Jika saja kala itu SBY memimpin negeri ini selama tiga periode, mungkin saja revolusi khilafah ala HTI sudah terjadi saat ini.
Kebencian sekelompok orang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), diyakini bukan hanya persoalan politik semata. Bukan pula hanya karena jagoan calon presiden kelompok mereka kalah, atau tak lagi punya kuasa. Tapi lebih dari itu, karena kebencian akut mereka kepada Pancasila.
Sosok Jokowi, oleh kelompok pembenci ini dianggap sebagai representasi pemimpin yang teguh menjaga dan melindung Pancasila. Ia dipandang sebagai trigger besarnya kekuatan rakyat yang menghalangi dan menghentikan masuknya gerakan radikalisme, khilafah dan NKRI syariah, yang selama sepuluh tahun sebelumnya melenggang bebas tanpa batas di negeri ini.
Keterlibatan para pembenci ini sebagai penumpang gelap pada kontestasi Pilpres 2014 dan 2019 bersama Prabowo, menjadi momentum paling krusial untuk mencegah pemimpin seperti Jokowi dan orang-orangnya yang setia pada Pancasila memegang kendali pemerintahan.
Mereka sejatinya akan terus megggerakkan semua simpul-simpul operasional dan networking, salah satunya HTI, yang sempat mereka bangun dan besarkan ketika negara ini dipimpin oleh Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY),
SBY bisa saja menolak anggapan itu, tapi faktanya, andil pemerintahannya telah memberi keleluasan, kebebasan pada HTI, bahkan tak berusaha menghentikan menyebarnya ideologi khilafah , yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila.
HTI, mungkin saat itu sadar, tidak mudah mewujudkan cita-cita khilafah secara revolusioner dan frontal dalam lima atau sepuluh tahun. Perisai Pancasila masih terlalu kokoh.
Mereka hanya butuh seorang presiden yang lemah, baperan, mabuk sanjungan, dan tentunya tidak ideologis (menerima faham ideologi apapun yang penting kelompok itu mendukung dan menyanjungnya).
Dan SBY lah pemimpin itu, sepuluh tahun memberi HTI peluang, ruang dan kesempatan menebarkan faham khilafahnya. Sel-sel ideologi khilafah sempat tumbuh dan berkembang di mana-mana, di institusi pemerintah, militer, kepolisian, BUMN, perguruan tinggi, sekolah dan organisasi kemasyarakatan.
Jika saja kala itu SBY memimpin negeri ini selama tiga periode, mungkin saja revolusi khilafah ala HTI sudah terjadi saat ini.
Romantika dan privilege selama 10 tahun itulah yang ingin diulangi HTI dan kelompok radikal lainnya seperti FPI. Mereka ingin secepatnya ada pergantian kekuasaan. Mengganti Jokowi dengan sosok pemimpin seperti SBY (Mungkin karena bisikan HTI-lah SBY menggadang anaknya jadi capres " Yang mirip SBY itukan hanya anak-anaknya, Agus dan Ibas"). Betul ! Agus dan ibas memang seratus persen mirip SBY, sama-sama lemah, baperan, mabuk sanjungan dan tidak ideologis.
Ketika Pemerintahan Jokowi membubarkan HTI tahun 2017 dan menyusul FPI pada Desember 2021, sudah barang tentu langkah itu semakin mengaktivasi tingkat kebencian kelompok mereka pada sosok Jokowi.
Meski telah dibubarkan, pikiran, gerakan dan perjuangan mereka tidaklah mati. Upaya dan kerja-kerja HTI, FPI dan kelompok radikal lainnya mendegradasi Pancasila dan menginginginkan Jokowi lengser, terus dilakukan .
Ditangkapnya Munarman, pentolan FPI, yang diduga terlibat organisasi terorisme di Indonesia membuktikan perjuangan mereka tidak main-main. NKRI syariah yang didengungkan FPI adalah jembatan kecil menuju negara khilafah yang dicita-citakan HTI
Makanya jangan heran, ketika ketidaksempurnaan kinerja pemerintahan, dan kesalahan receh aparat dan petugas yang ada di bawah, seperti RT, satpol PP, polisi, TNI, selalu jadi salahnya Jokowi.
Korupsi, kejahatan dan penyelewengan yang dilakukan oknum pejabat selalu dikaitkan dengan kesalahan Jokowi, kadang-kadang jadi momentum mereka mengolok-olok Pancasila.
"Mana Pancasila? kok korupsi terus'
"Mengaku paling Pancasila tapi paling korupsi"
Padahal mereka faham, korupsi yang terjadi di negara manapun, termasuk negara teokrasi dan negara lain sebagainya, tidak ada hubungannya dengan ideologi di negara itu.
Tapi namanya kebencian yang mendarah daging, apapun yang dilakukan Jokowi selalu salah dan siapapun yang membelanya akan jadi musuh bagi mereka.
Pandemi Covid-19, seolah menjadi timing yang pas bagi mereka untuk mengacaukan pikiran dan persepsi masyarakat kepada pemerintah. Hoaks dan kebencian seolah menjadi sedekah dan amal sosial yang harus dibagikan kepada simpatisan mereka. Dalil agama dimanipulasi untuk membuat orang mabuk dan linlung agar tidak percaya dan menentang kebijakan pemerintah.
Pertanyaaannya? Anda dan kita semua bisa apa? kebencian jiwa yang sesat itu pasti sulit diperbaiki. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah, tunjukan kepada mereka betapa cintanya dan kuatnya kita mempertahankan Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan betapa besarnya kekuatan kita semua mempertahankan dan menjaga kepemimpinan Presiden Jokowi.
Tommy Manggus, Tinggal di Kalimantan Utara
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews