Kocaknya Pemasaran Politik Kubu Prabowo-Sandiaga

Jumat, 8 Maret 2019 | 07:56 WIB
0
538
Kocaknya Pemasaran Politik Kubu Prabowo-Sandiaga
Prabowo Subianto dan Sohibul Iman [tangkap layar youtube tilariapadika]

Zaman dahulu politik adalah perjuangan untuk mewujudkan gagasan-gagasan tentang kehidupan publik. Gagasan-gagasan itu hanya bisa mewujud jika punya kekuasaan. Kekuasaan hanyalah alat. Yang utama adalah gagasan, cita-cita.

Masa kini, praktik berpolitik berkebalikan dari masa lampau. Saat ini kekuasaan lah yang utama. Gagasan-gagasan tentang bagaimana kehidupan publik harus diatur hanyalah kemasan dagang, reklame, iklan demi mendapat dukungan publik dalam pemilu.

Karena inilah di masa kini kita kerab menyaksikan pertentangan-pertentangan antara latar belakang kelas sosial politisi dan pendukungnya, rekam jejak sepak terjang parpol, dengan narasi dalam retorika-retorikanya.

Namun di antara sekian banyak contoh pertentangan internal itu, kasus pemasaran politik pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno adalah yang paling lucu dan bikin kita geleng-geleng kepala.

Tulang punggung pengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno adalah dua kekuatan sayap kanan: ultra-nasionalis (Gerindra) dan Islam politik garis keras (PKS, PAN, FPI, dan bekas Hizbut Tahrir Indonesia).

Inilah yang menyebabkan ada dua warna dominan dalam narasi kampanye Prabowo-Sandiaga dan tim-nya: gagasan-gagasan ultranasionalis dan gagasan-gagasan politik identitas agama.

Kelompok ultra-nasionalis Gerindra bisa menerima dengan tangan terbuka tawaran pelukan kubu politik identitas PKS dan kelompok Islam politik garis keras lainnya karena terbukti dagangan identitas berhasil mengantarkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memenangkan pilgub DKI.

Sebaliknya PKS, PAN, dan kawanannya yakin akan larisnya dagangan mereka karena berpikir Prabowo akan mengambil cawapres dari kalangan PKS, atau setidaknya dari kalangan tokoh agama garis keras.

Dalam ilmu pemasaran, sebaik apapun kemasan dan reklame, selama produk tidak mencerminkan hal serupa, pemasaran itu akan gagal. Mungkin orang-orang akan membeli sekali. Namun setelah sadar bahwa isi berbeda dari iklan, mereka tidak akan membeli lagi. Artinya tidak ada reorder, yang berarti pula tidak ada kesinambungan pembelian alias tidak ada pelanggan. Padahal tujuan pemasaran sebenarnya adalah menciptakan customer alias loyalis, bukan orang-orang yang hanya sekali beli.

Reklame dagang politik identitas yang PKS dan PAN angkat hanya bisa menghasilkan pembeli loyal jika ada kesesuaian dengan barang dagangannya, capres-cawapres. PKS paham bahwa Prabowo adalah produk yang sama sekali tidak merepresentasikan kemasan dan reklame yang mereka berikan. Karena itu sejak awal PKS dan PAN pasang syarat bahwa Prabowo harus mengambil kader mereka atau setidaknya kalangan tokoh agama garis keras sebagai cawapres.

Juli 2018 lalu, saat memberikan ceramah dalam acara silaturrahmi Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Hotel Kartika Chandra, Presiden PKS Sobihul Iman menyatakan bahwa Prabowo bukanlah muslim ta'at. Itu sebabnya banyak kader PKS yang sebenarnya keberatan DPP PKS mendukung Prabowo.

Menurut Sohibul, dukungan terhadap Prabowo adalah bersyarat, yaitu dijadikannya kader PKS sebagai cawapres. Dengan jalan demikian, komposisi kepemimpinan ideal abangan-santri akan terwujud.

Jadi PKS sebenarnya sudah berjaga-jaga jika kelak terbongkar bahwa Prabowo bahkan tidak paham melakukan hal-hal ritual dasar dalam Islam. Misalnya tidak tahu bagaimana melakukan wudhu, tidak biasa menjawab salam dalam tatakrama Islam, atau belepotan dalam mengucapkan kalimat salam sebagai pembuka pidato.

Bagi PKS, semua kenyataan konyol yang kelak terungkap dalam rekaman-rekaman video itu tidak akan banyak merugikan andai cawapres berasal dari PKS. Toh PKS sudah memagarinya dengan argumentasi bahwa Prabowo memang bukan muslim ta'at namun cawapresnya adalah representasi muslim garis keras sebab merupakan pemimpin PKS.

Yang PKS gagal antisipasi adalah politik elektoral memiliki hukumnya sendiri. Politik elektoral di tengah situasi rakyat yang sudah lama dibikin pragmatis oleh tingkah laku elit-elit politik itu sendiri, membutuhkan dana yang bukan main-main besarnya. Karena itu siapa punya berapa harus turut jadi bahan pertimbangan dalam menggandeng pasangan capres-cawapres.

Maka PKS tidak bisa berbuat apa-apa ketika Prabowo dan Gerindra akhirnya memilih Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra itu sendiri, Sandiaga Uno sebagai cawapres pendamping Prabowo. Meski mengancam akan meninggalkan koalisi jika Prabowo tidak mengindahkan rekomendasi Ijtima FPI dan sekutunya, PKS akhirnya pasrah juga menerima Sandiaga Uno yang mendampingi Prabowo.

Demi tetap mempertahankan dagangan politik identitas, PKS, PAN, FPI, dan bekas Hizbut Tahrir melakukan begitu banyak akrobat menggelikan. Misalnya Sohibul Iman mengangkat Sandiaga sebagai santri, dan Hidayat Nur Wahid menaikkan lagi status Sandiaga sebagai ulama.

Mengapa PKS, PAN, FPI, dan bekas Hizbut Tahrir memaksakan diri tetap menjual Prabowo-Sandiaga sebagai representasi kalangan Islam garis keras? Mengapa tidak fokus saja mengikuti narasi ultra-nasionalis Gerindra dengan isu-isu populis?

Itu karena PKS dan kawan-kawan Islam politik garis kerasnya paham bahwa dalam hal narasi populis, kasusnya serupa saja.

Ketika Prabowo-Sandiaga bicara tentang ketimpangan kesejahteraan dan ketimpangan penguasaan sumber daya agraria, keduanya adalah bagian dari 0,1 persen orang terkaya di Indonesia dan menguasai ratusan ribu hingga jutaan hektar konsesi penguasaan hutan.

Ketika Prabowo-Sandiaga bicara tentang dana pengusaha nasional tersimpan di luar negeri, justru nama keduanya yang tercatat dalam bocoran dokumen internasional tentang orang-orang kaya Indonesia yang mendirikan perusahaan bodong di negeri-negeri surga pajak.

Ketika Prabowo-Sandiaga bicara pasal 33 UUD 1945, justru keduanya yang memiliki usaha pengelolaan air bersih, memprivatisasi air yang merupakan hajat hidup orang banyak itu.

***