Jika kedapatan ada rencana teror, para pengikut khilafah ini layak disudahi, daripada mengancam ketertiban. Mereka adalah ancaman bagi negara dan masyarakat: tak layak hidup beradab di sini.
Ratusan teroris ISIS asal Indonesia kini meronta. Mereka minta belas kasihan. Mewek. Menangis. Tersedu. Hancurnya ISIS di Raqqa dan kantong-kantong teroris di Syria membuat ratusan teroris ketakutan. Kehidupan mereka tergantung bantuan dari para teroris dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) bersiap membantu kepulangan mereka. Begitu pun Polri dan Densus 88. BIN belum bereaksi. Lembaga dan Badan lain pun belum bereaksi. Semua melakukan aksi menunggu. (Yang sedang senang adalah sel-sel teroris, dan ormas eks-HTI akan mendapatkan tenaga baru, skill mumpuni, ideologi makin kental, anti Pancasila makin kuat.)
Pembiaran terhadap para teroris bukan masalah besar. Mereka layak dibuang dari Bumi Pertiwi. Kenapa? Mereka adalah para pengkhianat bangsa. Para teroris itu adalah anti Pancasila. Mereka berusaha meruntuhkan NKRI. Mereka hendak mendirikan negara Islam. Ingin menghancurkan Indonesia. Berusaha mendirikan negara khilafah. Para pembenci Indonesia yang layak dihanguskan dari catatan sebagai WNI.
Namun para teroris tetap bergerak melakukan manuver di Indonesia. Langkah yang dilakukan mereka sangat strategis. Para organisasi khilafah dan pro teroris di Indonesia meredakan, menipu publik dengan pernyataan bermulut manis.
Pada Juni 2014, beredar surat di Bogor, Cianjur, Sukabumi dari para pentolan teroris, termasuk penyokong ormas GARIS – yang terlibat dalam rancangan kerusuhan 23-25 Mei 2019. Chep Hermawan ditunjuk sebagai pemimpin ISIS Regional Indonesia, yang merekomendasikan pendana pelatihan teroris Abu Bakar Ba’asyir. Chep ini bersama 6 orang lainnya pernah ditangkap Polisi di Majenang pada 2014 seusai menjenguk Ba’asyir di Lapas Nusakambangan. GARIS pun mendukung Prabowo bersama PKS, PAN, FPI, dan anasir lain yang lucu-lucu itu.
Baca Juga: Masuknya Alumni ISIS ke Indonesia, Sebuah Pekerjaan Rumah yang Tak Mudah
Eksistensi ISIS di Indonesia selalu menunggangi peristiwa. Ratusan teroris dan tersangka teroris sejak 2014 telah ditangkap. Mereka para pendukung khilafah. Pendukung ISIS. Tanpa malu mereka mempertontonkan dukungan atas nama keyakinan ideologi sesat khilafah. Bangga mereka menghina Bendera Merah Putih, melecehkan lagu Indonesia Raya, lambang negara, dan bahkan Negara Indonesia mereka tidak akui.
Kini para teroris itu ingin kembali ke Indonesia. Mereka sudah terlatih membuat bom. Para teroris itu sudah mahir menggunakan senjata. Mereka telah belajar dendam kesumat membenci negara. Mereka sebut pemerintahan Indonesia sebagai thagut, sebagai tidak sah. Kegilaan ideologi yang membutakan pikiran: jumud, sempit.
Pro dan kontra terjadi. Deradikalisasi terhadap para teroris gagal total. Kalau cuma satu pengikut Jamaah Islamiyah Nasir Abbas yang tobat, tak bermakna. Sementara para naradipada, keluarga, dan gerombolan teroris tetap kembali berulah seperti Bom Sarinah, Bom Surabaya yang pelakunya bekas napi teroris.
Belum lagi, di media sosial. Pembiaran pengibaran bendera ISIS, pemaafan pelaku kampanye KARIM, khilafah di sekolah dan kampus, adalah wujud kegagalan program deradikalisasi. Deradikalisasi tidak cukup hanya ngecap tentang Pancasila. Bukan cuma tentang membantu duit agar usaha. Malahan usaha dan duit digunakan untuk membuat bom.
Serba susah. Kenapa? Keyakinan ideologi mereka begitu kuat. Tidak ada yang akan mampu untuk menderadikalisasi mereka. Tidak juga BNPT, tidak juga masyarakat.
Maka, sikap gaya-gayaan mau melindungi, merayu, memfasilitasi para teroris ISIS dari Indonesia di Syria adalah hal yang kontra-produktif. Tak berguna sama sekali. Mereka adalah para pembunuh. Mereka teroris. Mereka adalah ancaman bagi anak-anak Indonesia. Mereka adalah predator yang tak berperikemanusiaan.
Pengakuan dari mulut pendukung ISIS seperti Heru Kurnia dan Dwi Djoko Wiwoho tak usah dipercaya.
Baca Juga: Tak Perlu Ragu Menolak Kepulangan WNI Eks ISIS
Faktanya C-Save sudah memfasilitasi pengembalian 160 anggota ISIS dari Turki dan Syria. Mereka tetap ingin kembali lagi ke Syria. Otak mereka sudah sengkleh. Tidak ada peri kemanusiaan buat mereka. Karena mereka begitu bengis dan kejam. (Ingat mereka menggorok para anggota Brimob bahkan di Markas Brimob Kelapa Dua. Kegilaan tanpa batas.)
Pemahaman tentang para teroris yang kembali masuk ke Indonesia melalui jalur tikus, berputar lewat Mindanau, lewat Sulawesi Utara, lewat perbatasan dengan Sabah, melalui Kepulauan Riau, pulau-pulau kecil memang merepotkan aparat Polri. Para pecundang itu hanya merepotkan Negara. Otak beku jahiliyah gurun mereka dalam meyakini agama dan ideologi sesat khilafah yang anti Pancasila tidak layak hidup di Indonesia.
Jikalau akan dilakukan screening, screening itu dilakukan di Syria dan Turki sana. Deradikalisasi harus dilakukan bertahun-tahun, dan kamp deradikalisasi juga dilakukan di kantong teroris seperti Idlib, Hama (Homs), Ghouta Timur, Aleppo, Raqqa, atau Maarat al-Numan. Kamp penampungan itu bekerjasama dengan Pemerintah Assad dan Russia. Bukan bekerjasama dengan organisasi sayap teroris White Helmet misalnya, atau teroris bekas al Qaeda Hayat Tahrir al-Sham.
Jadi, permasalahan menumpuk terkait para teroris ISIS asal Indonesia. Tentu Polri, Densus 88, tetap memantau mereka yang pulang melalui jalur tikus. Jika kedapatan ada rencana teror, para pengikut khilafah ini layak disudahi, daripada mengancam ketertiban, teror dan pembunuhan. Mereka adalah ancaman bagi negara, bagi masyarakat: tak layak hidup beradab di Indonesia.
Ninoy Karundeng, penulis.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews