Apakah ucapan Sohibul Iman mengandung kebenaran atau sekadar "lips service" untuk menyenangkan Gubernur Ridwan Kamil, memang masih harus menunggu pembuktian.
Andai niatan itu benar, tidak sekadar diucapkan secara lisan namun dilaksanakan dalam perbuatan, maka apa yang dilakukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah contoh yang baik. Contoh baik itu adalah sikap "legowo", menerima kenyataan bahwa PKS kalah di Pilkada Jawa Barat, namun tetap mendukung penuh program gubernur pemenang yang diusung partai lain, yaitu Ridwan Kamil.
Dua periode memimpin Jawa Barat, PKS melalui kadernya, Ahmad Heryawan, PKS mewarnai kehidupan warga Jabar di segala lini. Tidak mudah melupakan kejayaan sepuluh tahun yang tiba-tiba berpindah ke tangan orang (baca: partai) lain. Terlebih lagi, Ahmad yang seharusnya "naik kelas", minimal jadi menteri, bahkan gagal menjadi cawapres pada Pilpres 2019 lalu. Bagi PKS, Jabar dengan Ahmad Heryawan-nya menjadi kenangan pahit yang tidak mudah dilupakan.
Namun sikap Presiden PKS Sohibul Iman yang kemarin menyatakan dukungan secara penuh terhadap program kerja Ridwan Kamil, adalah oase yang tiba-tiba muncul di tengah gurun . Sohibul menyampaikan hal itu langsung di sela-sela pembukaan Training Orientasi PKS Jawa Barat di Kota Bandung, Minggu (9/2/2020), sebagaimana ramai diberitakan media. Ridwan Kamil yang kini menjabat Gubernur, hadir dalam acara itu.
"Jadi, PKS siap sepenuh hati mendukung Ridwan Kamil. Memang merupakan prinsip PKS," kata Sohibul dalam pertemuan itu.
Kembali kepada Pilkada Jabar 2018 lalu, meski Ridwan Kamil yang diusung partai lain menjadi lawan PKS, namun Sohibul tetap menilai proses itu merupakan hal yang normal dalam kontestasi pergantian kekuasaan.
Dalam bahasa lain, "yang sudah ya sudah, kita buka lembaran baru". Setelah kompetisi selesai, kata Sohibul, PKS berprinsip untuk mendukung dan mengawasi kinerja eksekutif. Tidak tertutup kemungkinan kerjasama, katanya, bahkan kerjasama menjadi keharusan.
Dalam istilah lain, siapapun yang menjadi pemimpin di Jabar, PKS akan selalu berkeinginan pemimpin itu harus sukses.
"Maka kami mendukung ketika kebijakannya baik untuk masyarakat. Tapi ketika tidak baik tentu kami akan memberikan koreksi," tekan Sohibul.
Bahkan pernyataan lainnya yang lebih menarik, Sohibul beranggapan tidak ada koalisi maupun oposisi di tingkat daerah. Alasannya, lembaga eksekutif dan legislatif perlu bersinergi dalam satu wadah. Artinya, Pilkada berbeda dengan Pilpres. Di ladang kontestasi tingkat nasional, partai yang kalah dan tersingkir, bisa menegaskan diri sebagai oposisi.
Baca Juga: Kisah Sukses Ridwan Kamil [1] Tahun 2013–2018 Bandung Juara
Bisa juga menjalin kerjasama dengan si pemenang sebagaimana ditunjukkan Prabowo Subianto, ketua umum Gerindra yang kini menjadi menteri pertahanannya Joko Widodo, rivalnya di Pilpres 2014 dan 2019. Bedanya, di Pilpres 2014 Prabowo tidak menjalin kerjasama karena mungkin tidak ada tawaran. Namun di Pilpres 2019, Prabowo menyambut kerjasama itu.
Berbeda dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang setelah sepuluh tahun berkuasa, usai Joko Widodo menggantikannya, Partai Demokrat menyatakan diri bukan sebagai oposisi, bukan pula bekerjasama dengan pemerintah, yang ada adalah "politik mengambang", baik usai Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019. Di kedua kontestasi nasional ini, tidak ada satu kader Demokrat pun yang duduk sebagai menteri.
"Di daerah itu tidak dikenal (oposisi) karena DPRD dengan Pemprov itu ada dalam satu wadah," kata Sohibul yang partainya mendapat 21 kursi DPRD. "Tidak ada di sini (daerah) yang ada di pusat saja, di sini silakan ada kerja sama."
Apakah ucapan Sohibul itu mengandung kebenaran atau sekadar "lips service" untuk menyenangkan gubernur terpilih?
Memang pembuktiannya masih harus ditunggu. Kata orang Ciamis, "on va voir", kita lihat saja nanti!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews