Hak Prerogatif Presiden dan Dominasi Elit Politik

Sejumlah media massa memberitakan jika JK membocorkan kepada Buya Syafii Maarif kalau Sri Mulyani akan diangkat jadi menteri lagi.

Rabu, 21 Agustus 2019 | 07:18 WIB
0
490
Hak Prerogatif Presiden dan Dominasi Elit Politik
Foto: Bangkokpost.com

Menjelang pembentukan Kabinet Indonesia Kerja II Jokowi-Ma'ruf, muncul desas-desus ada Menteri berprestasi Jokowi yang kemungkinan besar gagal masuk Kabinet, karena ditolak oleh elit PDIP.

Pertanyaanya kok bisa.? Apa iya Presiden Jokowi tidak memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas masuk dalam kabinetnya. Bukankah Presiden itu mempunya hak Prerogatif untuk memilih dan memberhentikan menterinya.?

Kalau bicara lazimnya, Presiden bisa menggunakan hak Prerogatifnya untuk memilih siapa yang pantas jadi menterinya, tapi didalam politik sesuatu yang Lazim bisa saja menjadi tidak lazim, hanya karena kepentingan dan kekuatan politik.

Siapa kira-kira Menteri Jokowi yang dianggap paling berprestasi di Periode pertama Pemerintahan Jokowi-JK, kalau hal itu ditanya kepada Nettizen pasti jawabannya Sri Mulyani Indrawati dan Susi Pudjiastuti. Tapi kalau ditanya kepada elit politik, pasti jawabannya beda lagi.

Nettizen melihat prestasi seorang Menteri pastinya berdasarkan kinerjanya, dan hasil kerja yang tampak dan diapresiasi masyarakat. Berbeda dengan elit politik, yang memandangnya dari sudut kepentingan politik.

Seberapa besar seorang Menteri mengakomodir kepentingan politik mereka, dan manfaat apa yang sudah mereka dapatkan selama kepemimpinan Menteri tersebut. Sedikit sekali mereka melihat dampak kinerja Menteri tersebut terhadap kepentingan negara.

Yang menjadi pertimbangan elit politik pastinya isu negatif tentang si Menteri yang dianggap berprestasi, boro-boro mau mengapresiasi, yang ada malah mengorek titik lemah si Menteri.

Kalau benar elit PDIP bisa menggugurkan keinginan Jokowi untuk memasukkan kembali Sri Mulyani Indrawati kedalam Kabinet Kerja II, maka ini merupakan kabar buruk bagi Jokowi dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Seperti yang dilansir Tribunews.com, Nama Sri Mulyani Indrawati (SMI) kembali masuk dalam daftar menteri yang kabarnya akan dipakai Jokowi lagi pada kabinet mendatang (periode 2019-2024).

Kabar Sri Mulyani akan jadi menteri lagi diutarakan Buya Syafii Maarif saat menerima Wapres Jusuf Kalla (JK), Kamis (15/8/2019).

Sejumlah media massa memberitakan jika JK membocorkan kepada Buya Syafii Maarif kalau Sri Mulyani akan diangkat jadi menteri lagi.

Tapi pada kenyataannya jalan SMI untuk masuk kembali dalam Kabinet Kerja II tidaklah semulus perkiraan semua orang, seperti yang penulis katakan di atas bahwa SMI ditolak oleh elit PDI-P, dengan berbagai alasan.

Politikus PDIP, Effendi Simbolon menyoroti kinerja Menteri Keuangan saat ini, Sri Mulyani.

Effendi menilai wacana mempertahankan Sri Mulyani sangat tidak tepat dan sangat memprihatinkan. Selain Sri Mulyani, Effendi juga mengkritik pedas Menteri BUMN, Rini Soemarno.

"Tim ekonomi masih mau dipertahankan. Waduuh… Ini kepentingan yang punya uang saja diperhatikan, Eropa, Amerika, dan Singapura sana. Mempertahankan Sri Mulyani sama saja kita mempertahankan kita di bawah belenggunya rentenir itu. Itu harus di bongkar. Kita bongkar dia kok di zaman SBY," katanya menegaskan.

Kalau elit PDI-P menolak Rini Sumarno mungkin nettizen masih bisa memaklumi, tapi kalau menolak SMI sepertinya elit PDI-P akan dikecam oleh nettizen yang sudah berharap banyak akan dipertahankan Jokowi pada Periode kedua.

Kinerja SMI yang dinilai positif antara lain penerimaan negara yang melampaui target, kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS), pengembalian saham PT Freeport Indonesia ke pemerintah, penyelamatan uang negara dari perusahaan milik Tommy Suharto.

Keberhasilan pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) di Bali, dan prestasinya sebagai Finance Minister of the Year 2019 Global and the Asia Pacific.

Sebetulnya kalau mau fair, upaya SMI menjaga stabilitas ekonomi selama Lima tahun Pemerintahan berjalan terbilang cukup stabil, tidak ada gejolak ekonomi yang berarti, memang bukan tidak ada sentimen negatifnya.

Sentimen negatif muncul antara lain dari melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, bertambahnya utang negara, dan defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Kalau mau dibilang, chemistry antara SMI dan Jokowi sangatlah bagus, dan itu terlihat SMI begitu enjoy bekerjasama dengan Jokowi, berbeda dengan saat SMI bekerjasama dengan SBY pada Pemerintahan SBY.

Mari sama-sama kita lihat adu kuat antara Jokowi dengan elit PDI-P, siapa yang lebih kuat. Apakah Jokowi berhasil mempertahan SMI, atau elit PDI-P berhasil mendepak SMI jajaran Menteri Kabinet Jokowi-Ma'ruf?

***