Rakyat Kuat Wakil Bejat?

Apalagi jika yang dibilang radikal malah berbelok ke radikalisme agama. Lebih makin penyok, ketika smartphone di genggaman tangan hanya berisi ujaran kebencian dan hoax.

Selasa, 1 Oktober 2019 | 20:46 WIB
0
285
Rakyat Kuat Wakil Bejat?
Pelantikan anggota DPR (Foto: Detik.com)

Ada 575 anggota DPR-RI 2019-2024 yang dilantik hari ini, 1 Oktober 2019. Sejumlah 321 anggota merupakan wajah lama, dan 254 wajah baru, baru pertama kali dilantik sebagai anggota parlemen. Demikian juga termasuk anggota MPR dan DPD, meski kita nggak tahu, apa sih fungsi dua yang terakhir itu?

Akankah parlemen kali ini lebih bermutu, atau lebih tidak bermutu, dengan dominasi partai koalisi Pemerintah? Akan lebih berwarna atau tidak, dengan tak adanya lagi Fahri Hamzah, Budiman Sudjatmiko, Eva Kusuma Sundari, atau Erni Suryani Chaniago? Akan lebih menghiburkah, karena adanya Mulan Jameela, Krisdayanti?

Belum-belum sudah (ini terjemahan adagium Jawa, durung-durung uwis...), sangat mewarnai para wakil rakyat kita ini. Belum ngapa-ngapa, sudah dapat "mosi tidak percaya". Meski kalau mosi tidak percaya ini datangnya dari golput, ngapain pakai pengumuman, toh dulu milih juga kagak milih? Kok sekarang mau-maunya bilang mosi tidak percaya?

Tapi begitulah Indonesia. Sebagaimana kita bacai berita, belum juga sepekan dilantik, ada beberapa anggota DPRD yang menggadaikan SK pelantikannya sebagai wakil rakyat. Pertanda apa? Pertanda mereka mungkin butuh duit. Karena duitnya kemarin habis untuk kampanye, atau sudah diburu jatuh tempo tagihan. Meski hal itu juga menunjukkan, alangkah lucunya negeri ini. Jadi wakil rakyat bisa jadi profesi. Tempat nyari duit, dan penuh itung-itungan duit. Aspirasi dan konstituen, mungkin hanya istilah dalam kampanye.

Banyaknya anggota pertahana di Parlemen, juga mengundang dua pertanyaan; Bagaimana soal kaderisasi, dan kemungkinan dengan hasil itulah yang agaknya membuat banyak anggota DPR (2014-2019) lebih banyak turun ke lapangan, berkampanye. Karena bulan-bulan terakhir periode lalu, banyak kursi kosong.

Sidang paripurna, untuk keputusan penting pun, bahkan hanya dihadiri, fisik, sepertiga atau seperempat. Tidak quorum? Lihat aturan, mereka tanda-tangan di daftar kehadiran atau tidak? Karena UUMD3 dengan seenak perut mengatakan; Jumlah kehadiran dianggap sah dengan melihat jumlah tanda-tangan kehadiran. Meski secara fisik orangnya ngelencer kampanye, atau pijet ke Gajah Mada.

Padahal, dalam negeri demokrasi, wakil rakyat ini adalah pertaruhannya. Kualitas demokrasi juga bisa diukur dari sini. Mereka lahir dari daya kritis masyarakat, partisipasi publik, atau lahir dari minimnya pemahaman demokrasi atau politik rakyat? Karena partai politik juga tak banyak bisa diharap dalam perubahan sosial masyarakat.

Tapi semuanya itu, seperti ujar Bung Karno, rakyat kuat negara kuat. Bukannya rakyat kuat wakilnya di parlemen bejat. Kalau rakyat sejak dari kampanye pilpres dan pileg, mau-maunya ditipu. Asal milih. Hanya karena sembako atau nasbung, kita akan mengulang-ulang sejarah lama. Apalagi mogok, pasif, dan nggolput. Tak ada perubahan radikal dalam sistem kepolitikan kita, mengenai UU Pemilu, UU Partai Politik, dan berbagai turutannya.

Apalagi jika yang dibilang radikal malah berbelok ke radikalisme agama. Makin penyok lagi. Dan bahkan lebih makin penyok, ketika smartphone di genggaman tangan hanya berisi ujaran kebencian dan hoax. Bukannya untuk menyuarakan aspirasi politik kita secara berani. Kritis. Tetapi juga tidak waton. Apalagi fitnah.

***