Islam Garis Politik

Alangkah lebih baiknya, jika kita tidak mudah menghakimi keagamaan seseorang hanya dengan pilihan politik. Bahkan lebih jauhnya, jika dikaitkan pada surga dan neraka.

Jumat, 19 Juli 2019 | 17:26 WIB
0
530
Islam Garis Politik
Calon Presiden (01) dan (02)

Palu hakim Mahkamah Konstitusi sudah diketuk, menandakan pengaduan mengenai hasil pemilihan umum presiden (selannutnya saya akan menggunakan Pilpres) sudah inkracht secara hukum. Terlepas dari apapun hasil putusan pada sidang tersebut, maka sudah seharusnya masyarakat dan elit nasional menerima serta menyatakan rekonsiliasi dengan lawan politiknya.

Tentu masih ingat dalam benak kita, salah satu isu besar yang digunakan pada kampanye pilres tersebut, yaitu Islam. Isu Islam pada politik di Indonesia seperti sudah melekat erat. Sebab hampir disetiap perhelatan politik, Islam hampir bisa dipastikan selalu menjadi “bumbu penyedapnya”.

Mengenai Pilpres kemarin, ada sebuah pernyataan, atau lebih ke arah penghakiman, yang menarik perhatian saya, yaitu “kalau si A memilih si C pada Pilpres ini, berarti Islam si A itu tidak kaffah. Sebab capres C itu kehidupan dan pemerintahannya belum sesuai dengan Islam. Nah, kalau capres D yang dipilih sama si B itu kaffah secara Islam.”

Selain itu, saya juga sempat membaca di salah satu media daring, di sebuah desa atau kampung ada seseorang yang meninggal namun ada sebagian besar warga yang enggan menguburkan jasad orang meninggal tersebut di tempat pemakaman yang biasa digunakan warga tersebut untuk mengubur masyarakat sekitarnya. Alasannya cukup sederhana, karena orang yang meninggal ini berbeda pilihan politik. Ada juga orang yang diusir oleh warga dari kampungnya, dengan alasan yang sama, yaitu berbeda pilihan politik.

Suatu pernyataan yang mengejutkan sekaligus mengherankan bagi saya. Kita seakan dibutakan oleh pilihan politik kita, sehingga menutup mata akan kekurangan yang dimiliki oleh setiap capres dan cawapres. Hingga akhirnya membawa perpecahan yang sebegitu parahnya hanya karena pilihan politik.

Kemudian secepat itukah kita menghakimi keislaman seseorang ? Hanya berlandaskan pada pilihan politik seseorang pada suatu momentum. Kita seakan kehilangan “garis waras” penghakiman tentang keagamaan.

Bagi saya, ada 3 (tiga) hal yang tersirat pada pernyataan tersebut. Pertama, tentu berkaitan erat dengan judul tulisan saya, yaitu Islam "Garis Politik". Untuk yang pertama ini maksudnya mungkin sudah saya paparkan sedikit pada paragraf sebelumnya, yaitu seseorang bisa dikatakan Muslim yang sempurna atau tidak tergantung pada pilihan politik untuk capres dan cawapresnya saat pilpres. Padahal, sepengetahuan saya, ayat-ayat mengenai pilihan politik masih bersifat perdebatan. Artinya ruang pilihan benar atau tidak itu masih bersifat subjektif.

Hal yang kedua, adalah pengambil alihan peran Tuhan (dalam hal ini Allah) sebagai “Yang Maha Bijaksana” dan “Yang Maha Menghakimi” oleh manusia. Padahal, dalam al-Quran sendiri sudah dijelaskan kalau hanya Allah yang bisa menghakimi seseorang itu bisa dikatakan sebagai Muslim yang kaffah atau tidak.

Kemudian, di sisi lain ada rasa merendahkan kadar keagamaan kawan bicaranya. Padahal, Islam yang selama ini sudah dianut, baik yang berbicara maupun lawan bicaranya, merupakan agama “yang diwariskan” oleh kedua orang tuanya. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan, ada juga orang yang menganut agamanya dengan alasan lainnya.

Pesan tersirat ketiga yang ada pada pernyataan tersebut adalah menyebarnya taklid buta di masyarakat, dalam hal ini yang menganut agama Islam tentunya. Untuk yang kedua ini, sebenarnya berkaitan dengan yang pertama. Sederhananya sih seperti ini, ketika seseorang sudah berani “mengambil alih” peran otoritas Tuhan sebagai hakim, maka seseorang akan merasa bahwa jawaban yang lainnya itu salah.

Sementara jawab paling benar dari suatu permasalahan, hanya bersumber dari dirinya atau orang yang dia percaya. Orang sudah menjadi taklid buta, akan merasa semua pilihan atau jawaban yang berbeda dari dirinya atau cara pikirnya adalah salah.

Dalam Islam sendiri, manusia memang memiliki tugas “perwakilan” Tuhan di muka bumi. Namun peran perwakilan tersebut bukan sebagai pengambil alih otoritas penghakiman mengenai keislaman seseorang. Akan tetapi, lebih kepada peran untuk menyebarkan nilai-nilai yang sudah Tuhan tetapkan pada hukum-hukum yang sudah ada pada al-Quran.

