Tetiba, penonton debat perdana Pilpres 2019 yang berangsung pada 17 Januari 2019 dibuat geleng-geleng kepala oleh aksi Prabowo Subianto. Veteran Pilpres 2009 dan Pilpres 2014 ini berjoged menggoyang-goyangkan anggota tubuhnya, mulai dari kepala, bahu, lengan, dan pinggul. Dalam beberapa detik, acara yang dimotori oleh KPU tersebut bergeser layaknya ajang pencarian bakat ala "Goyang Pantura".
Sejurus kemudian, sudut-sudut bibir penonton mengembang begitu menyaksikan ulah cawapres Sandiaga Uno yang memijiti bahu pasangannya. Selama beberapa detik, pasangan nomor urut 02 tersebut seolah ingin mengusir ketegangan yang sejak awal memayungi keduannya.
Sangat manusiawi bila pasangan yang diusung oleh Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS ini tertekan selama berdebat menghadapi pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Bertolak belakang dari pesaingnya yang mampu menyampaikan gagasan yang disajikan lewat alur berpikir yang runut serta masuk akal, Prabowo dan Sandiaga gagal menyodorkan logika pada ide-ide yang disampaikannya. Sebagai misal dalam tema terorisme, Prabowo menggagas program swasembada pangan untuk melawan terorisme.
"Sebab musabab terorisme, Indonesia harus kuat dan tadi harus swasembada pangan dan tidak bergantung pada negara lain," papar Prabowo sebagaimana yang dikutip Detik.com.
Mendengar pemaparan Prabowo tersebut, publik pastinya berupaya memutar otak sekencang-kencangnya mencari tahu keterkaitan antara penyebab terorisme dengan swasembada pangan.
Penampilan Prabowo dalam debat perdananya memang jauh dari memuaskan. Dan, jangan pernah sesekali berharap Prabowo akan memperbaiki penampilannya dalam debat-debat mendatang.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang diberi judul "Respon Publik dan Efek Elektoral Debat Debat Pertama" ini menarik untuk disimak.
Menurut LSI, dari 1.200 resonden yang menyaksikan acara debat via televisi hanya 50,6 persen. Dari responden yang mengaku menonton, hanya 29,6 persen saja yang menonton secara utuh. Jadi, dari 1.200 responden hanya 14,9 persen yang mengaku menyaksikan tayangan debat secara utuh. Kesimpulannya, masyarakat pada umumnya tidak tertarik menyaksikan debat capres.
Dari sekian hasil temuan LSI, ada satu yang menarik. Ternyata, setelah menyaksikan debat 82,1 persen responden menjawab tidak mengubah pilihannya. Sedangkan responden yang menjawab mengubah pilihannya hanya 5,8 persen. Artinya, bisa dibilang ajang debat tidak memiliki pengaruf signifikan terhadap swing voter.
Sayangnya dalam hasil survei yang dirilisnya atau mungki juga dalam survei LSI tidak mengungkap jumlah swing voter dari masing-masing pasangan calon. Tidak jelas seberapa banyak pemilih Jokowi-Ma'ruf yang lompat pagar dan berapa banyak pemilih Prabowo yang bergeser menjadi pemilih Jokowi.
Atau, apakah dari 5,8 persen tersebut seluruhnya berpindah dari pemilih Prabowo-Sandi menjadi pemilih Jokowi-Ma'ruf atau sebaliknya. Selanjutnya tidak terungkap alasan responden mengubah pilihannya.
Tetapi, apapun itu, dari angka-angka yang dirilis LSI di atas, bisa dikatakn bila penampilan kedua pasangan caon presiden dalam debat perdana tidak mempengaruhi pilihan calon pemilih.
Dengan begitu, meski Prabowo dan pasangannya tampil buruk dalam penyampaian gagasan-gagasannya dan ditambah lagi dengan adegan joged serta pijit-pijit yang dianggap tidak pastas, "pemilih" Prabowo-Sandi tidak serta lantas mengubah pilihannya. Malah, masih menurut LSI, elektabilitas Prabowo-Sandi naik 0,4 persen. Sementara, meski tampil ciamik, Jokowi dan pasangannya hanya berhasil menarik 0,6 persen pemlih.
Dan, jika melihat hasil survei LSI, Prabowo-Sandi tidak perlu memperbaiki penampilannya dalam debat-debat selanjutnya. Bagaimana tidak, keduanya dianggap tampil sangat begitu buruk saja, tingkat elektabilitasnya bisa naik. Inilah yang meringankan beban Prabowo.
Prabowo memang dikenal memiliki pendukung yang sangat fanatik layaknya hooligan dalam dunia persepakbolaan. Para pendukung Prabowo ini tidak bakal tergoyahkan meski sejumlah isu sensitf menyerag Prabowo. Bahkan, ketika faktor keagamaan Prabowo diragukan pun, para pendukung Prabowo yang begitu identik dengan simbol-simbol keagamaan tidak memedulikannya.
Dan, sekalipun Prabowo kerap bicara ngawur, seperti mengatakan Indonesia yang akan bubar pada tahun 2030 dan Indonesia akan punah jika kelompok Prabowo kalah dalam Pemilu 2019, pendukungnya tetap saja seiya sekata.
Demikian juga dalam Pidato Kebangsaan yang diberi judul "Indonesia Menang", Prabowo malah berkali-kali melontarkan pernyataan-pernyataan ngawur. Dari gaji dokter di bawah tukang parkir, klaten dibanjiri beras impor, maskapai Garuda Indonesia bangkrut, sampai harga gula lebih mahal dari harga durian. Pendukungnya tetap setia kepadanya.
Meski kerap bicara ngawur tak jelas arah dan maknanya, elektabilitas Prabowo naik 2,5 persen. Sementara tingkat elektabilitas Jokowi justru melorot 2,8 persen. Kedua angka tersebu dirilis Indikator di awal Januari 2019.
Berbeda dengan Prabowo, pendukung Jokowi mudah berubah arah. Kelompok pendukung Jokowi ini sangat rentan terhadap isu-isu. Sekalipun kecil kemungkinan beralih menjadi pemilih Prabowo, kelompok ini akan menjadi golput yang pada ujungnya menggerogoti elektabilitas Jokowi. Karenanya Jokowi harus tetap pada relnya,
Karenanya, bagi Jokowi-Ma'ruf debat capres selanjutnya akan menjadi ajang pembuktian konsistensi penampilannya. Jika Jokowi tampil lebih buruk dari debat perdana, bisa jadi tingkat elektabilitasnya dapat menurun.
Sebaliknya, jika membaca hasil surveinya, LSI seolah mengiizinkan Prabowo untuk kembali bicara ngawur tanpa berargumen sekaligus kembali unjuk kebolehan jodednya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews