Betapa Lucunya Ketika Rekonsiliasi Penuh Tuntutan

Semoga Indonesia mempunyai generasi muda yang cerdas yang berjuang memajukan bangsa tanpa menyertakan politik identitas yang mencampuradukkan urusan negara, pemerintahan dan agama.

Jumat, 12 Juli 2019 | 17:06 WIB
0
390
Betapa Lucunya Ketika Rekonsiliasi Penuh Tuntutan
Rizieq Shihab (Foto: Kompas.com)

Politik telah menumbuhkan kebodohan - kebodohan baru. Salah satunya adalah orang pintar yang berlagak bodoh, orang pintar dengan pemikiran pendek yang memandang persoalan dengan tanpa berpikir panjang. Bagaimana bisa orang pintar tidak bisa memaknai kata rekonsiliasi. Rekonsiliasi yang bermakna luhur harus dibuat main- main untuk sekedar memuaskan gelegak kuasa.

Mereka bukan orang bodoh, bukan orang yang tidak bisa berpikir justru mereka sedang memainkan strategi politik tingkat tinggi sehingga rekonsiliasi saja diminta dengan penuh syarat. Apa sih makna dari rekonsiliasi;menurut KBBI re-kon –si-li-a-si perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula, perbuatan menyelesaikan perbedaan.

Saya malah terbodohkan dengan upaya – upaya rekonsiliasi penuh syarat karena berarti tidak bermakna ketulusan. Padahal persahabatan adalah sebuah ketulusan untuk mengerti kekurangan, kesulitan satu sama lain. Kalau syarat persahabatan disertai dengan tuntutan ini dan itu maka rekonsiliasi menjadi aneh luar biasa.

Ketika pada satu titik sudah menerima kekalahan dan akan bersepakat membangun bangsa bersama ternyata politik tetap saja ingin mengatakan tidak semudah itu menerima kekalahan. Harus ada yang menguntungkan bagi sebuah “rekonsiliasi”. Kubu Prabowo Subianto ternyata menginginkan ada klausul untuk memulangkan Rizieq Shihab sebagai syarat rekonsiliasi. Hadeeew.

Manuver politisi itu membuat panas jagad perpolitikan yang sebetulnya mulai reda tensinya. Gemuruh kebodohan- kebodohan ternyata masih berlanjut dan saya yang bodoh semakin tidak mengerti trik- trik politisi.

Kembali memaknai Rekonsiliasi. Rekonsiliasi menuntut kesepakatan damai dari diri sendiri. Jika dalam diri manusia masih dipenuhi oleh ambisi, hitung- hitungan untung rugi dan syarat- syarat maka rekonsiliasi menjadi sia- sia saja.

Jika orang politik menggaungkan rekonsiliasi setelah terlibat dalam konflik yang panas yang bisa menyatukan adalah diri sendiri. Jika setiap politisi bisa  berdamai dengan diri sendiri dan lebih mementingkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan diri sendiri maka akan mudah rekonsiliasi diwujudkan.

Rupanya tarik ulur rekonsiliasi akan bertahan cukup lama. Sebab mereka yang memegang kunci rekonsiliasi masih saja melakukan blunder untuk mensyaratkan ternjadinya rekonsiliasi.

Rekonsiliasi penuh syarat itu namanya. Mungkin bisa dinamai konferensi atau konsolidasi atau urun rembug untuk mendinginkan suasana. Jika mengacu pada makna rekonsiliasi jika politisi ingin memenuhinya maka tidak perlu syarat- syarat yang membuat “ribet” dengan mengajukan syarat membebaskan Rizieq Shihab.

Sebab perkara Rizieg akan menyangkut harga diri negara, ketidakelokan perilaku politik dan perlu diketahui masalah Rizieq Shihab juga menyangkut masalah overstay, denda bagi seseorang yang tinggal di suatu negara tetapi tidak melakukan kewajiban untuk memperpanjang visa ijin tinggal sehingga harus membayar denda lebih dari setengah milyar.

Baca Juga: Tak Relevan, Usulan Jemput Rizieq Shihab untuk Rekonsiliasi

Jangan memberi beban pada upaya rekonsiliasi.Kembali  memaknai arti sebenarnya rekonsiliasi. Jika dua orang sahabat ingin kembali akrab dan memulihkan hubungan tak perlu ada syarat untuk mengembalikan sebuah hubungan. Rekonsiliasi yang indah adalah rekonsiliasi tanpa syarat, sayangnya luka bathin dan luka jiwa membuat para politisi susah move on dan menganggap kecurangan Masif, Terstruktur dan Sistematis membuat mereka susah memaafkan orang lain apalagi memaafkan diri sendiri.

Sebagai orang bodoh dalam politik remah- remah pemikiran saya mungkin dianggap receh oleh mereka. Mereka yang pintar tetapi sengaja memelihara kebodohan untuk menggiring opini masyarakat yang masih gampang dipecah belah oleh hoaks dan kata- kata magis di media sosial.

Semoga Indonesia mempunyai generasi muda yang cerdas yang berjuang memajukan bangsa tanpa menyertakan politik identitas yang mencampuradukkan urusan negara, pemerintahan dan agama.

Kadang penulis sempat berpikir menyadur dari pepatah latin: Populus Vult Delcipi, ergo decipiatur (masyarakat mau ditipu, maka merekapun tertipu). Masyarakat mau saja ditipu oleh para politisi maka merekapun akhirnya tertipu dan anehnya masih percaya dengan sang penipu.

Sungguh luar biasa memang negeri ini. Salam damai selalu.

***