Kedewasaan Berpolitik Ala PKS

Apakah ucapan Sohibul Iman mengandung kebenaran atau sekadar "lips service" untuk menyenangkan Gubernur Ridwan Kamil, memang masih harus menunggu pembuktian.

Senin, 10 Februari 2020 | 06:57 WIB
0
521
Kedewasaan Berpolitik Ala PKS
Ridwan Kamil dan Ahmad Heryawan (Foto: pikiran-rakyat.com)

Andai niatan itu benar, tidak sekadar diucapkan secara lisan namun dilaksanakan dalam perbuatan, maka apa yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah contoh yang baik. Contoh baik itu adalah sikap "legowo", menerima kenyataan bahwa PKS kalah di Pilkada Jawa Barat, namun tetap mendukung penuh program gubernur pemenang yang diusung partai lain, yaitu Ridwan Kamil.

Dua periode memimpin Jawa Barat, PKS melalui kadernya, Ahmad Heryawan, PKS mewarnai kehidupan warga Jabar di segala lini. Tidak mudah melupakan kejayaan sepuluh tahun yang tiba-tiba berpindah ke tangan orang (baca: partai) lain. Terlebih lagi, Ahmad yang seharusnya "naik kelas", minimal jadi menteri, bahkan gagal menjadi cawapres pada Pilpres 2019 lalu. Bagi PKS, Jabar dengan Ahmad Heryawan-nya menjadi kenangan pahit yang tidak mudah dilupakan.

Namun sikap Presiden PKS Sohibul Iman yang kemarin menyatakan dukungan secara penuh terhadap program kerja Ridwan Kamil, adalah oase yang tiba-tiba muncul di tengah gurun . Sohibul menyampaikan hal itu langsung di sela-sela pembukaan Training Orientasi PKS Jawa Barat di Kota Bandung, Minggu (9/2/2020), sebagaimana ramai diberitakan media. Ridwan Kamil yang kini menjabat Gubernur, hadir dalam acara itu.

"Jadi, PKS siap sepenuh hati mendukung Ridwan Kamil. Memang merupakan prinsip PKS," kata Sohibul dalam pertemuan itu.

Kembali kepada Pilkada Jabar 2018 lalu, meski Ridwan Kamil yang diusung partai lain menjadi lawan PKS, namun Sohibul tetap menilai proses itu merupakan hal yang normal dalam kontestasi pergantian kekuasaan.

Dalam bahasa lain, "yang sudah ya sudah, kita buka lembaran baru". Setelah kompetisi selesai, kata Sohibul, PKS berprinsip untuk mendukung dan mengawasi kinerja eksekutif. Tidak tertutup kemungkinan kerjasama, katanya, bahkan kerjasama menjadi keharusan.

Dalam istilah lain, siapapun yang menjadi pemimpin di Jabar, PKS akan selalu berkeinginan pemimpin itu harus sukses.

"Maka kami mendukung ketika kebijakannya baik untuk masyarakat. Tapi ketika tidak baik tentu kami akan memberikan koreksi," tekan Sohibul.

Bahkan pernyataan lainnya yang lebih menarik, Sohibul beranggapan tidak ada koalisi maupun oposisi di tingkat daerah. Alasannya, lembaga eksekutif dan legislatif perlu bersinergi dalam satu wadah. Artinya, Pilkada berbeda dengan Pilpres. Di ladang kontestasi tingkat nasional, partai yang kalah dan tersingkir, bisa menegaskan diri sebagai oposisi.

Baca Juga: Kisah Sukses Ridwan Kamil [1] Tahun 2013–2018 Bandung Juara

Bisa juga menjalin kerjasama dengan si pemenang sebagaimana ditunjukkan Prabowo Subianto, ketua umum Gerindra yang kini menjadi menteri pertahanannya Joko Widodo, rivalnya di Pilpres 2014 dan 2019. Bedanya, di Pilpres 2014 Prabowo tidak menjalin kerjasama karena mungkin tidak ada tawaran. Namun di Pilpres 2019, Prabowo menyambut kerjasama itu.

Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang setelah sepuluh tahun berkuasa, usai Joko Widodo menggantikannya, Partai Demokrat menyatakan diri bukan sebagai oposisi, bukan pula bekerjasama dengan pemerintah, yang ada adalah "politik mengambang", baik usai Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019. Di kedua kontestasi nasional ini, tidak ada satu kader Demokrat pun yang duduk sebagai menteri.

"Di daerah itu tidak dikenal (oposisi) karena DPRD dengan Pemprov itu ada dalam satu wadah," kata Sohibul yang partainya mendapat 21 kursi DPRD. "Tidak ada di sini (daerah) yang ada di pusat saja, di sini silakan ada kerja sama."

Apakah ucapan Sohibul itu mengandung kebenaran atau sekadar "lips service" untuk menyenangkan gubernur terpilih? 

Memang pembuktiannya masih harus ditunggu. Kata orang Ciamis, "on va voir", kita lihat saja nanti! 

***