Selubung Ibadah di Balik Ambisi Prabowo-Sandi yang Membuncah

Perlahan tapi pasti selubung apapun yang mereka suarakan akan terbuka sendirinya oleh ambisi politik mereka yang kian membuncah.

Rabu, 10 April 2019 | 07:52 WIB
0
480
Selubung Ibadah di Balik Ambisi Prabowo-Sandi yang Membuncah
sumber BeritaSatu.com

Dalam politik, kerap saya mendengar seloroh kalimat yang menyebut bahwa ambisi boleh, ambius jangan. Ambisi yang pada umumnya masih berada dalam angan, cita-cita, hingga berupa ide atau gagasan untuk berkuasa bisa menjadi sebentuk motivasi bagi seseorang untuk berusaha sekuat tenaga dalam batas kapasitas sewajarnya.

Namun, manakala ide-ide tersebut diwujudkan dalam bentuk aksi, sikap dan rangkaian perilaku, kerap kali menjadi lepas kendali. Ambisi yang telah bablas itulah kemudian menjadikan seseorang  ambisius.

Politik yang identik dengan dunia panas pun seolah diamini. Hingga puncak perebutan posisi Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebuah negara menunculkan hingar bingar politik yang pelakunya tak lain dan tak bukan adalah kandidat Presiden itu sendiri.

Entah disengaja, settingan, atau memang demikian karakter dan watak asli dari capres 02 kerap mengundang banyak kontroversi. Belum lagi jika ternyata tim kampanye yang melingkupi mampu bersikap "sambil menyelam minum air", alias memanfaatkan keadaan.

Sah-sah saja, dua belah pihak saling memanfaatkan alias melakukan sebuah proses simbiosis. Sejauh mana simbiosis itu menguntungkan? Sejauh ini belum teruji dan terbukti. Toh kemenangan Prabowo Sandi yang digadang-gadang oleh pendukungnya masih sebatas ambisi yang kerap menjadikan Prabowo Sandi semakin terlihat sedemikian ambisius.

Ketika ambisi telah membuncah, maka apapun bisa diatasnamakan sebagai sebuah ikhtiar guna memenuhi hasrat kuasa sedemikian rupa.

Kampanye akbar Prabowo Sandi di Gelora Bung Karno Minggu 7 April lalu misalnya. Alih-alih diawali dengan ibadah bersama, rangkaian kampanye tersebut justru memperlihatkan sudut pandang yang sempit atas lantangnya teriakan Prabowo Sandi menang dari para pendukungnya. beredarnya banyak potongan foto maupun video terkit kampanye tersebut mengundang rasa penasaran saya.  

Seperti itukah gaya kampanye  yang di cap sebagai barometer "kemenangan" mereka? Logika saya berkata, jika mereka butuh pengakuan kemenangan, maka hanya DKI lah wilayah yang memiliki kemungkinan peluang memenangkan mereka. Selebihnya di Propinsi lain siapa yang bisa menjamin? 

Toh, Kampanye yang konon memutihkan GBK di hari minggu itu justru menguak sebuah identitas kekuatan di balik Prabowo Sandi. Rangkaian kegiatan yang berlangsung sejak dini hari diawali dengan qiyamul lail atau shalat malam, disusul dengan shalat subuh berjamaah memiliki kembali mengundang kontroversi. Bercampurnya jamaah perempuan dan laki-laki dalam shaf atau baris shalat yang di klaim sebagai kondisi darurat oleh ketua GNPK, menunjukkan sisi lain mereka dalam menjalankan Ibadah di luar kelaziman.

Pemahaman Ilmu agama saya masih terlalu rendah jika harus mengupas cara mereka beribadah.  Melalui tayangan ulang yang beredar di Youtube saya mencoba menelusur sejauh mana ibadah dijadikan selubung ambisi politik yang kian membuncah.  

Minggu pagi sebelum ayam jantan berkokok, nyatanya Prabowo Sandi lengkap didampingi Petinggi partai pendukung, hingga Gubernur DKI hadir untuk menunaikan Ibadah. Setelah itu, suasana pun berubah.

Dalam tayangan yang dilabel dan dapat disimak jejak digital di saluran ini, saya melihat niat ibadah itu begitu suci terpancar dari sebagian wajah yang hadir. Namun begitu sinar matahari memapar tiap wajah pertanda pagi hadir, selubung ibadah satu persatu terlepas dengan sendirinya. Memperlihatkan sisi lain tak ubahnya panggung politik.

Bukan politik suka cita penuh kedamaian layaknya saat waktu ibadah sebelumnya. Melainkan politik yang mengusik nurani, memunculkan sisi pergolakan. Terlebih dipantik oleh orasi-orasi yang jauh dari kesan menentramkan.

Entah kenapa saya menangkap perubahan wajah Prabowo. Saat shalat subuh berjamaah, dia tampil dengan tenang berbaju putih terlilit selendang merah di leher. Begitu dia tampil untuk orasi, Prabowo berganti baju seperti lazimnya acara-acara kampanye lain.

Seragam  berwarna cokelat susu dengan empat saku yang konon "dimiripkan" dengan gaya busana Soekarno, dia kenakan. Logika saya berkata, pasca shalat subuh berjamaah, Prabowo sejenak meninggalkan panggung yang disiapkan untuk para undangan VVIP. Sehingga saat tampil berorasi, dia muncul dengan baju kebesarannya. 

Sebelumnya Sandi Uno mengisi jeda orasi dengan bahasa yang lumayan agamis. Hal ini sebagai sebuah konsekuensi dari Sandi yang pernah mendeklarasikan diri sebagai santri milenials. Ciri khas bacaan Hasbunallah Wanikmal Wakil, Nikmal Maula Manikmal Nasir tak luput dilafalkan Oleh Sandi. Semoga lafal tersebut dibaca dengan ikhlas bukan untuk mengharap sebuah kekuatan lain yang diyakini mampu mendatangkan massa dukungan yang lebih besar dalam rangka menuruti ambisi selama ini. 

Kedatangan Prabowo kali kedua di GBK diperkirakan antara jam 8-9 pagi. Disambut dengan lagu Halo-halo Bandung, massa seperti sengaja agar terlihat heroik. Pekik suara Neno Warisman di tengah gemuruh massa mencoba menimpin berkumandangnya lagu kebangsaan Indonesia Raya. Apa dikata, lengkingan suara itu mendahului irangan musik yang mengusul bekalangan.

Indonesia Raya terdengar kurang dari nafas kebangsaan yang semestinya, timbul tenggelam suara Neno Warisman, Prabowo dan Petinggi Partai politik tidak bulat sempurna menyanyikan lagu kebangsaan itu. Hingga pekik nama Prabowo dipekikkan diakhir iringan musik. Inilah pertanda kampanye politik telah dimulai. 

Prabowo mengabsen beberapa tokoh politik yang hadir. Sejumlah nama ulama yang disebut hadir antar lain: KH Abdul Rasyid Abdullah Syafei, Habib Ali bin Abdurahman Assegaf, Gus Najih Maimoen Zubair, Gus Wafi Maimoen Zubair, KH Maulana Kamal Yusuf, KH. Ahmad Kholil Ridwan, Ustadz Slamet Maarif, Kyai Subli Lubis, Habib Hanif Al Atiz. Tak ketinggalan disebut Rahmawati Soekarno putri, dan keluarga Cendara mulai dari mbak Titiek, Mbak Mamiek, mbak Tutut dalam nama lengkapnya masing-masing.

Namun ada satu nama yang disebut paling penting yakni ketua Ijtima ulama II,  Ustad Yusuf Martak. Sebegitu pentingnyakah posisi Ijtima Ulama bagi seorang Capres 02? Atau diam-diam Prabowo lebih memberi ruang pada pimpinan gerakan ekstra parlementer dibanding dengan mereka para petinggi partai yang jelas-jelas memiliki pemenuhan syarat presidensial treeshold yang telah mengantarkannya menjadi kandidat Presiden.

Ah jadi samar memang, yang hadir di GBK sejatinya massa dari mana? 

Mengawali orasinya tanpa teksnya, Prabowo menyebut bersama Sandi Uno sudah 8 bulan berkeliling Indonesia. Konon capres 02 ini bisa merasakan, menangkap getaran hati rakyat Indonesia yang menghendaki perubahan dan tidak mau dibohongi lagi. Menurutnya rakyat Indonesia sudah mengerti dan tidak bodoh. Sehingga kehadiran massa di GBK menyatakan sudah cukup dibohongi lagi dan menuntut pemerintah yang punya akal  sehat.

Lucunya sejurus kemudian Prabowo bertanya pada panitia berapa yang hadir? dijawab dan ditegaskan oleh Prabowo bahwa yang hadir 1 juta lebih, padahal dari data kapasitas GBK hanya bisa menampung kurang lebih 80 ribu orang. Maka akal sehat mana  yang mampu menghitung dengan metode matematis sejumlah 920 ribu orang lainnya tertampung dimana.

Inikah akal sehat ala mereka? Toh jika dilihat dari beberapa shoot video yang sempat saya caption, beberapa sudut bahkan tidak sepenuhnya terisi. Kursi tribun yang dibelakangi oleh mimbar tempat Prabowo berorasi pun tampak kosong. Ah yang benar saja.

Saya pun mendadak ill feel untuk melanjutkan melihat tayangan youtube yang seolah memperlihatkan people power ala mereka.

Biarlah. Perlahan tapi pasti selubung apapun yang mereka suarakan akan terbuka sendirinya oleh ambisi politik mereka yang kian membuncah. 

***