Makna Kemenangan PSI di Luar Negeri

Sebagaimana benar apa yang disampaikan Faisal Basri, kita butuh darah segar. Dariapadanya Jokowi way akan terus berlanjut....

Kamis, 18 April 2019 | 00:17 WIB
0
837
Makna Kemenangan PSI di Luar Negeri
Grace Natalie (Foto: Nyiur Times)

Tentu saya senang PSI banyak unggul dalam exit poll di banyak kota besar di luar negeri. Gak terlalu penting seberapa besar selisihnya saat nanti dilakukan real count oleh KPU setempat. Tentu saja, para voters di luar negeri itu kaum terdidik, dan yang jelas walau mereka diaspora tetap saja menunjukkan cinta yang hebat bagi tanah kelahirannya.

Mereka yang bukan "donkey voters", istilah (yang saya pun pikir sangat kasar) untuk menyebut para golputers. Berani memilih partai baru, tentu dengan segenap resiko-nya. Tanpa beban harus berhitung begini begitu, yang bila dilakukan tetap saja punya potensi salah.

Dan yang terpenting adalah mereka berhasil mematahkan kekhawatiran yang marak jauh sebelum pemilu dilakukan, bahwa mereka sejak awal merasa sudah dikerjai oleh para petugas penyelenggara.

Sebagai orang yang banyak berkawan, dan ndilalah banyak disambati. Nyaris di setiap konsulat atau kedubes yang memiliki PPS, mereka merasa bahwa para penyelenggaranya banyak berasal dari "kelompok-kelompok yang itu-itu lagi". Kelompok yang punya militansi yang luar biasa, para pemilik kebenaran tunggal dan punya kapling di surga sana.

Mereka mungkin memang minoritas, tapi dalam hal merebut jabatan-jabatan publik yang strategis, harus diakui sangat ngotot dan gigih. Tak hanya di luar negeri, preseden yang sama juga terjadi di luar negeri. Coba telisik lebih dalam, akan terlihat betapa ambisius-nya mereka.

Tak peduli sekali lagi, betapa sangat norak kelakukannya, tidak capable, dan ndableg sikapnya. Paham kan, kenapa mereka santai saja ketika diprotes para calon pemilih yang kehilangan hak suaranya!

Bagi saya ini hanya manifestasi dari sebutan cebong dan kampret bagi kedua kubu. Bagi mereka, sebetapa pun besar kuat, cerdas, dan tulusnya, pendukung Jokowi tetaplah cebong. Anak katak yang baru gede, mulai belajar, dan mudah dikerjain. Sedang mereka kampret yang mau kerja keras siang malam, mau jungkir balik dalam bangun maupun tidurnya. Bisa bekerja dalam senyap, nyolong sana sini, hinggap dari satu buah matang ke buah ranum yang lain.

Lihatlah perilaku codot yang tidak suka menggondol, tapi dikerikiti, dirusak buahnya lalu ditinggal pergi. Cebong itu hidupnya terlalu gembira, suka kumpul-kumpul, bikin deklarasi di sana-sini, blusukan, dan berbagi. Sesuatu yang kemudian diejek oleh seorang profesor diaspor di Ostrali, bahwa hanya orang yang tidak betul-betul hebat merasa perlu memobilisasi massa.

Apa yang dilakukan para cebong itu hanya meniru perilaku perilaku kelompok 212 yang pada sekarang "ngekost" di kelompok kampret. Nyebelin, tapi ada benarnya. Tak apa, kritik itu membesarkan kok!

Kadang saya juga berpikir nakal, seandainya saja Prabowo menang, bagaimana ia akan menghabisi para anak kost tersebut. Sesuatu yang tak akan mungkin dilakukan oleh Jokowi, tapi sangat mudah diprediksi akan dilakukan Prabowo. Jangan lupa, Prabowo adalah seorang ultra-nasionalis, ia seorang fasis yang dalam pemilihan, ia akan mudah merangkul siapa pun musuh ideologisnya.

Tapi saat menang akan berbalik menghabisinya, dan malah berkoalisi dengan para rival demokratisnya. Jika itu terjadi, saya pikir mungkin benar ia memang tegas (baca: keras dan tanpa ampun). Sesuatu yang tidak menarik untuk ditunggu, apalagi disaksikan. Karena itu hanya pintu masuk menuju Indonesia bubar sebagaimana yang selalu ia khawatirkan itu.

Kembali kepada di balik kemenangan PSI di luar negeri juga terlihat raliats bahwa hanya ada tiga parai yang populer di luar negeri. Hal ini sebagaimana yang saya pernah tuliskan pada status yang lalu, mewakili tiga karakter partai di Indonesia pada sitausi muthakir.

PSI leading karena ia simbol corporate party, ia mewakili sebuah organisasi yang dikelola secara kredibel, modern, dan tentu dengan teknik marketing kekinian. Ceruknya tentu saja ada pada kelas menengah atas rasional yang independent. Lapisan kedua, diiisi oleh PDI-P yang merupakan simbol family party, pemilihnya terbelah dua.

Pertama mereka yang secara genetik mewarisi ideologi keluarga secara turun temurun. Apa yang disebut pejah gesang nderek Bung Karno (dan sekarang Bu Mega). Dan kedua, mereka yang ingin memastikan Jokowi aman karena didukung secara kuat mulai dari rumahnya sendiri.

Dan pada lapisan ketiga, dan semoga ini membuat mereka yang golput itu melek: diisi oleh golongan sectarian party yang paling membahayakan: PKS. Penetrasi mereka memang luar biasa, masuk ke kelompok anak-anak pintar yang dibina sejak dari SMA, masuk ke dalam kelompok-kelompok pengajian yang selalu dengan jargon yang sama "membela Islam yang (abadi) terzalimi), dan tentu saja jualan surga dan neraka dengan harga diskon.

Mereka inilah yang paling patut diduga sebaga "kambing hitam" kekacauan proses pemungutan suara di banyak kota besar. Contoh paling dekat, kasus di Selangor Malaysia misalnya.

PSI unggul di banyak kota besar dunia, itu kampanye gratis yang luar biasa efektif buat proses yang akan berlangsung di dalam negeri besok pagi. Seharusnya demikianlah proses demokrasi yang benar dilakukan, dengan santai tapi penuh kesungguhan. Kalau pun ia tidak lolos electoral treshold, ambang batas 4 persen besok, setidaknya partai ini patut diberi kesempatan membesar di lima tahun ke depan.

Tapi tampaknya saya salah, ia akan menjadi salah satu wakil kita di DPR kelak. Daripadanya, kita bisa berharap Indonesia menjadi wakil dari negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang toleran, modern, dan pantas jadi teladan.

Sebagaimana benar apa yang disampaikan Faisal Basri, kita butuh darah segar. Dariapadanya Jokowi way akan terus berlanjut....

***