Metode survei kuantitatif tidak memadai untuk memprediksi sebuah event politik, ia harus juga dilengkapi dengan pengukuran kualitatif.
Kemarin, ada lembaga survei yang menyebut di Jawa Barat, paslon 01 mendapat 47% dan Prabowo 42%. Jokowi menang.
Sementara kemarin seluruh Indonesia menjadi saksi antusiasme warga Jabar di Bandung dan sekitarnya menghadiri kampanye terbuka Prabowo.
Survei versus fakta lapangan, mana yang layak dipegang?
Bagi saya, fungsi survei sejatinya adalah potret dari dinamika yg ada di lapangan. Jika survei bertentangan dengan fakta-fakta di lapangan, maka survei itu patut dipertanyakan.
Para pembela survei tentu akan berkilah, bagaimana anda menentukan bahwa fakta di lapangan itu benar-benar menggambarkan fakta?
Saya akan bertanya hal yang sama. Bagaimana anda yakin bahwa hasil survei itu benar-benar menggambarkan fakta yang tidak pernah salah?
FAKTA nya adalah, survei-survei sering salah! Pilkada DKI, Jabar dan Jateng sering disebut menjadi contoh betapa survei bisa salah di luar batas margin of error yang bisa ditolerir! Puluhan bahkan ratusan persen!
Disebut bahwa survei memakai metode-metode yang ilmiah. Okey. Tapi saya juga menemukan, banyak juga pembahasan-pembahasan ilmiah yang menyatakan bahwa survei bisa menjadi alat untuk derbohong dengan memakai statistik untuk mempengaruhi persepsi. Coba saja anda Googling istilah "Push Poll" misalnya.
Menurut para surveyor, dengan memakai metode-metoda statistik tertentu, anda bisa merekam persepsi total populasi dengan cara mengambil sample saja. Mirip anda memasak sayur, cukup dicicip satu sendok, anda bisa tahu rasa sayur.
Masalahnya, dalam survei politik, yang anda ukur bukan sayur melainkan populasi manusia. Sayur adalah populasi statis yang bisa diambil samplenya untuk menentukan rasa sayur. Sebaliknya, persepsi manusia itu dinamis, berubah-ubah terus per detiknya!
Karakter statis itulah yang menjadi kelemahan utama pengukuran manusia berdasarkan statistik kuantitatif. Karena manusia itu dinamis secara kualitatif.
Anda tentu masih ingat hasil Pilkada Banten. Rano Karno kalah dari Wahidin Halim. Saya mendapatkan cerita bahwa konsultan Rano, SMRC, salah memberi advis strategi politik karena terlalu kaku pada statistik!
Berdasarkan survei SMRC, Rano diprediksi menang di sebagian besar kabupaten/Kota kecuali Kota Tangerang. Selisih suara WH-Rano besar di wilayah-wilayah yang dimenangi Rano. Sedang selisih kekalahan di Kota Tangerang kecil saja.
Berdasarkan "fakta" survei itu, SMRC memberi advis agar Rano "melepas" Kota Tangerang. Faktanya, selisih kemenangan Rano di wilayah-wilayah yang diprediksi dia menang kecil saja, dan selisih kekalahan di Kota Tangerang besar. Rano kalah dengan selisih sangat tipis karena Kita Tangerang itu!
Kesimpulan saya, metode survei kuantitatif tidak memadai untuk memprediksi sebuah event politik! Dia harus juga dilengkapi dengan pengukuran kualitatif.
Karenanya, saya cenderung tidak percaya pada hasil survei LSI Deny JA yg terus menerus memenangkan 01, apapun peristiwa politik yang terjadi di masyarakat seperti aksi Reuni Alumni 212.
Hal yang sama saya terapkan pada hasil survei CSIS yang konon dilakukan sampai 22 Maret. Pertanyaannya, apakah kasus penangkapan Romi tidak mempengaruhi masyarakat? Romi ditangkap 15 Maret!
Kalau jawabannya kasus penangkapan itu tidak berpengaruh, saya hanya mau menyatakan; suka...suka... Kaulah!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews