wilayah Indonesia, provinsi dan kotamadya/ Kabupaten. Itu semua wilayah yang akan ikut dalam pilkada Juni 2005.

Itulah survei opini publik pertama di Indonesia secara massif yang digunakan partai politik untuk menjaring kandidat kepala daerah.

Penulis dibantu pengurus partai Golkar menentukan 5-10 calon potensial untuk dijaring melalui survei. Penulis juga dibolehkan menambah list tokoh itu.

Secara bergurau banyak ketua DPD Golkar saat itu menyindir. Wah ketua DPD dikudeta oleh Denny JA/ lembaga survei untuk menjaring calon kepala daerah.

Maret 2005, sejarah baru politik pemilu Indonesia tercipta. Sejak saat itu, hampir semua partai besar di Indonesia menggunakan jasa lembaga survei untuk menghadapi pilkada dan pemilu.

-000-

Kasus di atas menjadi contoh kongkrit. Hebatnya profiling, memilah segmen pemilih, melihat prilaku pemilih berdasarkan segmentasinya, untuk mrmbuat prediksi dan strategi.

Dalam esai ini, penulis membuat formula 10 P untuk strategi marketing politik. P ke 4 dari 10 P di atas adalah Profiling: memilah pemilih berdasarkan segmentasi.

Pada tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan P 1: Pro- Innovation. P 2: Public Opinion. Dan P 3: Polling (survei opini publik). Tulisan ini fokus pada P 4: Profiling.

Populasi pemilih itu tidak berada dalam satu box yang homogen. Perilaku mereka juga dibentuk oleh latar belakang agama, pendidikan, gender, status ekonomi, asal daerah, intensitas membaca berita politik, dan aneka preferensi lain.

Bagaimana dunia akademik membicarakan soal profiling pemilih ini? Bagaimana memahami segmentasi pemilih dalam rangka voting behavior?

Ada banyak cara membuat profiling pemilih. Misalnya membagi pemilih berdasarkan kategori elementer. Untuk kategori ini, ada tiga bentuk segmentasi yang penting.

Pertama, pemilahan geografis (wilayah). Segmentasi ini berkaitan dengan bagaimana sebaran pemilih berdasarkan wilayah. Data bisa diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) atau data pemilih dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Partai atau kandidat bisa memetakan wilayah (misalnya kecamatan) mana saja yang padat penduduk dan menyumbang suara terbesar, dan mana yang tidak.

Data mengenai sebaran segmen pemilih ini akan baik kalau dilengkapi dengan data dari riset pemilih. Yakni bagaimana posisi partai atau kandidat dibandingkan dengan kompetitor berdasarkan wilayah.

Kita bisa menarik data segmentasi geografis ini ke lebih yang paling bawah: desa (kelurahan). Sebagai misal, kandidat kepala daerah yang maju di sebuah kabupaten dengan jumlah 500 desa.

Segmentasi geografis memetakan kekuatan kandidat dan kompetitor. Di desa mana saja kandidat menang. Sebaliknya di wilayah mana saja Ia mengalami kekalahan.

Data ini akan berguna untuk targetting, wilayah mana saja yang akan menjadi sasaran kampanye.

Kedua, pemilahan sosio-demografis. Pemilih dipilah berdasarkan umur, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, agama, dan sebagainya.

Data mengenai sebaran segmen pemilih ini juga bisa diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini perlu dilengkapi dengan data mengenai kekuatan partai/ kandidat dan kompetitor yang diperoleh lewat riset pemilih.

Data yang diperlukan misalnya, bagaimana kekuatan kandidat dan kompetitor berdasarkan pendidikan, umur, pendidikan, dan sebagainya Di segmen mana saja kandidat menang dan di segmen pemilih mana kandidat kalah dengan kompetitor.

Ketiga, psikografik. Data ini terkait dengan orientasi atau kecenderungan pemilih. Pemilih terdiri atas berbagai tipe yang bisa dipetakan.

Newman (2001) membuat suatu peta psikologis pemilih, yang dibagi ke dalam 4 kategori pemilih.


A) Pemilih rasional.

Perilaku pemilih ini lebih mementingkan isu dan kebijakan yang dibuat oleh partai atau kandidat. Pemilih mengidentifikasi isu dan program partai. Sejauh mana partai dipandang dapat menyelesaikan masalah yang dirasakan oleh pemilih.

B) Pemilih emosional. Perilaku pemilih lebih mementingkan ikatan emosional dan persepsi pemilih terhadap partai. Pemilih lebih melihat ikatan agama, kedaerahan, hubungan personalnya dengan partai atau kandidat.

C) Pemilih sosial. Perilaku pemilih ditentukan oleh citra atau pandangan umum dari khalayak mengenai partai atau kandidat. Bagaimana citra partai atau kandidat itu yang terbentuk di masyarakat. Ini partai atau tokoh yang korup kah? Punya reputasi baikkah?

D) Pemilih situasional. Pemilih yang mengambang dan menentukan partai pilihan karena situasi atau konteks tertentu. Perilaku pemilih ditentukan oleh situasi dan isu kontemporer.

Misalnya tiba tiba merebak isu virus corona. Tokoh dan partai itu terasa lebih peduli, memberikan bantuan, penyuluhan. Sikap partai dan tokoh pada isu aktual yang populer itu yang menentukan keterpilihannya di segmen ini.

Tentu saja, segmentasi pemilih dapat dibuat tak berhingga, sesuai target. Pemilih bisa dipilah juga berdasarkan yang sudah menetapkan pilihan, yang masih mengambang, dan yang masih belum bersikap sama sekali. Pemilih juga dapat dibedakan pula berdasarkan intensitasnya membaca berita politik.

-000-

Apa pentingnya segmentasi pemilih? Ia penting untuk strategi yang kita sebut targetting.

Ini tahapan ketika kita memilih segmen tertentu dari populasi (pemilih) untuk disasar. Lewat targetting, kampanye tidak dilakukan kepada semua pemilih, tetapi hanya kepada target pemilih tertentu.

Menang dalam pemilu atau pilkada tak harus menang pada seluruh segmentasi pemilih. Kadang kita melepaskan kalah di segmen tertentu yang susah, dan mengarahkan sumber daya mengambil segmen pemilih yang lebih mudah. Yang penting dalam total dukungan pemilih, kita masih menang.

Mengapa partai atau kandidat perlu melakukan targetting? Ada tiga alasan.

Pertama, lebih fokus pada kampanye yang menjamin kemenangan partai atau kandidat. Kalau kita ikut dalam pemilihan, kita harus sadar bahwa semua partai atau kandidat akan bersaing memperebutkan pemilih yang sama.

Titik kuncinya kemudian menentukan mana pemilih yang sudah pasti memilih kita. Atau segmen mana yang suaranya masih mungkin diubah untuk mendukung kita.

Contoh terbaik dari targetting adalah kasus Pemilu di Amerika Serikat. Ada negara bagian yang secara tradisi menjadi wilayah Demokrat (misalnya California, Washington dsb). Ada wilayah lain yang secara tardisional menjadi basis dari Partai Republik (misalnya Texas, Wyoming dsb).

Di daerah yang menjadi basis Partai Demokrat, calon dari Partai Demokrat bisa dipastikan menang. Demikian juga sebaliknya.

Di luar daerah basis tersebut, ada wilayah yang mengambang yang dikenal sebagai medan pertempuran (battleground) seperti Florida, Ohio, Colorado, Indiana, Missouri, New Hampshire, New Mexico, Nevada, North Carolina, Pennsylvania, Virginia dan Wisconsin.

Pertarungan Pemilu Presiden di Amerika utamanya terjadi di daerah mengambang (battleground) tersebut. Kandidat presiden di Amerika melakukan targetting agar kampanye lebih fokus.

Sebagai misal, kandidat dari Partai Republik akan lebih memusatkan perhatian pada kampanye di wilayah yang menjadi basis Partai Demokrat (California, Washington) dan daerah battleground. Sebaliknya, di daerah yang menjdi basis Partai Republik, tidak menjadi fokus.

Kedua, targetting menjamin pesan kampanye lebih tepat sasaran. Pesan kampanye dibuat khusus untuk target sasaran yang spesifik.

Sebagai misal, jika targetting adalah masyarakat dengan pendidikan rendah, partai atau kandidat bisa merancang pesan yang sesuai. Pesan akan berbeda untuk segmen masyarakat pendidikan tinggi. Tak hanya program yang berbeda, bahasa yang digunakan pun disesuaikan dengan level pendidikan pemilih.

Ketiga, menghemat sumber daya. Dengan targetting, kampanye bisa dilakukan secara fokus, sumber daya yang mungkin terbatas (waktu, tenaga, uang) bisa diarahkan untuk target yang spesifik tersebut.

Ilustrasi yag sederhana, seorang calon kepala daerah di sebuah kabupaten dengan 20 kecamatan. Jika targetting dilakukan dengan tepat, kampanye mungkin tidak perlu dilakukan di 20 kecamatan tersebut. Cukup dilakukan di beberapa kecamatan yang telah ditarget. Semua sumber daya yang ada bisa diarahkan di kecamatan sasaran.

Bagaimana teknik melakukan targetting? Baines et.al (1998) menggambarkan targetting ke dalam langkah berikut

Identifikasi segmen pemilih yang hendak disasar. Targetting harus didasarkan pada data yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika data mengenai targetting tidak tepat, rekomendasi mengenai targetting juga tidak akan tepat.

Untuk mengidentifikasi segmen sasaran, partai atau kandidat bisa memanfaatkan beberapa data:

A) Data historis hasil Pemilu. Bagaimana suara partai atau kandidat dalam pemilu sebelumnya di daerah tersebut. Daerah-daerah (bisa diterik ke level lebih rendah seperti desa/ kelurahan) mana saja partai menang dan di daerah mana partai kalah.

B) Data profil pemilih yang bisa diolah dari hasil Sensus Penduduk. Misalnya data geografis, pendidikan, jenis pekerjaan, penghasilan, jenis kelamin, agama / etnis, dan sebagainya. Data profil ini juga bisa ditarik ke level yang lebih rendah seperti kelurahan (desa).

C) Survei pemilih. Data survei menyajikan kekuatan kandidat dan kompetitor. Data ini juga bisa ditarik ke level lebih bawah seperti dukungan kandidat dan kompetitor hingga level kecamatan.

Tiga data ini bisa diolah, menyajikan peta sebaran per wilayah yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan targetting.
-000-

Ujar Mahatma Gandhi: saya memahami demokrasi sebagai sistem yang memberikan nilai yang sama kepada pihak yang kuat dan pihak yang lemah.

Dan itu justru menjadi komplikasi demokrasi. One Man, One Vote. Satu warga negara, apapun latar belakangnya, sama mendapatkan hak satu suara.

10 profesor dan doktor sama nilainya dengan 10 orang yang buta huruf ketika memilih. 10 dermawan sama nilainya dengan 10 kriminal dalam perhitungan suara.

Padahal untuk meyakinkan 1000 doktor di Jakarta agar memilih tokoh dan program tertentu sangat berbeda dengan meyakinkan 1000 pemilih di daerah pegunungan Papua.

Untuk meyakinkan 1000 doktor dan profesor, aneka diskusi dan informasi, berikut alasan dan teori, perlu disiapkan.

Namun untuk meyakinkan 1000 pemilih di pegunungan Papua, cukup satu tokoh adat mengajak penduduk pesta adat, dengan hidangan makanan, lalu minta semua mereka mencoblos partai atau tokoh tertentu.

Profiling: memilah pemilih berdasarkan mudah atau tidaknya untuk dipengaruhi menjadi kunci kemenangan dalam pemilu atau pilkada. Aneka sumber daya yang terbatas bisa diarahkan kepada segmen yang paling mudah dan murah biaya.

Namun setelah menang, sang tokoh atau partai kembali harus bertindak sesuai kutipan Mahatma Gandhi: memberikan kesempatan yang sama kepada yang kuat dan lemah. 

Juli 2020

Denny JA

CATATAN

1. Deklarasi gerakan jangan memilih politikus busuk dalam pemilu legislatif 2004. Golkar paling diserang oleh kampanye ini2. LSI mengumumkan prediksi hasil survei bahwa SBY akan memenangkan Pilpres 2004

Daftar Pustaka

Baines, Paul R. (1999). Voter Segmentation and Candidate Positioning. Dalam Dalam Bruce I. Newman (ed), Handbook of Political Marketing. Thousand Oaks, California: Sage Publications.

Baines, Paul R, Phil Harris & Barbara R. Lewis. (2012). The Political Marketing Planning Process: Improving Image and Message in Strategic Target Areas. Maketing Intelligence & Planning, 20 (1), 6-14.

***