Ini Alasan Mengapa Sekarang Jokowi Berbalik Melawan

Presiden Joko Widodo akhirnya melawan, ia berontak untuk melepaskan diri dari iblis-iblis hoaks yang berseliweran di kehidupannya.

Rabu, 27 Maret 2019 | 12:12 WIB
0
522
Ini Alasan Mengapa Sekarang Jokowi Berbalik Melawan
Joko Widodo dan Fadli Zon (Foto: Jawa Pos)

Fadli Zon dengan wajah dinginnya konsisten mengeritik apapun sepak terjang Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia selalu yakin bahwa baginya Jokowi itu sebuah tragedi bagi sejarah politik Indonesia. Ia tidak menyangka tukang kayu, pennjual mebel mampu menjungkalkan Prabowo karibnya dalam sebuah perjuangan politik.

Ia sempat mendukung Jokowi ketika seorang walikota Solo waktu itu dicalonkan oleh Prabowo untuk berdampingan dengan Ahok kadernya. Maka suport Gerindra yang dulu  bermain cantik di jagad politik Indonesia all out mendukung Jokowi dan Ahok. Dan akhirnya Jokowi pun mampu memenangkan kontes pemilihan gubernur DKI Jakarta.

Ternyata, kemesraan Gerindra dengan Jokowi terhenti ketika Jokowi ikut maju dalam kontestasi Presiden. Dan lawannya adalah Prabowo Subianto yang sebelumnya begitu mendukungnya.

Jokowi Antagonis bagi Gerindra

Mungkin dendam, mungkin kesal karena belum sempat balas budi Jokowi malah menjegal Prabowo. Pahit, sungguh pahit, yang sudah tergambar di depan mata buyar ketika Jokowi si tukang kayu dan bukan dari kalangan elit politik mampu duduk di kursi kepresidenan.

Sejak itu Fadli Zon sang kader setia Gerindra konsisten melawan. Ia tidak terima Jokowi duduk di kursi presiden yang seharusnya milik Prabowo Subianto. Tapi takdir sudah tergariskan Jokowilah yang menjadi presiden ke-7. Karena melawan Gerindra maka mereka segera berbondong- bondong melawan Jokowi.

Jokowi adalah penghambat utama dan mesti dijatuhkan dengan berbagai cara. Saya salut dulu ketika Gerindra muncul sebagai partai baru yang sangat menjanjikan, mungkin sama seperti PSI kini yang memberi warna baru politik Indonesia.

Untuk partai lama saya tetap masih melihat bahwa partai partai lama masih terjebak dalam politik identitas. Mereka lebih sering menampilkan politik oportunis. Mendekat ketika ada endusan keuntungan, menjauh ketika rasanya tidak ada harapan untuk menang.

Kali ini Gerindra konsisten melawan siapa lagi kalau bukan Jokowi. Bagi mereka Jokowi adalah antagonis. Apapun kebaikan Jokowi tidak akan terlihat oleh mereka. Gerindra  dan pendukungnya telanjur kecewa pada Jokowi. Padahal itulah kenyataan yang harus terjadi. Perjuangan Prabowo untuk duduk di pucuk pemerintahan.

Prabowo Subianto boleh jadi legowo menerima kekalahan, tidak bagi kadernya apalagi Fadli Zon. Ia tidak akan pernah merasa senang pada apapun terobosan Jokowi dalam membangun bangsa. Fadli Zon hanya melihat pemimpin sempurna itu Prabowo Subianto dan tentunya Soeharto dulu.

Ia Doktor, berlatar belakang pendidikan sastra Rusia dan Jokowi hanya Insinyur Kehutanan yang mungkin hanya kenal daun-daunan, kayu, belantara dan alam terbuka. Tentu agak aneh jika menjadi presiden mampu mengatur negara.

Sejak Gerindra melawan rasanya politik menjadi semakin panas. Apalagi Fadli Zon rajin bikin puisi yang memanaskan suasana. Jokowi tidak boleh tenang dalam kesuksesannya. Maka Meskipun banyak yang ragu isu-isu yang beredar di masyarakat itu bahwa Jokowi itu antek asing, aseng dan turunan PKI membuat masyarakat terbelah.

Masyarakat yang masih gampang dihembusi oleh isu-isu akhirnya menjadi termakan juga. Banyak yang akhirnya meninggalkan kecintaannya pada Jokowi. Mereka menginginkan politik stabil, tidak dihantui kecemasan, tidak dibayangi ketakutan oleh demo besar-besaran maka banyak yang berpikir Prabowo Subianto bolehlah diberi kesempatan memimpin. Meskipun kenyataannya berat jika melawan petahana.

Ketika isu-isu itu terus membobardir masyarakat Jokowi yang semula diam lama-lama kesal juga. Selama 4,5 tahun ia diam, membiarkan hoax-hoax itu masuk telinga kirinya keluar telinga kanan.

Tetapi manusia politik tidak pantang menyerah. Antara dosa dan sebuah perjuangan boleh jadi bisa dipertentangkan. Tetapi dalam politik mereka hanya mengenal trik untuk meraih kemenangan. Masalah elok tidaknya itu bukan wilayahnya. Biarlah ulama dan pemuka agama yang mengajari rakyatnya untuk mencerap kebaikan dalam koridor moral, akhlak dan jejak kebaikan.

Politik itu dunia profan tidak ada hubungannya dengan agama, namun di Indonesia politik telah jauh masuk dalam derap nafas agama. Agama dimanfaatkan untuk merayu dan melegitimasi dukungan sebuah kekacauan yang sulit ditolerir.

Jokowi Akhirnya Melawan

Jokowi akhirnya melawan ia berontak untuk melepaskan diri dari iblis-iblis hoaks yang berseliweran di kehidupannya. Ia tidak tenang memimpin karena selalu diganggu dengan deraan cerca lawan politiknya. Bagi sebagian orang akhirnya ada yang menyesal dengan langkah Jokowi, tetapi banyak yang masih mendukung.

Beberapa orang menegasikan diam itu sebuah perlawanan juga. Biarkan anjing menggonggong kafilah berlari, bairlah mereka menyalak lama-lama lelah juga. Tapi oleh konsultan politik mereka mendesain untuk melawan. Jokowi mulai membantah dan mulai menepis bahwa ia adalah kader PKI yang sebetulnya sudah tidak pernah ada tetapi dihidupkan untuk membuat panas suasana.

Apakah yang menghembuskan  isu tahu sejarah PKI, jejak kekejamannya dan prinsip komunisme sehingga dianggap bahaya laten. Rasanya yang harus diwaspadai sekarang bukan sosialisme sama rata-sama rasa, tetapi kebudayaan baru yang membuat masyarakat terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.

Gadget, digital, teknologilah sebetulnya yang pelru diwaspadai. Bisa jadi banyak hal positif dengan adanya gadget, tetapi gadget membuat manusia menjadi individualis, rasa sosial terenggut karena orang- orang lebih nikmat menggenggam gadget daripada saling janjian ngobrol bareng kopi darat. Sudah ada HP tidak harus keluar biaya untuk bertemu, sudah ada video call toh bisa berbicara dengan bantuan virtual.

Jokowi yang fenomenal dengan jejak infrakstrukturnya sedang melawan musuh utama bernama Hoax. Ia menjadi target utama dari kaum Salawi (semua salah Jokowi). Dengan melawan semakin senanglah lawan politiknya sebab mereka bisa menjebak dengan kata- kata.

Mereka akan menunggu Jokowi terpeleset dengan kata- katanya. Bahkan Fadli Zon yang rajin muncul di tivi (terutama TV One dengan ILC nya) menunggunya di kursi panggung perdebatan. Ia yang suka memotong pembicaraan dan kurang sabar menunggu pembicara lain menutup kata-katanya akan sangat senang untuk mencari kesalahan- demi kesalahan Jokowi.

Fadli Zon akan metani (mencari kutu) satu persatu kesalahan Jokowi. Tentu saja mudah mencari kesalahan. Yang susah itu mencari data akurat dari tuduhan-tuduhan yang dialamatkan pada Jokowi sang antagonis bagi Gerindra.

Diam Masih Lebih efektif untuk Melawan

Semoga Jokowi lebih sabar. Diam masih menjadi cara efektif untuk melawan hoax. Yang penting bisa membuktikan bahwa isu- isu di luar tidak benar. Jokowi tinggal meyaknkan rakyat untuk menutup kekurangan pemerintahannya dengan menjanjikan perbaikan ketika nanti terpilih kembali.

Survei yang buruk harus menjadi pembelajaran agar dirinya tidak terpeleset oleh kesalahan sendiri yang terlalu pede pada survei-survey.

Prabowo harus berjuang keras membuat aura negative dari kaum radikal yang nebeng dibelakangnya. Selam yang radikal- radikal itu menempel terus di profilnya maka meskipun sebenarnya Prabowo baik tetaplah akan terbangun persepsi bahwa kaun khilafah, radikal, teoris ada di belakangnya. Maka cebong dan kampretpun tetap terus berperang, karena dua pemimpin itu membuat masyarakat terbelah.

Segera sadar Indonesia, mari jangan terjebak debat kusir. Pemilu itu pesta demokrasi mengapa harus berakhir menakutkan, mencemaskan dan membuat bergidik. Siapapun pemenangnya harus didukung dan dijauhkan dari pengaruh radikalisme agama dan emmbangun relasi amsyarakt yang toleran dan saling bekerjasama agar Indonesia lebih maju.

***