Jujur, ketika Pak Jokowi dilantik jadi presiden, saya ragu dengan beliau. Saya kuatir masa depan Indonesia di bawah pemerintahannya, setidaknya sepanjang lima tahun beliau memimpin. Saya tidak yakin beliau bisa memimpin negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup banyak. Saat ini, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 265 juta jiwa.
Keraguan saya bahkan lebih daripada itu. Saya pernah memperkirakan, pemerintahan beliau tidak akan bertahan lama. Tidak akan selesai sampai lima tahun. Saya mengira beliau akan segera meletakkan jabatan presiden dalam waktu cepat. Dan saya pun berharap hal itu bisa terjadi tanpa menunggu lama.
Saya memperkirakan, beliau akan menjadi presiden dengan masa jabatan tersingkat dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Setelah beliau, saya berharap Pak Jusuf Kalla yang meneruskan kepemimpinan. Saya menilai Pak Jusuf Kalla akan lebih mampu dibanding Pak Jokowi karena pernah menduduki jabatan sebagai wakil presiden.
Keraguan ini sesungguhnya berawal ketika PDI Perjuangan, di mana pada 14 Maret 2014, lewat kebijakan ketua umum, Megawati Soekarnoputri, memutuskan untuk mengusung Pak Jokowi menjadi calon presiden di Pemilu 2014. Saya sampai heran dan sedikit marah kepada partai yang tiga hari lalu berusia 46 tahun tersebut.
Bagaimana mungkin partai tiga besar dan punya pengalaman panjang bertindak ceroboh? PDI Perjuangan masih punya banyak stok calon pemimpin kompeten yang lebih layak daripada Pak Jokowi. Di jajaran kepengurusan partai, masih ada Bu Mega. Bu Mega berpengalaman sebagai mantan wakil presiden dan juga presiden. Pak Jokowi apa? Beliau cuma kader partai level daerah.
Mengapa saya sampai “menolak” Pak Jokowi jadi calon presiden?
Tampaknya bukan cuma saya. Mungkin ada jutaan rakyat Indonesia yang melakukan hal yang sama pada waktu itu. Apalagi warga Jakarta. Mereka tentunya kecewa dan marah. Gubernur mereka yang masih seumur jagung masa jabatannya sudah bernafsu mau memimpin negara.
Kalau tidak salah, Pak Jokowi menjabat sebagai gubernur baru 1 tahun 5 bulan. Dan ketika menerima mandat dari partainya, Pak Jokowi beralasan bahwa beliau akan membangun ibukota dari Medan Merdeka Utara. Terkesan terlalu percaya diri.
Kembali ke alasan saya, yang barangkali mewakili alasan sebagian besar warga ketika itu.
Menurut penilaian saya, Pak Jokowi belum layak memimpin Indonesia. Beliau baru berpengalaman sebagai kepala daerah, antara lain sebagai walikota Solo dua periode serta gubernur Jakarta yang ingin beliau tinggalkan. Masa dan bukti kepemimpinannya di ibukota belum memuaskan harapan warga.
Sebagai warga Jakarta yang punya hak pilih, sebanyak dua putaran di Pilkada 2012, saya konsisten memilih beliau yang berpasangan dengan Pak Ahok. Dan saya ingin sekali menyaksikan hebatnya beliau dibanding gubernur-gubernur sebelumnya.
Alasan saya di atas masuk akal, bukan? Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Pilpres 2014 berlangsung, dan bersama Pak Jusuf Kalla, Pak Jokowi memenangkan pertarungan. Tepat pada 20 Oktober 2014, mereka berdua dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Pak Prabowo, rival berat di medan laga ikut menyaksikan peristiwa bersejarah itu.
Kini, Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla sudah akan mengakhiri masa jabatan. Kurang lebih sembilan bulan lagi, periode kepemimpinan mereka akan tergenapi. Perkiraan buruk saya sebelumnya berhasil mereka patahkan. Sekadar diketahui, walau pun saya pernah tidak rela Pak Jokowi meninggalkan ibukota, nyatanya saya juga ikut memilih beliau pada 9 Juli 2014 yang lalu bersama 53,15 persen rakyat Indonesia.