Pada tahap berikutnya, jika menggunakan pendekatan hukum Islam, manusia diharuskan berijtihad sehingga bisa menetapkan hukum yang tepat. Namun dalam berijtihad, ada suatu adagium yang menyatakan bahwa “jika ijtihad kita benar, maka kita akan mendapatkan pahala sebesar 2, sementara jika salah, jika hanya mendapatkan 1 pahala.”

Adagium tersebut memang memiliki sisi negatif. Namun maksud dari adagium tersebut adalah semua orang bisa berijtihad tentang sebuah permasalahan dan boleh diikuti oleh siapapun. Mengenai tepat atau tidaknya dari hasil ijtihad tersebut, biar Tuhan yang menentukannya. Jadi ketika ruang penghakiman tersebut sudah terambil alih oleh para pentaklid buta, maka tertutup juga pintu ijtihad bagi para ulama.

Dalam sejarah Islam sendiri, sudah sering kita mendengar dan baca, bahwa penyebab kejatuhan peradaban Islam salah satunya adalah meningkatnya para pengikut taklid buta. Selain itu, sejarah juga memberikan pelajaran, bahwa Islam berkembang begitu pesat pada awal kemunculannya juga disebabkan begitu terbukanya pintu ijtihad. Seandainya para ulama tidak melakukan penggalian (berpikir dan berijtihad) terhadap sekeliling dan al-Quran, mungkin Islam tidak akan mencapai peradaban yang begitu maju saat itu.

Tidak bisa kita pungkiri, hampir di setiap agama samawi memang sudah ada sekte yang sudah berkembang sejak dahulu, begitu juga di Islam. Seperti yang sudah diketahui oleh para pemeluk agama Islam, sudah terbagi menjadi beberapa sekte, seperti Sunni dan Syiah.

Kemudian dalam fikihnya sendiri, untuk di Sunni sendiri, kita mengenal 4 (empat) mazhab, yaitu Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah, dan Hanafiyah. Berdasarkan keempat orang tersebut, kita juga tahu, bahwa para pendiri mazhab ini juga memiliki hubungan yang erat secara keilmuan, yaitu antara guru dan murid. Namun kita seakan amnesia, bahwa beliau-beliau tersebut berkembang dan dikenal oleh banyak orang buka karena dengan cara taklid buta. Akan tetapi dikenal dengan pembaharuan yang dilakukan dengan berijtihad di salah satu aspek keilmuan.

Menurut saya, faktor penyebab munculnya stigma Islam garis politik adalah derasnya arus informasi yang masuk kepada seseorang. Di era sekarang, seseorang memang bisa dengan mudah mencari informasi apapun dengan satu klik di gawainya. Namun di satu sisi, ada kecenderungan seseorang untuk malas memverifikasi informasi yang masuk.

Selain faktor tersebut, ada juga pengaruh tokoh agama yang menyebarkan pemikiran tersebut. Dalam pandagan masyarakat Indonesia, tokoh agama merupakan salah satu orang yang sangat disegani. Hal ini diperkuat oleh hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Deni JA pada bulan Oktober 2018 yang menyatakan bahwa 51,7 persen pemilih menyatakan mereka sangat mendengar imbauan dari tokoh agama.

Sementara untuk imbauan dari politisi hanya sebesar 11 persen dan pendapat dari para pengamat hanya 4,5 persen. So, ketika para pemuka agama ini sudah menyebarkan paradigma mengenai pandangan politik terhadap satu calon, maka kemungkinan besar masyarakat akan mengikuti pandangan tersebut.

Menentukan pilihan politik dengan menggunakan perspektif agama memang tidak dilarang. Semua orang bisa menentukan pilihannya dengan menggunakan cara pandangnya masing-masing, entah menggunakan cara pandang kinerja, prestasi, agama, dan lain-lain.

Namun alangkah lebih baiknya, jika kita tidak mudah menghakimi keagamaan seseorang hanya dengan pilihan politik. Bahkan lebih jauhnya, jika dikaitkan pada surga dan neraka. Saya jadi teringat sebuah kisah seseorang yang bisa masuk surga berkat Rahmat Allah hanya disebabkan menolong seekor lalat yang masuk ke dalam minuman.

Selain itu, alangkah lebih baiknya jika kita bersikap dengan bijak terhadap pilihan politik seseorang. Jangan sampai karena perbedaan pilihan politik, membuat kita lupa nilai-nilai sosial dan kebudayaan yang sudah ada pada Islam dan masyarakat Indonesia. Kemudian jangan sampai karena perbedaan pilihan politik membuat bangsa Indonesia terpecah-pecah.

Mari kita bersama-sama membawa Indonesia menjadi lebih bertabat. Membawa Indonesia kembali dikenal dengan keramah-tamahannya, dan membawa Indonesia menjadi negara yang lebih baik.

***