Saya memang aneh. Tapi suatu saat akan saya ulas alasan mengapa saya memilih beliau untuk kedua kalinya setelah Pilkada 2012 silam. Apakah saya juga akan memilih beliau untuk ketiga kalinya di Pilpres 2019? Ya, mudah-mudahan saja. Setidaknya, selama empat tahun terakhir Pak Jokowi sudah berusaha keras membuktikan kepada saya beberapa hal berikut agar kelak pada 17 April 2019 mendatang, beliau bisa jadi pilihan utama saya.
Pertama: Pengentasan Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan penduduk Indonesia per Maret 2018 sebesar 9,82 persen. Angka ini terendah sejak era krisis moneter (krismon) pada 1998. Di mana pada 1998, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 24,2 persen. Penurunan yang mencengangkan, bukan?
Kedua: Membangun Desa dengan Dana Desa
Sejak 2015 sampai akhir 2018, pemerintah telah menggelontorkan Dana Desa sebesar Rp187,65 triliun. Selama 2018 saja, dananya sebesar Rp60 triliun. Pada 2019 ini, Dana Desa dinaikkan menjadi Rp80 triliun.
Dana sebanyak itu sudah dimanfaatkan untuk membangun apa saja? Begini rinciannya: jalan desa sepanjang 123.000 kilometer, 6.500 unit pasar desa, 791.000 kilometer jembatan, 28.000 unit irigasi, 1.900 embung, 700 Bumdes, 11.500 Posyandu, dan 18.000 PAUD.
Apa jadinya negara kita kalau Dana Desa dilanjutkan lagi hingga 2024?
Ketiga: Menghidupkan Konektivitas Laut, Udara dan Darat
Dalam rangka mewujudkan misi mengefektikan tol laut, hingga akhir 2018, pemerintah sudah membangun sebanyak 27 pelabuhan yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air. Rencananya, pada tahun ini akan digenapkan menjadi 32 pelabuhan.
Terkait koneksi udara, pemerintah sudah membangun sebanyak 11 bandara baru. Belum lagi revitalisasi bandara-bandara yang sudah ada, yakni 408 bandara.
Sedangkan untuk koneksi darat, pemerintah juga sudah membangun jalan nasional sepanjang 12.783 kilometer dan 423,17 kilometer jalan tol. Jalan ribuan kilometer ini tidak hanya dibangun di Pulau Jawa, tapi juga di banyak tempat, terutama di wilayah terpencil yang sebelumnya selalu luput dari perhatian pemerintah.
Bisa dibayangkan, Indonesia lima tahun ke depan akan seperti apa. Ya meskipun Pak Jokowi mengatakan pada 2019 akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM), beliau juga memastikan bahwa infrastruktur yang masih butuh perhatian pasti ditangani dengan baik.
Keempat: Kedaulatan Negara atas Kekayaan Alam Ditegakkan
Perlu diketahui, sebelum Pak Jokowi menjabat sebagai presiden, ada banyak lahan sumber daya alam kita yang belum dikelola maksimal. Bahkan beberapa di antaranya dikuasai asing. Misalnya saja Blok Rokan, Blok Mahakam hingga Freeport. Terakhir persoalan PT Freeport Indonesia, di mana diakui selama 50 tahun dikuasai oleh perusahan asal Amerika Serikat.
Mengapa bisa sampai selama itu? Sejarahnya panjang dan berbelit-belit, tidak perlu dibahas di sini, karena memang pengetahuan saya tentang hal tersebut sangat kurang. Tapi satu hal yang saya dan semua rakyat Indonesia tahu, dulu saham negara kita hanya 9,36 persen, kini sudah 51,23 persen.
Saya kira uraian saya cukup. Tangan saya capek. Ditambah keterbatasan pengetahuan saya atas apa saja yang sudah dilakukan Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla selama menjabat empat tahun ini. Para pembaca mungkin tahu lebih banyak lagi. Sila diuraikan di media masing-masing.
Terakhir, terima kasih buat para pihak yang sudah membantu Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla mewujudkan janji-janji mereka.
Keraguan saya yang dulu sudah terjawab. Saya sudah mantap untuk Pilpres 2019. Tidak akan ragu lagi untuk kedua kalinya. Kalian?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews